Blog

  • Rasulillah “Gumun”

    Rasulillah “Gumun”

    Kalian tahu ngak?, Non muslim termasuk umat Muhammad SAW. Dalam literatur tertulis bahwa klarifikasi umat terbagi dalam dua bagian, yaitu umat dakwah ijabah dan umat dakwah goiru ijabah.

    Lha, umat yang berlabel dakwah ijabah adalah umat yang mengimani Muhammad SAW sebagai pembawa risalah yang mengajarkan ketauhitan dan syariat islam. Sedangkan umat yang ghoiru ijabah, merupakan umat yang tidak menerima dan mengingkari risalah Muhammad SAW. Singkatnya, umat islam dengan berbagai sakte dan aliran termasuk bagian dari umat yang ijabah. (diolah dari kitab suhwah al islamiyah  baina ikhtilaf, hal 37, yusuf qordawi). Ehm, kalau  masalah masuk surga atau neraka tergantung Tuhanlah.

    Dalam umat dakwah ijabah terdapat hirarki keutamaan. Tingkatan keutamaan umat dakwah ijabah adalah menurut zaman mereka hidup. Semakin jauh rentang hidup antara rasul dan umat maka semakin rendah derajat keutamaan umat tersebut. Tingkatan tertinggi dimulai dari umat yang pernah hidup bersama rasulilah yakni para sahabat. Disusul umat yang menangi para sahabat, yang disebut tabi’in, disusul generasi setelahnya sampai pada generasi sekarang yakni umat zaman now. Oleh karena itu, kita yang keutamaannya lebih rendah dari pendahulu kita, maka sudah sepantasnya untuk menghormati mereka apalagi dengan para sahabat radiyallahhu anhum.

    Jangan bersedih gitu lah gaes gara-gara kita terlahir jauh setelah masa nabi, sehingga derajat keutamaan kita terendah di antara umat Muhammad SAW. Sebab terdapat hadis yang menuturkan kegumunan/ketakjuban nabi terhadap umat zaman now, ya itu kita loh!!!.

    Diriwayatkan dari al Hasan bin Urfah al Abady, bahwa Rasul pernah bertanya kepada para sahabat, Adakah makhluk yang engkau kagumi tentang keimanannya?. Malaikat, jawab para sahabat. Bagaimana mereka tidak beriman padahal mereka dekat dengan allah?, sahut sang utusan. Para Nabi ya Rasul, para sahabat menebak, bagaimana ia tidak beriman padahal wahyu turun untuknya?, Rasulallah menyangkal. lalu para sahabat menebak lagi, kalau kita gimana?, Loh, bagaimana kalian tidak beriman padahal saya diantara kalian? Kata Utusan Allah. Selang itu beliau dawuhan, ingatlah makhluk yang paling aku gumuni/kagumi keimanannya, adalah generasi setelah kalian, mereka menemukan mushaf, mengimani serta mengamalkannya.

    Walaupun salah satu perawi hadis di atas dianggap pengingkar hadis, namun ada juga hadis yang menyinggung perihal tersebut, sehingga penulis memantaskan untuk ditulis kali ini.

    Di antara hadis yang senada dengannya, yaitu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa seorang sahabat bertanya pada Rasul, hai Rasul, adakah seorang yang lebih baik dari kami? Kami  berislam dan berjihat bersamamu. Ya, ada_lah, yaitu generasi yang mengimaniku sedangkan mereka tidak pernah melihatku, tutur Rasulallah. (Diolah dari tafsir ibnu katsir surah al Baqarah ayat ketiga)

    Setidaknya hadis di atas mengobati kegalauan kita tentang keutamaan umat, walaupun hanya perkara iman dengan yang gaib, yaitu mengimani Muhammad SAW sebagai pembawa serta pengaajar risalah tanpa melihat wajah beliau, Sehingga kita ‘umat zaman now’ lebih baik  dari para pendahulu kita termasuk para sahabat, ehm, walaupun dari sisi ini saja. Namun lumayan lah, dari pada tidak ada lebihnya sama sekali, terlebih lagi Rasulallah gumun sama generasi zaman now.
    اللهم صل على سيدنا محمد.

  • Rahmat yang Terlupakan

    Rahmat yang Terlupakan

    Yang namanya perbedaan itu lumrah bahkan fitrah. Penampilan fisik yang dari sononya saja, mulai warna kulit sampai jenis ras berbeda-beda, apalagi pemahaman, pasti sangatlah komplek dan cenderung variatif di setiap orang yang dibekali akal oleh Tuhan. Sebab penerimaan pemahaman oleh akal sesuai dengan kapasitas pemiliknya. Ehm, walaupun sama-sama ditukuli rambut hitam loh.

    Seringnya kita kan, memperkarakan perbedaan sebagai sumbu masalah yang membrentek pada masalah akhor. Kebencian, pertikaian dan perkelahian berakar dari sudut pandang perbedaan antar kita dan mereka. Sehingga kebaikan mereka bagi kita merupakan keburukan karena mata kita terkadung menaruh benci dan su’udzan.

    Para sahabat yang lebih dekat dengan utusan Allah SWT pun, mereka pernah berbeda pendapat gegara penafsiran mereka tentang dawuh utusan Allah SWT masalah shalat ashar di pemukiman Bani Quraidoh. Toh, mereka tidak saling benci apalagi berkelahi demi membenarkan pendapatnya. Apalagi kita yang jauh dari masa Nabi, perbedaan pendapat pasti lebih melebar dan meluas, bukan hanya masalah agama. Kok, kita tidak bisa memaklumi dan memaknai keberagaman pendapat adalah rahmat sebagaimana yang dicontohkan, malahan kita sering nyalahin pendapat orang lain dan merasa suci sendiri. Padahal sahabat yang sudah jelas diridhoi Tuhan saja, mereka tidak mensucikan pendapat mereka apa lagi untuk mensucikan pendapat orang lain.

    Pada tahun politik seperti sekarang ini, perbedaan pun beraroma politik juga. Sampai-sampai bumbu utamanya berupa racikan agama untuk memikat pelanggan dan pecandu agama demi tujuan pragmatis. Sangat disayangkan sekali, agama Islam yang notabenya nongkrong di klasemen teratas kependudukan negeri ini, menjadi sasaran empuk bagi sohibul hajat politik. Maka tidaklah mengherankan jika mereka terkotak-kotak dan saling berujar serta menebar benih kebencian. Singkatnya, teradu domba sebagai tanduk-tanduk agama.

    Apalagi didukung media massa yang berperan masif sebagai pelayan dan menyuguhi masyarakat perihal tanduk-tanduk agama, sehingga masyarakat bawah terbawa arus pengkotakan meski dengan takbir yang lirih dengan radius telinga tetangga.

    Lantas, apakah agama mayoritas/kuat secara kuantitas saja merupakan bentuk fitnah ataukah rahmat bagi umatnya? Apakah pantas, Islam yang sebagai agama damai malahan melahirkan pertikaian? Bukankah perbedaan adalah pengejawentahan dari rahmat yang terhampar luas yang pastinya murni kanugrahan sangkeng Allah SWT?

  • Ulama Menurut Bahasa dan Istilah

    Ulama Menurut Bahasa dan Istilah

    Kata ILMU diambil dari bentuk masdar yang fi’ilnya berupa علم-يعلم yang menurut kamus (lugot) mempunyai dua makna yang pertama ma’rifat atau mengetahui yang kedua pengetahuan atau masalah yang diketahui dan secara istilahnya (term) ilmu berarti: pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.

    Bila ditinjau dari sistematis dan shorof adanya masdar (kata kerja) pasti darinya terbentuk sighot isim fa’il (pelaku/orang yang sedang mengerjakan), kata عالم (orang yang mengetahui) asal dari علم (pengetahuan) jika kita telah mengetahui arti ilmu pastinya kita juga mengetahui arti ‘alim sesuai kerangka tersebut, dari pemahaman di atas bisa dikorelasikan bahwa orang ‘alim adalah orang yang mengetahui sesuatu tentang suatu bidang pengetahuan singkatnya.

    Esensi pembahasan mengerucut pada istilah علماء bentuk jamak عالم dan sudah maklum makna ulama bila di kaitkan dengan makna pengertian di atas, tapi makna tersebut masih banyak menimbulkan pertanyaan (kemusykilan) karena kejumudan arti ulama versi lughot memasukan seorang yang hanya cendikiawan,budayawan,sastrawan bahkan seorang doktor hingga seorang profesor maka dari itu disini akan memperlihatkan esensi ulama dan eksistensinya, agar tampak jelas untuk publik apa hakikat ulama?

    Secara syar’i kata ulama telah tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits karena memang makna syar’i lebih didepankan dari pada makna lugowi (bahasa) yang berkaidah:

    المسمى الشرعي اوضح من اللغوي

    Nama secara syar’i lebih bermakna (valid) dari pada lugowi, sesuai dengan qoulun Nabi SAW:

    العلماء هم ورثة الانبياء

    “Ulama adalah mereka pewaris ilmu (agama) nabi-nabi.”

    Dan juga terdapat pada kalam Allah SWT:

    انما يخشى الله من عباده العلماء (من كان عالما باالله و اشتدت خشيته)

    “Ulama adalah orang yang tahu dan yakin akan Allah serta sangat takut kepadaNya.”

    Keberadaan ulama disekitar kita merupakan sumber acuan dalam menjalankan kehidupan demi kebahagian di dunia maupun untuk akhirat, maka dari itu ikuti ulama’ karena memang itu sebuah kewajiban bagi bangsa umumnya bagi umat islam khususnya, berdasarkan Al Qur’an:

    أطيعواالله وأطيعوا الرسول و أولي الامر منكم

    اولي الامر اي العلماء

    Ketika ulil amri ditafsiri ulama maka suatu kewajiban taat kepadanya sebagaimana Allah dan Rasul-Nya.

    Ketika kita termasuk ummat yang mengajak kebaikan (الخير) padahal alkhoir adalah mengikuti Al Qur’an dan Hadist Nabi, dalam:

    الخير اتباع القرأن و سنتي

    Kebaikan ialah menurut Al Qur’an dan sunnahku. Maka jelas bahwa disinilah keberadaan ulama’ sebagai pewaris anbiya’ karena tak akan ada standarisasi pemegang Al Qur’an dan Hadist kecuali para alim ulama’.

    والله اعلم.
  • Amr dan Nahi Sebuah Stimulus Sebagai Umat Terpilih

    Amr dan Nahi Sebuah Stimulus Sebagai Umat Terpilih

    Manusia dapat membedakan atau lebih tepatnya menilai suatu permasalahan yang berada di depannya, walaupun sebelum datang syariat. Mereka dapat membedakan kemaslahatan dan kerusakan untuk dirinya ataupun lainnya. Mendahulukan  perkara yang lebih baik dari pada perkara baik, serta menolak/meninggalkan perkara yang lebih bahaya dari pada perkara yang bahaya adalah perilaku yang terpuji/bagus, yang berdasarkan akal yang mereka miliki[1]. Hal ini mengindikasikan, bahwa manusia sebelum datang syariat, mereka sudah berlomba menghasilkan kebaikan, walaupun untuk dirinya sendiri.

    Mendahulukan atau memilih perkara yang lebih bermanfaat dan menolak atau menghindari perkara yang lebih merusak adalah tabiat manusia[2]. Sebab mereka condong terhadap kenikmatan dan kebahagian[3]. Oleh karena itu, syariat datang dengan pondasi menghsilkan perkara yang paling bermanfaat dan menolak perkara yang merusak dan bertujuan untuk kesempurnaan maslahat manusia, dengan kata lain me-manusiakan manusia. Dapat disimpulkan, bahwa orang yang tidak bisa menerima syariat yang sesuai dengan tabiat yang mereka miliki, maka disadari ataupun tidak mereka  menghilangkan kemanusiaannya dari wadah manusia.

    Salah satu syariat islam adalah amr ma’ruf dan nahi munkar. Amr artinya memerintah dan ma’ruf artinya perkara yang dianggap bagus. Jika kadua kalimat digabungkan, berarti memerintah perkara yang dibaguskan. Sedangkan nahi artinya melarang dan munkar artinya perkara yang keji lagi susah, yang jika digabungkan berarti melarang perkara keji dan menyusahkan. Dengan adanya syariat tersebut, agama menjadi sempurna, yang oleh Allah SWT memberi contoh melalui Nabi-Nya untuk berbuat baik dari lisan atupun perilaku dan menghalalkan yang baik serta mengharamkan perkara yang kotor, pastinya ini selaras dengan nalar manusia, karena amr dan nahi adalah salah satu syariat terpenting agama yang pastinya harus bermaslahat. Tidak mungkin Allah SWT mensyariatkan suatu  syariat kecuali di dalamnya terdapat maslahat. Sehingga, jika kerusakan yang diakibatkan amr dan nahi lebih besar dari pada maslahatnya, maka tidak termasuk syariat yang diperintahkan.[4]

    Manfaat yang diperoleh dari syariat tersebut bukan hanya di akhirat akan tetapi dunia dan akhirat. Adapun manfaat yang dapat diambil dari syariat tersebut, dari segi dunia adalah orang-orang dholim/fasik bisa dikendalikan atau sekurang-kurangnya orang dholim mengerti bahwa dirinya merugikan. Dan manfaat yang diambilnya dari sisi akhirat/agama terhindar dari dosa orang-orang yang berbuat dosa (kepeletan doso) dan mengatasi orang yang cerobah dalam beribadah dengan tidak memperhatikan syarat-rukun supaya beribadah dengan baik dan benar. Yang terpenting adalah meluruskan aqidah yang sesat seperti iman dan sahadat kurang memenuhi syarat, yang semua mengarah pada kesimpulan bahwa kedua syariat tersebut untuk keseimbangan dunia-ahirat dengan kebersamaan. Oleh karena pentingnya syariat tersebut, jika ditinggalkan maka rusaklah tatanan dunia-agama.oleh kiai Haji Rifa’i

    اتوي تعكل كروني امر نهى كواجبني         ايكو مجباكن كروسكن دنياني

    [لن    روسك   اكمني   الله   كبنرن           ايكوله ارف جمبركن كنظرني[5

    Amr dan nahi tersebut merupakan ciri khas yang membedakan kita dari agama langit sebelumnya, yang dimana mereka ada yang mengharamkan sebagian kebaikan dan menghalalkan semua perkara kotor melalui rasulnya, akan tetapi nabi Muhamad SAW dengannya agama islam lahir, menghalalkan seluruh perkara yang baik dan mengharamkan perkara yang kotor. Menghalalkan perkara yang baik adalah termasuk dari amr bi-alma’ruf sedangkan mengharamkan perkara yang kotor bagian dari pada nahi an-munkar. Dengan bukti amr dan nahi umat islam berhak memegang penghargaan anugrah langsung oleh Allah SWT Tuhan semesta alam menjadi sebaik-baiknya umat di bumi,

    Sebuah pertanyaan ”mengapa dengan amr dan nahi Allah SWT menjadikan sebaik-baiknya umat?. Jawabannya dikarenakan  pelaku amr dan nahi mencerminkan dari hati yang mempunyai pendirian kokoh tidak bisa dirubah walaupun dengan ombak samudra iming-imingan kebahagian dunia. Disebabkan mereka ikhlas murni tanpa tercampur kepentingan pribadi, hanyalah syariat yang menjadi  pedoman bukan sebuah peradatan yang dijalankan kebanyakan masyarakat seperti praktek KKN, mereka tidak peduli diasingkan ataupun gangguan oleh masyarakat  sebab mereka sadar orang yang terpilihlah yang dapat menjalankan tugas berat sebagai khalifah bumi dan sabar seketika ujian menghampiri.

    Wallahu A’lam.

    Daftar Pustaka:
    [1] Izzuddin Ibnu Abi-Salam. Kowaid ahkam hal 5
    [2] Kowaid ahkam hal 7
    [3] Kowaid ahkam hal 17
    [4] Ibnu Taimiyah. Amar bi_alma’ruf wa nahi an_almungkar. hal 10
    [5] Kiai Rifai, Abyanal hawaij, bab amr nahi jus 3

  • Toleransi untuk Perekat Kemajemukan

    Toleransi untuk Perekat Kemajemukan

    Toleransi adalah menghargai perbedaan supaya tercipta perdamaian yang akan dinikmati seluruh masyarakat tanpa terkecuali baik hitam, putih, tinggi ataupun pendek semua berhak merasakan buah toleransi yaitu perdamaian. Islam sebagai rahmat lilalamin pastinya mengajarkan toleransi, hal ini dicontohkan sohib syariah islam Nabi Muhamad SAW ketika di madinah mengadakan perjanjian antara muslim dan yahudi diantara butir yang disetujui adalah:

    1. Orang yahudi dari bani ‘auf adalah satu umat dengan kaum mukmin. Orang-orang yahudi dengan agamanya dan orang-orang mukmin dengan agamanya sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kelompok yahudi diluar bani ‘auf.
    2. Harus nenolong orang yang dizalimi.
    3. Mereka harus bersatu melawan pihak yang hendak menyerang yatsrif.
    4. Mereka harus saling menasihati, berbuat baik dan tidak boleh berbuat jahat.[1]

    Dari butir tersebut islam mengajarkan hidup bersama-sama walaupun berbeda-beda yang diikat dalam perjanjian berdasarkan toleransi, yang dimana toleransi oleh islam dianggap sebagian iman[2], tanpa menghapus perbedaan itu demi kebahagiaan bersama. Oleh karena itu Islam sebagai agama toleransi itulah kata yang paling tepat. Akan tetapi ada juga yang mengaburkan atau memutar balikan fakta sejarah yang ada, seperti kasus sahabat Umar RA yang membebaskan Mukodas Palestina dari kekaisaran Romawi yang di isukan ketika itu Umar mensyaratkan agar yahudi tidak bermukim disana, jika Umar RA pernah membuat perjanjian tersebut pastilah diikuti generasi muslim setelahnya karena muslim diperintah mengikuti khulafa rosidin, faktanya salahudin al ayubi tidak mengusir yahudi ketika membebaskan mukodas palestin setelah peperangan salib serta mengaanggap yahudi sebagai ahli dimah biasa. Ini menunjukan isu tersebut  salah adanya.[3]

    Sebagian dari kita dengan mengatas namakan toleransi- tidak ada permusuhan – menganggap seluruh agama benar, menyamakan hak perempuan dengan laki-laki dan lain sebagainya yang merobek ijmak. Maka Saleh bin Abdurahman menggaris bawahi toleransi sebagai berikut “ Selama toleransi tidak mengakibatkan terbelanya orang dholim, kecerobohan dalam membela agama dan mengakibatkan harga diri muslim terhina maka toleransi diperintahkan.” [4]

    Menganggap semua agama benar dengan alasan semua agama langit berkeyakinan monoisme (satu tuhan) walaupun terjadi perbedaan diantara sekte-sektenya[5]. Kalau kita boleh menambahi kemungkinan alasan mengapa timbul pendapat semua agama benar. Alasan pertama karena islam di zaman sekarang dari segi politik, sosial dan teknologi tertinggal jauh oleh non muslim, oleh karena itu islam harus bisa mengejar ketertinggalan tersebut dengan berbagai cara, cara yang dianggap paling tepat adalah  ikut mengkaji kajian non muslim itu akan tetapi kefanatikan muslim terhadap agama islam itu sendiri menjadi hijap yaitu menganggap islam diatas segalanya sehingga menjadi penghalang kemajuan islam, selain cara tersebut seperti teroris, pembrontakan ataupun menantang non muslim, kayaknya tidak akan sukses, bahkan menjadi batu loncatan bagi mereka untuk membinasakan muslim dari bumi Tuhan. Jadi dengan kefanatikan tersebut islam menjadi semakin lemah, maka dikeluarkanlah pendapat tersebut supaya kefanatikan agama hilang dan berani membuka diri kepada dunia luar. Kedua adalah menghargai agama lain atas nama toleransi. Kalau memeng benar ini alasan mereka, berarti mereka dangkal dalam berfikir dalam memajukan islam sehingga menggadaikan islam itu sendiri dengan menghilangkan kefanatikan dalam agama padahal Ibnu Kholdun di mukodimahnya menuliskan “agama tidak akan sempurna tanpa fanatik” lalu beliau membagi fanatik menjadi dua yaitu fanatik buta dan tidak buta.[6] Keduanya mempunyai akibat yang dihasilkan sendiri-sendiri.

    Cukuplah bagi muslim untuk memajukan agamanya tanpa menggadaikannya yang mengatas namakan toleransi tersebut, dengan mengamalkan firman Allah SWT yang dinukil Buya Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern yaitu:

    (فبشر عباد الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه (الزمر17-18

    “Berilah kabar gembira bagi hambaku yang suka mendengar kata dan memilih mana yang baik”

    Sebelum menulis ayat tersebut beliau menuliskan; umat islam disuruh menjadi penyaring  jangan menjadi “nerimo ae” terima saja, laksana air yang dilalui ikan, buaya, kapal dan dilalui bangkai. Tetapi memilih mana yang baik, memperbaiki mana yang patut dan melemparkan perkara yang tidak baik.[7]

    Jadi kalau ada cara yang lebih maslahat mengapa tidak?

    Daftar Baca:
    [1] Shahih Siroh Nabawiyah hal 241
    [2] حقيقة الإيمان                                                                                 قيل فما الإيمان، قال: السماحة والصبر
    [3] القدس قضيه كل مسلم باب الفتح الإسلامي ص26
    [4] التسامح والعدوانية ص28
    [5] Diskusi forum kiai muda jatim dengan Ulil
    [6] Jadum dengan Pak Hurul
    [7] Tasauf Modern

  • Pemuda dan Globalisasi

    Pemuda dan Globalisasi

    Kata globalisasi sudah tidak asing lagi di telinga kita, mungkin karena sudah lama isu tersebut digulirkan di permukaan bumi ini. Globalisasi secara bahasa diartikan sebagai penyatuan dunia yang meliputi nilai, sosial, dan budaya dengan satu bendera. Untuk mewujudkannya komunikasi dan informasi ditingkatkan kecepatannya, sehingga penduduk dunia dipaksa menikmati berbagai warna-warni nilai, sosial dan budaya yang ditawarkan.

    Yang pasti penduduk dunia memiliki ciri khas masing-masing, yang dipengaruhi tempat tinggal, idiologi (keyakinan) dan kultur budaya guna menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak seperti budaya timur yang menjunjung tinggi nilai moral sehingga berpakaian sopan adalah pakaian yang menutupi syahwat untuk melihatnya, sehingga berpakaian yau can see dianggap tidak sopan.

    Nilai-nilai yang sudah mengakar dan mendarah daging tersebut terkena imbas globalisasi yang mengakibatkan sedikit demi sedikit tergrogoti dan besar kemungkinan akan membusuk sehinnga hilang. Pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi paksaan globalisasi? Pemuda menjadi ujung tombak pemecahan masalah dan memberi solusi. Tunjukkan pemudamu dengan menyumbang solusi.