Blog

  • Getah Era Informasi

    Getah Era Informasi

    Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi yang memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi,  menghantarkan masyarakat pada era baru,  yakni era informasi.

    Pada era ini,  masyarakat dihujani banyak informasi. Saking derasnya informasi yang diterimanya, masyarakat tidak mempunyai waktu lagi untuk mempertimbangkan kebenaran informasi tersebut. Yang pada akhirnya mereka secara serampangan menghakimi sesuatu tanpa pernah menimbang kefalitan data tersebut.

    Penyebaran berita hoak yang sekarang ini marak dan mudah kita jumpai adalah bukti pengaminan masyarakat terhadap informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dan sekaligus sebagai bukti menyempitnya ruang berfikir masyarakat akibat desakan arus informasi. Lebih jauh lagi,  masyarakat mulai melupakan identitas pribadinya. Hal ini terlihat dalam kolom komentar yang mereka tulis di media sosial. Mereka menjelma menjadi ahlinya-ahli dalam berbagai masalah kekinian. Padahal mereka hanyalah masyarakat awam.

    Fenomena orang awam menjelma ahlinya-ahli, menghantarkan mereka pada perdebatan antar awam yang tidak berpijak pada kode etik keilmuan. Walaupun sebatas perdebatan dunia maya,  namun seringkali dibawa ke dunia nyata dengan berbagai kebenciannya.

    Oleh karena itu,  menyadari ke-awaman sangat dibutuhkan sebagai tindakan preventif. Setidaknya dengan tindakan ini, kita tidak ikut serta dalam menyebarkan berita tersebut. Dan sekaligus tabayyun melalui penggalian informasi dari sumber yang dapat dipercaya.

    Bukan hanya penyebaran berita hoak yang dibidani oleh era informasi ini, namun benih permasalahan sosial kerap kali lahir melalui rahim arus informasi yang bersumber dari internet.  Penyebaran paham radikalisme, ekstrimisme dan fundamentalisme sering kita jumpai dalam internet.

    Informasi yang terwadai dalam internet adalah informasi bebas nilai. Artinya di internet tersedia berbagai macam informasi dengan segudang aliran yang tidak terikat dengan nilai apapun. Berbagai aliran pemikiran ataupun sakte agama campur aduk dalam kuali internet tersebut. Sehingga sangat membahayakan bagi pengguna internet, jika tidak dapat memilah mana yang berhak untuk dikonsumsi.

    Lebih parahnya lagi,  dalam teknologi informasi -mesim pencari-  terdapat algoritma digital sebagai alat yang menyuguhkan berita di halaman layar berdasarkan konten yang sering dikunjungi pengguna. Semisal, pengguna internet sering mengakses konten jihad maka secara otomatis di halaman layarnya terdapat suguhan berita jihad.

    Dengan adanya logaritma digital tersebut,  ditambah kecenderungan masyarakat yang mengakses internet -terutama kaum muda- dalam rangka mencari ilmu agama serta maraknya situs yang mengajarkan paham radikalisme yang berkedok ajaran agama, memungkinkan pengguna internet terjebak dalam pusaran informasi yang menyesatkan, dan pada akhirnya  meresahkan masyarakat.

    Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam pusaran algoritma digital tersebut, pengguna internet hendaknya menulis alamat situs yang dapat dipercaya di mesin pencarian(geogle), bukan malahan menulis kata kunci apa yang ingin dicari di halaman mesin pencari tersebut.

  • Kontrol Sosial: Mempersempit Lahan Gersang

    Kontrol Sosial: Mempersempit Lahan Gersang

    Sudah menjadi rahasia umum, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu -yang dianggap sebuah kesenangan- dan kurang memperhatikan akibat yang dihasilkan perilaku tersebut. Pada umumnya, nafsu mengundang bencana  yang dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain.

    Tidak sedikit manusia yang mengikuti  tuntunan hawa nafsu sehingga mengakibatkan kemerosotan dalam segala bidang. Bidang yang paling terkena imbasnya adalah mental. Entah mereka  tidak tahu atau tidak pernah ingin tahu akibat yang mereka kerjakan. Ataukah kontrol sosial mulai luntur dan melemah kewibawaannya.

    Untuk meminimalkan hal tersebut, haruslah terdapat seseorang di setiap tempat atau lebih tepatnya  per-individu yang siap mengingatkan temannya yang mungkin belum mengerti atau lupa, supaya segara mengintropeksi diri. Karena bukan hanya faktor dzalim yang mempengaruhi manusia untuk  mengikuti nafsu, akan tetapi kebodohan pun menyumbang untuk hal itu. dalam mengingatkan teman, haruslah menyesuaikan situasi, kondisi dan bersikap bijaksana agar tercapai maksud dan tujuan.

    Pengendalian sosial –usaha mengingatkan- haruslah dimiliki per-individu dalam masyarakat. Hal ini dapat direalisasikan dengan membiasakan bersegara mengingatkan teman ketika mereka mengumbar nafsu. Adanya saling mengingatkan, setidaknya dapat mangurangi penyelewengan yang diakibatkan dari mengikuti kesenangan yang bersifat mitasi.

                Sekarang ini, zaman dimana ilmu pengetahuan semakin maju, apa jadinya jika kemajuan tersebut tanpa diimbangi pengendalian hawa nafsu?

    Nafsu sebenarnya satu, tetapi mempunyai tiga sifat yaitu tuma’ninah, lawamah dan amarah. Adanya pembagian sifatnya berdasarkan kedekatan atau ketakwaan terhadap Tuhan SWT. Apabila ketakwaan utuh,  nafsu tersebut mendorong untuk mengerjakan sesuatu berlandaskan agama serta ridho-NYA oleh karenanya disebut nafsu mutmainah. Sedangkan jika ketakwaan nafsu terhadap Tuhanya masih setengah-setengah, nafsu tersebut memotivasi setengah untuk kebaikan yang menjadi ridho-NYA  dan setengah untuk keburukan. Motivasi yang tidak jelas, mengakibatkan bercampur agama dan syahwat nafsu yang terkadang memotivasi untuk kebaikan dan terkadang untuk keburukan,nafsu ini desebut lawamah. Ketiga adalah nafsu imaroh, disebabkan sangat jauh dari kedekatan atau ketakwaan terhadap Tuhan SWT, sehingga nafsu tersebut hanya memotivasi untuk keburukan.

    Kalau melihat sejarah, di zaman Rasulilah sampai akhir priode kekhalifahan Usman bin Affan, umat islam tidak terpecah belah. Mereka menjaga persatuan melalui saling menguatkan satu-sama lain. Akan tetapi setelah priode tersebut, umat islam mulai kehilangan disiplin keberagamaan yang mengutamakan persatuan serta menganggap sesama muslim  sebagai saudara. Penyebab persatuan umat di zaman rasul sampai priode ahir kekhalifahan Usman bin Affan adalah mereka masih mempunyai nafsu tuma’ninah yang menggerakan mereka. Sehingga  islam bisa menjaga kesatuan yang mingikuti rel-rel syariat tanpa syahwat nafsu di dalamnya. Sedangkan zaman setelah itu, umat islam kehilangan nafsu tuma’ninah yang tergantikan nafsu lawamah yang menyampur  antara agama dengan syahwat nafsu, menjangkit sebagian penguasa dan rakyat . Ini diperparah dengan berubahnya  sistem kenegaraan Rasulilah SAW. berupa demokrasi ketakwaan- pemimpin dipilih langsung oleh rakyat- menjadi sistem monarki absolut -sistem kepemimpinan secara keturunan- mengakibatkan orang kaya semakin kaya karena dekat dengan kerabat  raja dan orang miskin semakin miskin, tanpa usaha untuk mengentaskanya. Sehinga lahir kelompok- kelompok penjilat. Mereka  tidak mempunyai  prinsip untuk pekerjaan yang mereka lakukan. Asalkan terdapat keuntungan yang mereka peroleh walaupun sebelumnya mereka mengingkari, maka mereka mengganti keingkaran itu menjadi keridoan dan sebaliknya. Inilah yang disebut nafsu amarah bertindak mengikuti syahwat. Sehingga agama menjadi barang dagangan. Jika ini diteruskan tanpa ada pengendalian nafsu yang merubah nafsu tersebut sehingga menjadi nafsu tuma’ninah, kiamat kurang dua hari pun, kita masih menjadi penjilat.

    Tidak dapat dipungkiri, syahwat nafsu yang mengarah pada maksiat walaupun  hina menurut  akal maupun agama tetapi mempunyai daya tarik dari sudut pandang  luar. Sedangkan manusia secara tabiat suka  keindahan serta  menjauhi kehinaan. Keindahan yang ditawarkan maksiat memang nampak indah dari luar namun busuk di dalamannya.  Oleh sebab itu banyak manusia yang tertipu keindahan luarnya, akibat dari kebodohan, kelalaian dan kedzaliman. Di samping itu, manusia mempunyai  unsur Insaniyah dan Syaitoniyah, keduanya berkerjasama untuk mengajak maksiat dengan cara menanamkan kepentingan pribadi pada diri mereka. ditambah lagi perilaku temannya yang mengikuti nafsu dan berprilaku buruk, maka ia akan lebih termotivasi untuk melakukan hal tersebut. karena pada dasarnya manusia mempunyai sifat mengimitasi perilaku orang lain.

    Untuk mengendalikan keliaran nafsu yang menyeret manusia dalam lembah nestapa, dibutuhkan usaha sadar mulai dari diri sendiri sebagai upaya menyadarkan orang lain. semakin banyak orang yang sadar dan menyadari penyakit yang diderita masyarakat, maka kontrol sosial akan semakin kuat. Dan diwaktu yang bersamaan, harapan masyarakat tentang kabaikan membumbung tinggi dan menguat terhadap individu. Sehingga lahan untuk mengumbar nafsu menjadi sempit, dan dengan harapan masyarakattersebut, individu semakin terpacu untuk berbuat baik.

  • HUKUM: KEBAHAGIAAN KOLEKTIF

    HUKUM: KEBAHAGIAAN KOLEKTIF

    Mengapa menikah hukumnya mubah?, Karena menikah sudah menjadi tabiat dan nafsu condong melakukanya. Walaupun menikah sangat dibutuhkan guna melanjutkan istafet kepemelukan agama, namun tidak sampai kederajat wajib. Karena tanpa diwajibkan, menikah sudah menjadi keniscayaan bagi sebagian besar manusia. Suatu kegiatan yang sudah menjadi tabiat manusia dan mereka sangat membutuhkan kegiatan tersebut, dengan atau tanpa penekanan syariat pastilah berjalan, tinggal memberi peraturan agar terhindar dari kebahagiaan egois.

    Hukum atau undang-undang adalah sebuah peraturan yang timbul dari masyarakat untuk masyarakat, guna mencapai kemaslahatan bersama, untuk mencapai cita-cita bersama. Apapun perkara yang dapat menghasilkan kemaslahatan kolektif, haruslah dijadikan hukum atau undang-undang, baik yang sudah berlaku mendarah daging sehingga dijadikan adat oleh masyarakat atau yang masih asing di telinga masyarakat.

    Jadi sumber undang-undang ada dua yang menjurus kepada maslahat kolektif, pertama dari perilaku yang terus menerus dilakukan yaitu sebuah kebutuhan dan merasa dibutuhkan dan yang kedua dari sebuah kebutuhan tapi belum dirasa kebutuhan. Sumber pertama pembentuk undang-undang adalah adat kebiasaan, maka sangatlah mudah menegakkan serta penjagaan pun relative lebih gampang. Sumber kedua adalah perilaku yang belum dirasa kebutuhan walapun sudah pasti maslahatnya. Masyarakat perlu diberikan sosialisasi serta bimbingan dari petugas penegak undang-undang, cara tersebut mungkin efektif untuk orang yang lekas sadar karena keluasan ilmunya, akan tetapi bagi mereka yang masih dangkal kayaknya belum teratasi dengan cara di atas, oleh sebab itu di perlukan kesiap siagaan, ketangkasan dan ketegasan bagi penegak undang-undang.

    Indikasi undang-undang yang mudah atau sulit di jalankan masyarakat adalah tergantung adatkah atau asingkah pembentuk undang-undang tersebut. Terlepas dari manakah undang-undang tersebut dilahirkan. Yang pasti itu semua adalah wasilah kebahagian bersama. Jadi sebuah masyarakat yang mudah mentaati undang-undang yang datang dari manapun adalah masyarakat beradap, menerima kebenaran dan mementingkan kebersamaan membuang jauh egois dan begitu juga sebaliknya.

    Semisal menggunakan kendaraan bermontor, masyarakat berbondong-bondong memanfaatkan tehnologi tersebut, walaupun tanpa peraturan yang menekan. Untuk mencegah  kemungkinan yang ditimbulkan berkendara yaitu kebahagiaan yang mengakibatkan kerugian pablik, dibentuklah peratuaran-peraturan seperti kartu SIM yang harus dimiliki pengendara sebagai bentuk kemahiran dalam berkendara serta perkara yang berhubungan dengannya dan izin berkendara, agaknya peraturan tersebut sangatlah sulit diterima masyarakat, oleh karena itu diwajibkan. Banyak kemungkinan yang menjadi alasan masyarakat sulit menerima hal itu, pertama anggapan montor-montor sendiri harusnya tidak ada aturan, kedua yang penting kemahiran berkendara walaupun tanpa SIM yang mereka buktikan dengan lolos dari kejaran polisi karena mereka beranggapan membuat SIM hanya menambah buncit perut penjilat pemerintah bukan sebagai bentuk kelayakan bermontor.

    Adapun desiran hati yang mengarah kejiwa serta menjadi motifasi untuk melaksanakan peraturan adalah bentuk irodah keinginan yang disebabkan pemahaman yang menggiring pada kesadaran. Dan alat untuk mencapai pemahaman adalah akal yang merasa sebuah kebutuhan untuk menggapai kemaslahatan. Singkatnya, bagi akal yang sudah bisa berfikir kedepan atau sudah balig yakni bisa membedakan mana yang baik dan buruk bagi dirinya, yang bisa menaati peraturan dengan sendirinya. Hanya orang masih kecil atau belum baliglah, yang membutuhkan bimbingan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sebab akalnya masih lemah untuk berdiri sendiri.

  • BIAS POLITISASI AGAMA

    BIAS POLITISASI AGAMA

    Fenomena dimabuk oleh ajaran atau ormas tertentu dalam agama, akhir-akhir ini mulai kentara dipermukaan. Istilah bid’ah tidak asing lagi ditelinga kita. Ini membuktikan betapa mabuknya masyarakat terhadap ajaran tertentu. Dan akhirnya, pelabelan bid’ah, kafir dan khurafat bagi kelompok yang tidak sepaham dengannya, menjadi puncak dari kefanatikan atau kegilaan atas ajaran tersebut.

    Melihat kegilaan atas ajaran agama tertentu, tentu saja dianggap lahan basah untuk dipolitisasi oleh oknum politik. Hal ini dilakukan untuk menjatuhkan popularitas lawan dan sekaligus meneguhkan posisi yang diusung di hati masyarakat.

    Aksi agama yang bermuatan politik seperti yang terjadi di monas kemarin yang berjilid-jilid,-menurut sebagian kalangan- menegaskan bahwa terdapat politisasi agama dalam pilpres tahun ini. jika kita amati, orang-orang yang datang dalam aksi yang berjilid-jilid itu, mayoritas berjubah, berjidat hitam dan suka teriak takbir sembari mengibarkan bendera tauhid, pokonya serasa islamis banget. Sehingga mempengaruhi opini masyarakat bahwa umat islam di Indonesia sepakat untuk memilih pasangan capres dan cawapres tertentu.

    Di lain sisi, masyarakat yang mendukung dan menghadiri maupun masyarakat yang setuju dan mendukung aksi tersebut, merasa apa yang dilakukannya adalah bentuk panggilan agama atau jihat di jalan Allah SWT. Sehingga sentiman antar ormas atau sakte agama semakin memanas di akar rumput yang diakibatkan oleh politisasi tersebut.

    Menguatnya tensi fanatik terhadap ajaran tertentu sudah menjadi masalah sosial di tengah masyarakat dan terkadang dapat meruntuhkan tatanan masyarakat lokal. Apalagi hal itu ditumpangi politik, maka sangat mungkin melahirkan masalah di tingkat nasional melalui perpecahan umat dan pada akhirnya mempengaruhi kestabilan sebuah negara. Pasalnya, mereka mempunyai alasan selain atas nama agama untuk membuat kekacauan, yaitu atas nama menegakkan keadilan.

    perolehan suara pada pelpres tahun ini hanya berselisih 10%. Hal ini, mengindikasikan kekuatan dari kedua kubu capres sama-sama besar. Jika salah satu pendukung dari capres meraup suara dari hasil politisasi agama, maka peta umat islam di indonesia mulai terlihat jelas. Yakni separo dari umat islam di Indonesia berpeluang besar untuk takbir dan mengibarkan bendera tauhid demi keadilan dan yang separo lagi berjuang untuk keamanan NKRI. Dan kemungkinan terburunya adalah terjadi adu-domba antar umat islam di Indonesia yang akan mempengaruhi kestabilan negara yang pada akhirnya kesatuan NKRI goyah.

    Mungkin di tahun ini kita terselamatkan dari kemungkinan terburuk akibat politisasi agama, namun tidak menutup kemungkinan pilpres di tahun yang akan datang muncul kembali hantu politisasi agama yang membawa gelombang lebih besar sehingga menyapu dan meluluh-lantahkan kesatuan NKRI. Mengingat isu SARA masih menjadi problem yang belum terselesaikan di negara kita.

    Sejak indonesia dilahirkan, isu SARA memang sudah ada dan menjadi permasalahan. Oleh karena itu, para pendiri bangsa mengantisipasi agar isu tersebut tidak menguat dan menjadi momok yang dapat menggoyahkan kesatuan NKRI dikemudian hari. Melalui perumusan pancasila sebagai  dasar falsafah negara oleh para pendiri bangsa, diharapkan isu yang berkaitan  tentang SARA dan agama dapat diredam. Sehingga tidak melahirkan masalah di negeri ini.

    Pancasila sebagai falsafah, tentunya merangkul, memuat dan mengikat seluruh nilai-nilai yang berkembang dari sabang sampai marauke. Karena pancasila adalah pemersatu bangsa. Diantara nilai yang terangkul dalam pancasila adalah  nilai agama atau kepercayaan yang termuat dalam sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

    Nilai yang dikehendaki sila pertama adalah nilai yang positif yang digali dari nilai-nilai profetis agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan. Nilai agama yang lapang dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan penempatan sila ketuhanan di atas sila-sila yang lain, politik negara mendapat akar kerohanian dan dasar moral yang kuat. Ketuhanan yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing, melaikan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.

    Dengan peran kepemimpinan moralnya, dalam rangka pencapaian tujuan negara, sila ketuhanan memberikan dimensi agama pada kehidupan politik serta mempertemukan simbiosis antara konsepsi “daulat Tuhan” dan “daulat rakyat”, yang disebut oleh Kartodirdjo dan Kuntowijoyo sebagai “Teodemokrasi. Dengan pancasila, kehidupan kolektif yang berorientasi pada penghayatan nilai-nilai itu terangkat dari tingkat sekuler ke tingkat moral atau sakral (Yudi Latif, 2011)

    Melalui pemaknaan sila ketuhanan sebagaimana mestinya, pemeluk agama ataupun sakte agama dapat memahami bagaimana ajaran mereka menjadi pondasi dalam menghiasi ruang publik dan politik dengan mengutamakan kebenaran, keindahan dan kebaikan sebagai bentuk pengsakralan perkara profam demi kemajuan bangsa indonesia. Hal ini, dilaksanakan sebagai upaya mengobati penyakit akut bangsa yang terkena virus degradasi moral dan karakter yang menjangkiti disemua lini, termasuk perpolitikan bangsa. Dengan demikian, politisasi agama ataupun sakte agama tidak akan pernah laku lagi dipasaran perpolitikan indonesia.

  • Akhlak Fitri di Hari Kemenangan

    Akhlak Fitri di Hari Kemenangan

    Ditulis oleh kang Taufiq

    Alhamdulillah dalam beberapa hari ini kita telah merayakan hari kemenangan(idul fitri). Namun sebelum kita menuju di hari kemenagan atau hari yang fitri, kita dihadapkan pada bulan yang suci, yaitu bulan ramadhan. Di dalam bulan tersebut, kita sudah menjalankan perintahNya yaitu berpuasa/menahan hawa nafsu selama satu hari penuh.

    Tidak hanya itu, kita juga berlomba-lomba dalam memperbanyak kebaikan seperti bertadarus, taraweh dan mengikuti majlis taklim. Untuk menutup bulan yang suci tersebut, kita diwajibkan untuk mengeluarkan seklumit zakat fitrah, guna untuk mensucikan diri kita.

    Tetapi tanpa kita sadari di malam yang suci tersebut(malam kemenangan), kita telah mengkotorinya lagi dengan kelakuan-kelakuan kita yang melanggar syari’at dan hukum negara, seperti bermabuk-mabukan dan tawuran sehingga menjatuhkan banyak korban. Secara tidak sadar kita telah mengkotori lagi jiwa yang telah di sucikan selama satu bulan penuh hanya dalam waktu semalam. Betapa ruginya kita, kebaikan kita selama satu bulan penuh kita hilangkan hanya dalam hitungan jam.

    Lalu di mana islam kita? yang katanya agama kasih sayang. Bukankah kita sudah keluar dari misi sang kekasih kita(nabi Muhammad) yang membawa agama islam sebagai
    rahmatan lil alamin, jika kita selalu menebar kebencian dan pertikaian.

    Seharusnya pada malam kemenangan tersebut, kita isi dengan hal-hal yang positif dan maslahat. Seperti melestarikan budaya lama yang baik yaitu takbiran di masjid, mushola, dll. Juga dapat kita isi dengan takbir keliling sembari sowan-sowan kemasyayikh, kiyai, ustadz dan tokoh masyarakat. Mungkin itu termasuk hal yang baru, namun bernilai baik. Bukankah kita sudah sering dengar maqolah,
    المحافضة على القديم الصالح والأخد بالجديد الاصلح
    Artinya: Menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

    Dan dengan begitu, kita setidaknya sudah mendukung demi terwujudnya islam yang rahmatan lil alamin, sesuai misi yang diemban oleh kekasih kita(nabi Muhammad).sekian dan terima kasih.

  • Kilas balik puasa kita

    Kilas balik puasa kita

    Ditulis oleh kang lutfi

    Puasa ramadhan adalah ibadah yang diwajibkan oleh agama Islam. Dalam puasa, kita diperintahkan untuk menahan sesuatu sekalipun itu perkara halal untuk dilakukan di bulan selain ramadhan. Tetapi setelah kita berpuasa semua hal yang sebelumnya halal atau boleh dilakukan, semua itu haram untuk dikerjakan dari subuh hingga magrib. Seperti makam, minum dan lain-lain yang dapat membatalkan puasa kita.

    Puasa termasuk kewajiban agama yang tercantum dalam rukun Islam yang ke empat. Adapun al quran yang menyinggung perihal puasa, tercantum dalam surah al baqarah ayat 183. Di sana, diterangkan bahwa tujuan utama ibadah puasa adalah untuk menjadikan umat Islam menjadi umat yang bertakwa.

    Tetapi anehnya, pada zaman sekarang ini, yang dikatakan era modern, tujuan puasa seakan mulai punah dan hilang dari lingkungan masyarakat kita. kenapa? Karena Masyarakat kita, sudah mulai melupakan usaha untuk memaknai tujuan ibadah puasa yang berlangsung selama tiga puluh hari. Masyarakat sekarang, berpikir bahwa bulan puasa adalah bulan yang hanya menjalankan puasa saja, yakni menahan lapar dan dahaga. Mereka beranggapan bahwa yang penting adalah dapat menghindari makan dan minum selama waktu puasa, itu sudah cukup. Padahal itu bukan tujuan puasa.

    Kenapa sebagaian masyarakat masih seperti itu?. Mungkin karena kurang mengerti makna dari puasa. Masih banyak di tengah-tengah masyarakat kita, yang berpuasa tetapi masih melakukan hal-hal yang membuat batalnya pahala puasa tersebut, atau bahkan masih melakukan berbagai dosa kecil saat puasa, seperti berbohong, bergosip, pacaran dan lain-lain, yang di mana perilaku tersebut dapat membatalkan pahala puasa.

    Dari uraian di atas, tentu saja masyarakat dan kita khususnya, tidak ingin pemahaman yang seperti itu terus-menerus mengalir di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu, tentu harus ada upaya agar masyarakat dan kita kedepannya dapat lebih baik dalam memahami di setiap bulan puasa, yaitu dengan pengsyiaran kegiatan yang positif seperti mengaji di masjid dan tadarusan yang menitik beratkan pada pemahaman makna dari al quran. Melalui usaha tersebut, masyarakat dan kita bisa lebih mengerti, memahami dan menghayati bahwa begitu mulianya bulan puasa. Sehingga setiap masyarakat dan kita dapat menjalani ibadah puasa dengan lebih bermakna, yang pada akhirnya, bisa dikatakan sukses dalam menjalani ibadah dan terciptalah tujuan dalam ibadah tersebut yaitu menjadi umat yang bertakwa.

  • Puasa: Upaya Penanaman Ibadah Sosial

    Puasa: Upaya Penanaman Ibadah Sosial

    Mengamalkan dan menjalankan puasa di bulan ramadhan, bagi umat islam merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Menahan diri untuk tidak makan, minum dan lain sebagainya yang dapat membatalkan puasa, adalah bentuk puasa yang sering kita lakukan. Pemaknaan yang lebih bersifat manajemen hati agaknya kurang kita perhatikan, apalagi untuk kita hayati, agaknya terlalu ngipi. He he

    Kita sering memaknai puasa hanya sekedar menahan untuk tidak konsumtif di jam yang ditentukan lalu melampiaskannya di waktu berbuka puasa. Hal ini terlihat ketika waktu berbuka puasa mendekat, kita mulai menata atau memburu hidangan yang akan dijadikan menu dalam pemenuhan hasrat kelaparan dan terkadang bahkan sering kita berlebihan dalam memuaskan nafsu makan. Yah, kelaparan itulah yang kita rasakan selama menjalani ibadah puasa, sehingga kita menyiapkan apa yang menjadi pemuas dahaga dan lapar untuk diri kita sendiri.

    Anehnya, kita sering melupakan sebuah  hikmah ibadah puasa yaitu terbentuknya kepekaan sosial kepada orang yang hidupnya sering dihantui kelaparan. Padahal dalam berpuasa, kita merasakan lapar dan dahaga yang sering menimpa orang yang berada dalam kubangan kemisikinan tersebut.

    Memang benar, puasa adalah ibadah yang bersifat mahdzoh untuk diri sendiri, dan bukan bersifat sosial seperti zakat, infak dan sedekah, namun ibadah puasa setidaknya berusaha menanam, merawat dan menyuburkan benih budaya untuk saling berbagi kebahagiaan antar umat muslim, terlebih kepada orang yang lebih membutuhkan akan hal tersebut.

    Oleh karena itu, sudah semestinya kita mencoba mencari dan menyelami hikmah puasa sebagai upaya pengabdian kepada yang Maha Kuasa, melalui perilaku yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Walaupun puasa bersifat individual, namun dapat kita jadikan sebagai landasan dalam beribadah sosial.

    Bagaimanapun juga, perkara yang mempunyai efek sosial, itu lebih baik dari pada perkara yang tidak berefek sama sekali. Seperti yang disinggung dalam sebuah kaedah yang berbunyi sebagai berikut,
    المتعدى افضل من الازم
    Artinya: perkara yang berefek itu lebih utama dari pada perkara berdiam.

    Untuk itu, jadikan puasa kita sebagai langkah awal untuk lebih memperbaiki ibadah sosial sebagai upaya melebih-utamakan nilai ibadah, yang berorentasi pada pencarian keridhaan Allah SWT.

  • Agama: Upaya Stabilitas Sosial

    Agama: Upaya Stabilitas Sosial

    Seorang tidak akan pernah bisa memenuhi kebutuhannya tanpa andil orang lain. Pasalnya mereka adalah makhluk sosial yang membetuhkan uluran tangan orang lain dalam mengarungi hidup ini.

    Kepentingan yang sama mendorong manusia untuk bekerja sama. Namun bagi kaum yang beragama, bukan hanya sekedar kepentingan yang menyatukan mereka, namun lebih dari itu, ikatan mereka terikat atas dasar ibadah.

    Masyarakat moderen, menilai hubungan sosial mereka dengan pembagian tugas atas dasar saling menguntungkan. Jika tidak terdapat unsur menguntungkan maka secepatnya mereka meninggalkan dan berpaling kepada yang menguntungkan. Akibatnya, kesenjangan sosial dalam masyarakat moderen semakin meruncing dan melebar. Maka muncullah kepermukaan istilah, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

    Baca Juga: Zikir Yang Terlupakan

    Kesadaran kolektif yang dimiliki oleh kaum beragama lebih luas dan mendalam, jika dibandingkan dengan kesadaran kaum moderen. Kaum beragama, dalam menjalankan interaksi sosial tidak terbatas pada hukum untung dan rugi saja, namun juga melihat moral yang berlaku dalam masyarakat. Semisal, terdapat orang yang miskin membutuhkan makanan seharga 10000 namun ia memiliki uang 5000, maka dengan senang hati bagi pedagang yang beragama untuk memberikan makanan tersebut. Hal ini, karena didasari oleh moral bermasyarakat yang sekaligus diperintahkan oleh agama untuk membantu orang yang lemah, bukan masalah untung dan rugi.

    Dan kasus ini, tidak ditemukan dalam pasar moderen, seperti indomart ataupun alfamart dan mart-mart lainya, karena moral kaum moderen menyempit lebih kearah individualistik bukan atas dasar moral sosial masyarakat.(diolah dari buku tujuh teori agama oleh Daniel L. Pals)

    Kesenjangan yang terjadi antara si kaya dan si miskin, agakanya disebabkan oleh pola pikir moderen yang mengedepankan kepuasan individual dan meninggalkan moral sosial. Jika kesenjangan ini terus melebar, memanjang dan menjauh, maka angka kriminalitas semakin meningkat. Pasalnya si miskin akan berbuat apapun untuk bertahan hidup tanpa memperdulikan benar dan salah.

    Untuk mengantisipasi kesenjangan tersebut, agama memberikan ajaran moral kolektif demi mengupayakan stabilitas sosial. Hal ini, terlihat dalam konsep takwa yang ditawarkan oleh agama. Ketakwaan sangat penting bagi kaum beragama, karena tingkat ketakwaan seseorang mempengaruhi kemuliaanya dihadapan Allah. Perilaku takwa bukan hanya menjalankan shalat saja, namu juga menyedekahkan hartanya untuk kaum yang lemah secara ekonomi.

    Oleh karena itu, sungguh ironis jika terjadi kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya dalam lingkungan masyarakat yang mengaku beragama.

  • Kiai Panggung; Sebuah Wacana Dakwah

    Kiai Panggung; Sebuah Wacana Dakwah

    Banyaknya kegiatan pengajian yang dilaksanakan di desa, tidak menjamin dan  menjanjikan akan terciptanya masyarakat yang lebih baik. Hal ini, bukan berarti kita harus meninggalkan kegiatan pengajian dan menggantinya dengan kegiatan yang lain, agar tepat sasaran. Sebab, kegiatan tersebut masih diminati bahkan menjadi tradisi bagi masyarakat sebagai wadah untuk mengsyiarkan agamanya. Adapun kurang efektifnya kegiatan tersebut dalam mempengaruhi masyarakat ke arah yang lebih baik, alangkah baiknya kita jadikan masalah tersebut sebagai bahan untuk diuraikan dan dievaluasi dalam rangka mencari solusinya.

    Pengajian, merupakan media dakwah secara lisan. Pada umumnya, kegiatan pengajian memfokuskan pada pendai atau tokoh yang berlabel kiai atau ustadz dalam memberikan ceramahnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi dan memotifasi masyarakat agar dapat menata kehidupan yang lebih baik.

    Pemfokusan pada kiai panggung, dapat dilihat dari tingkat antusias masyarakat dalam menghadiri dan mengikuti jalannya pengajian, yang dipengaruhi oleh siapa yang akan mengisi acara inti yaitu maidzoh hasanah. Usaha dakwah melalui kegiatan pengajian, memposisikan seorang pendakwah panggung menempati tempat yang paling strategis dalam mempengaruhi hal-hal positif terhadap masyarakat. Oleh karena itu, kiai panggung dalam kasus ini, menanggung beban tanggung jawab yang besar sekaligus menjadi kunci bagi terbukanya pintu hidayah bagi masyarakat.

    Dari sini, kita dapat melihat bagaimana potensi kiai panggung dalam kegiatan pengajian sebagai usaha mempengaruhi masyarakat. Kemungkinan kurang efektifnya sebuah pengajian disebabkan oleh kiai panggung yang kurang profesional. Jika memang benar, bahwa kiai panggung adalah salah satu faktor yang menghambat kesuksesan acara tersebut, lantas bagaiman seharusnya kiai podium dalam menyampaikan ceramahnya?.

    Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam kitab Fathu Rabbany menukil perkataan Hasan Basry yang menyinggung tentang bagaimana memberi petuah kepada manusia, seperti berikut,[1]

    عظ الناس بعملك و كلامك يا واعظا عظ الناس بصفاء سرك وتقوى قلبك ولا تعظهم بتحسين علانيتك مع قبح سريرتك

    Artinya: Nasihatilah manusia melalui perilaku dan perkataanmu. Wahai penceramah, nasihatilah manusia dengan kebersihan dan ketakwaan hatimu, dan jangan menasehati mereka dengan kebagusan yang engkau perlihatkan bersamaan keburukan di hatimu.

    Berpijak dari sini, seorang kiai panggung haruslah menasehati masyarakat melalui perkataan maupun perilaku dengan penuh ketakwaan hati. Idealnya kiai Panggung, sebelum menuturi dan menasehati masyarakat, ia sudah mengamalkan ilmunya dalam bentuk perilaku yang baik, kemudian menggunakan lisan untuk menasehati masyarakat. Perilaku dan perkataan yang lahir dari hati bersih penuh dengan ketakwaan, agaknya lebih diterima dan didengar oleh hati masyarakat, yang kemudian menjadi sebuah langkah awal untuk berbuat baik yang pada akhirnya kiai panggung pantas mendapat label rahmat bagi mukmin.

    Ajakan secara lisan yang bersumber dari prilaku, merupakan sebuah komitmen seseorang atau kiai panggung dalam memposisikan masyarakat sebagai bagian dari tubuhnya. Pasalnya, ia menginginkan masyarakat untuk ikut merasakan nikmatnya berprilaku baik seperti yang sudah ia lakukan sendiri. Ajakan seperti ini adalah bentuk cinta kiai panggung terhadap masyarakat yang sekaligus mengindikasikan keutamaan iman kiai panggung. Agaknya, hal inilah yang diisyaratkan oleh hadis yang yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang dinukil oleh Ibnu Hajar Al Haitamy dalam kitab Fathul Mubin, sebagai berikut;[2]

    افضل الايمان ان تحب للناس ما تحب لنفسه

    Artinya: Lebih baik-baiknya iman adalah engkau mencintai untuk manusia sesuatu yang engkau sendiri mencintainya untuk diri sendiri.

    Oleh karena itu, seorang kiai podium dalam menjalankan dawahnya melalui acara pengajian, harusnya didasari cinta terhadap masyarakat, bukan didasari honor atau imbalan yang diberikan yang diterima dari masyarakat, sebagai usaha agar tujuan dari acara pengajian dapat dicapai, yaitu terbukanya pintu hidayah bagi masyarakat.


    [1] Syaih Abdul Qadir Al Jailani, Fathu Rabbany. Hal, 95.

    [2] Ibnu Hajar Al Haitamy, Fathul Mubin. Hal. 306.

  • Pengertian Sifat Sombong dan Ujub

    Pengertian Sifat Sombong dan Ujub

    Pengertian Sifat Sombong Pemudatanbihun.Com membanggakan diri – merupakan sifat Iblis. Keduanya mempunyai makna yang berbeda, dengan sedikit persamaan. Tutur yang saya dapat dari beliau K.H Maimoen Zubair pada saat ngaji kitab Ihya’ Ulum ad Din, “Iblis dapat dikatakan ujub juga bisa dikatakan sombong dalam masa atau waktu yang berbeda, ia mempunyai sifat ujub ketika Nabi Adam as. belum diciptakan, dan ia memiliki sifat sombong setelah Adam as. tercipta”.

    Dari keterangan di atas, kita dapat membedakan antara sifat sombong dan sifat ujub. Sombong adalah suatu sifat yang membuat seseorang merasa tinggi di atas orang lain, dalam menyandang kesempurnaan. Dan tidak dinamakan sombong, jika seseorang merasa dirinya sederajat atau di bawah derajat orang lain.

    Pengertian Sifat Sombong

    Pengertian Sifat Sombong

    Seperti menghina orang dengan merasa dirinya lebih rendah dari orang yang dihina atau merasa sederajat dengannya, hal itu tidak dinamakan sombong.

    Oleh karena itu Iblis memiliki sifat sombong sebab ia merasa lebih mulia daripada Adam as. yang dilihat dari nasab (asal kejadian), sebagaiman firman Allah swt. dalam surat Shad ayat 76,

    قَالَ أنا خَيْرٌ منْه خَلَقْتَنِي مِن نَار وَخَلقتَهُ مِن طِيْنٍ

    Artinya: Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya (Adam as.), karena engkau ciptakan aku dari api, sedang dia engkau ciotakan dari tanah”.

    Sedangkan sifat Ujub atau membanggakan diri adalah sifat yang membanggakan diri sendiri yang terdapat dan bersemayam di hati seseorang. Dan boleh jadi, jika Iblis diciptakan sendirian berpotensi membanggakan diri alias ‘Ujub. Dan hal ini dipertegas oleh dawuh yai Maemoen, “bahwa Iblis memiliki sifat ujub sebelum terciptanya Adam as”.[1]

    Seperti yang kita ketahui, bahwa kita tidak boleh bersifat sombong karena sombong adalah sifat Iblis, akan tetapi ada pencecualian jika terdapat sebab atau alasan yang pasti. Sombong itu dilarang oleh islam, kecuali menyombongi orang yang sombong. Sebagaimana disampaikan oleh Rosulullah SAW  dalam sebuah hadis;

    قال رسول الله ص.م. : اذا رأيتم المتواضعين من امتي فتواضعوا لهم, واذا رايتم المتكبرين فتكبروا عليهم, فان ذالك مذلة لهم وصغار

    Artinya: Rosulullah SAW bersabda: “Apabila kamu sekalian melihat ummatku yang rendah diri, maka bersikaplah rendah diri pada mereka. Dan apabila kamu sekalian melihat orang-orang yang sombong maka bersikaplah sombong pula pada mereka. Sesungguhnya kesombongan itulah yang menyebabkannya lebih terhina dan lebih kerdil”.[2]

    Mengenai menyombongi orang yang sombong, dalam kitab Faidhul Qodir 4/277  terdapat  atsar, seperti berikut;

    وفي أثر: الكبر على المتكبر صدقة لأن المتكبر إذا تواضعت له تمادى في تيهه وإذا تكبر عليه يمكن أن ينبه

    Artinya: Dan dalam atsar : “menyombongi orang yg sombong adalah sodaqoh, karena sungguh orang yg sombong ketika anda tawadhu’ padanya maka dia akan nglamak (bertambah) dalam keangkuhannya. Dan jika anda menyombonginya maka  mungkin kesombonganmu menjadi peringatan (nasihat) baginya.[3]

    Hal ini dilakukan agar orang yang sombong merasa bahwa dirinya sombong sehingga ia bermuhasah atau mengintropeksi dirinya untuk lebih baik dalam berperilaku bermasyarakat yang tidak menyakiti dan mendzalimi sesama manusia.


    [1] Ihya’ Ulum ad Din Al Ghazali

    [2] Ibid.

    [3] Faidhul qodir

    wikipedia