Di kalangan Rifa’iyah, mempelajari dan menghafal nadzom kitab tarajumah karya KH. Ahmad Rifa’i telah menjadi tradisi yang mengakar kuat sehingga membentuk budaya dan peradaban Rifa’iyah yang tarajumah.
Sedini mungkin orang tua kita mengenalkan Islam kepada anak-anaknya lewat wasilah kitab nadzom tersebut. Karena selain mudah dipelajari dan dihafalkan, juga memudahkan kita untuk memahami secara utuh ajaran Islam yang bersumber dari bahasa Arab yaitu: al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas. Dengan kemudahan tersebut diharapkan agar supaya kita dapat mengamalkan Islam yang rahmatan lil alamin ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Sang pembawa risalah agama Islam.
Namun masalahnya, tidak banyak dari kalangan kita yang berusaha memahami dan menghayati karya-karya dari KH. Ahmad Rifa’i secara mendalam untuk menemukan bentuk dan proporsi dialog pribadi dengan kitab nadzom tarajumah beliau. Biasanya, mereka hanya sekadar mempelajari dan menghafal tanpa adanya iktikad untuk mencari dan menemukan nilai-nilai penting bahkan yang terpenting dari kandungan kitab nadzom tarajumah.
Selain kurangnya penghayatan, mungkin juga disebabkan oleh tradisi i’timad ‘alim adil’ di kalangan Rifa’iyah yang berlebihan. Padahal efek yang ditimbulkan kurang begitu menguntungkan yakni, sikap pasrah menerima apa adanya tanpa ada kesadaran untuk mengupayakan memeriksa kebenaran fatwa atau wejangannya, sebelum mempercayai dan mengikuti. Disamping itu juga keterbatasan ulama di kalangan kita yang sibuk terutama dalam segi-segi hukum agama belaka. Kalau masuk usia mukalaf, belajarlah mengucapkan syahadat dengan benar dan beribadah yang sesuai dengan rukun dan syaratnya, tanpa pernah bagaimana merespon situasi masyarakat yang sedang dihadapinya. Misalnya, tatanan ekonomi atau kerusakan lingkungan dan ekosistem. Sementara mengusahakan cara bagaimana anak-anak muda cukup punya minat untuk mempelajari kitab nadzom tarajumah susahnya bukan main.
Padahal derap zaman yang semakin gencar dan pesat itu menuntut kita untuk mencari bentuk formula dan aturan penerapannya guna merespon perubahan yang tak terelakkan. Dan itu adalah kewajiban kita, apabila jika Rifa’iyah tidak ingin punya kesan menjadi simbol ortodoksi organisasi penghambat laju perkembangan zaman.
Introspeksi untuk kenyataan tersebut ialah bagaimana mengusahakan pembenahan sikap kerifa’iyahan kita agar komunitas ini tetap patuh dan setia terhadap nilai-nilai tarajumah. Untuk sampai wujud kesetiaan itu perlu dilakukan melalui inovasi kreatif atau semacam ijtihat dari semua kalangan Rifa’iyah untuk menemukan relevansi dan hikmah yang terkandung dalam kitab nadzom tarajumah dengan realitas yang dihadapinya. Agar supaya mengalami proses peningkatan dari Rifa’iyah administratif menuju Rifa’iyah yang substantif. Atau meminjam dari istilah agamanya, dari muslim menjadi mukmin. Tidaklah salah orang yang ibadah mahdhohnya sudah mepeki rukun lan syarat, tapi masih saja sering berbuat maksiat. Melainkan sifat kadar, mutu dan intensitas ibadahnya yang mesti kita tuding.
Memang berat mempertahankan kepatuhan dan kesetiaan terhadap nilai-nilai tarajumah ditengah-tengah kesemrawutan di era milenial sekarang. Untuk itu maka dibutuhkan vitalitas dan totalitas serta kreatifitas dari kalangan Rifa’iyah agar tidak merasa asing dengan kitab nadzom tarajumah dan diri sendiri sebagai orang Rifa’iyah. Namun dengan dasar niat yang tulus dan kecintaan terhadap nilai-nilai warisan pemikiran dan perjuangan KH. Ahmad Rifa’i, maka insyaallah tidak mengenal keberatan semacam itu. Karena dengan wasilah kitab nadzom tarajumah yang sumbernya jelas dari ajaran Islam, kita dapat mencari dan berusaha menemukan jalan keberuntungan menuju ridho Tuhan.
دالني بيجا ايكو رجوع اع فعيران # اتي ككيوعان اع الله كع فريع كنوكرهان
سكوواساني عومفولكين فتاع فركراني # اسلام ايمان توحيد لن معرفتي (مصلحه)
Hampir semua orang Rifa’iyah pasti mengaku bangga dan kagum kepada sosok gurunya yaitu, KH. Ahmad Rifa’i. Tapi mungkin tidak terlalu banyak yang sungguh-sungguh mengikuti jejak pemikiran dan perjuangan beliau. Ini boleh jadi karena keengganan untuk menelusuri jejak perjuangan yang diwariskan beliau sebelum mengaku sebagai murid.
Padahal jejak warisan perjuangan dan pemikiran beliau yang tertuang dalam bentuk kitab nadzom tarajumah itu memang banyak. Kira-kira jumlah karya beliau berkisar kurang lebih sekitar 69 judul kitab. Padahal ada satu judul kitab beliau itu sampai enam jilid lho. Sungguh membanggakan dan mengagumkan bukan?
Di sinilah kelihatan sekali iktikad dan kemampuan orang Rifa’iyah yang minim untuk berusaha mengikuti atau menelusuri jejak keteladanan yang diwariskan KH. Ahmad Rifa’i. Betapa masih membentang jurang panjang antara nilai ketarajumahan dengan kondisi dan wajah Rifa’iyah saat ini. Semua itu mungkin disebabkan belum adanya kesadaran untuk mempelajari atau mencari nilai yang diwarisi. Hal itu tercermin betapa masih terbelakangnya organisasi ini, sehingga sulit beradaptasi terhadap perubahan dunia dari segala aspek kehidupan. Baik itu politik, ekonomi, seni dan sosial budaya.
Seandainya, orang Rifa’iyah mau bersungguh-sungguh dan dibarengi niat yang tulus meneladani jejak perjuangan dan pemikiran KH. Ahmad Rifa’i yaitu, dengan cara mencari, mempelajari dan menghayati lebih lanjut warisan kitab nadzom tarajumah agak sedikit komplit. Bukan karena sebatas yang sesuai dengan kecenderungan yang bersangkutan, apalagi sekadar butuh identitas kebanggaan. Tentunya banyak persoalan hidup yang kompleks ini, khususnya permasalahan dalam tubuh organisasi Rifa’iyah sendiri dapat dengan mudah teratasi.
Akibat dari kurangnya kesungguhan kita atau malah kita memang benar-benar malas mendayagunakan anugerah Allah yang berupa akal itu dapat menyebabkan terjadinya pemahaman yang salah. Sehingga bisa menimbulkan kesalah-pahaman.
Semisal, ajaran tarajumah KH. Ahmad Rifa’i. Pastinya kita sering mendengar kalimat pertanyaan seperti ini, “Tarajummah itu ajaran apa?” Atau kalimat pengukuhan ‘ajaran’ yang berlebihan dari kalangan Rifa’iyah itu sendiri “Sebagai warga Rifa’iyah, marilah kita teruskan perjuangan dan mengamalkan ajaran tarajumah dari guru besar kita KH. Ahmad Rifa’i. Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Melihat atau mendengar dua contoh kalimat tersebut rasa-rasanya tidak ada masalah bukan?
Masalahnya, apakah benar KH. Ahmad Rifa’i pernah membuat ajaran tarajumah? Bukankah beliau meneruskan ajaran Islam yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW?
Seperti pernyataan beliau yang sering kita jumpai dibagian muqodimah karya-karya beliau. Sesudah hamdalah dan sholawat, KH. Ahmad Rifa’i memperkenalkan kitab yang ditulisnya semisal Kitab Khusnul Mitholab:
يعني انفون سوسي موجي اع الله # لن صلواة اتس نبي محمد كفرنه
مك ايكي له كتا ب ترجمه و نا ره# علم شريعة اكما نبي محمد ككينه
سكع حج احمد الر فا عي ابن محمد# مذهب شا فعي ا هل سني طر يقتي
لن سن اراني حسن ا لمطا لب ا لعبا دة# اعدالم يتاءكن علم تلوع فركر كهمة
Sebagaimana hal lain yang berlebihan, bisa melahirkan berbagai macam hal yang negatif. Misalnya, kesalah-pahaman sehingga bisa menimbulkan kebencian, sikap apriori dsb.
Lantas, apakah tidak terlalu berlebihan kalau kita menyebut tarajumah itu sebuah ajaran?
Potensi Strata Sosial Dalam Usaha Kemaslahatan Masyarakat. Dalam tatanan masyarakat pasrti terdapat strata sosial yang mengklasifikasikan tugas maupun pungsi dari anggota masyarakat. klasifikasi tersebut biasanya berdasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh anggota dalam menjalankan fungsi sosial. Anggota masyarakat yang menempati posisi paling tinggi adalah anggota yang mempunyai kelebihan di atas rata-rata dalam bidang apapun. Misalnya, Orang yang alim dalam bidang agama akan mendapatkan posisi penting dalam bidang keagamaan. Begitu juga orang kaya, ia mendapat posisi penting dalam perkara yang berhubungan dengan harta. Dan lain sebagainya.
simbol strata
Pada umunya, anggota masyarakat yang menempati strata sosial tinggi mempunyai pengaruh lebih kuat dalam mempengaruhi tatanan atau sistem masyarakat dan lebih mampu merubah perilaku masyarakat, dibandingan dengan masyarakatat biasa. Dalam hal ini, seorang kiai sebagai tokoh agama dapat mempengaruhi dan merubah perilku masyarakat yang masih berhubungan dengan ritual keagamaan, seperti tatacara slametan, pengajian, dan tahlilan. Bahkan kiai dapat membuat budaya baru yang semula belum dikenal oleh masyarakat dan masih berkaitan dengan keagaaan seperti gerakan pengumpulan zakat, jamiyah dzikriyah dan manakiban. Begitu pula seorang hartawan, ia dapat mempengaruhi dan mewarnai tatanan masyarakat. Bukan hanya dalam bidang duniawiyah saja, wilayah ritual keagamaan yang masih menyangkut dengan harta, dapat dipengaruhi oleh seorang hartawan. Hal ini dapat dilihat ketika ada musyawarah pembangunan masjid kebanyakan pendapat yang didengarkan adalah pendapat yang keluar dari hartawan. Adapun pengaruh keduniawiyahan adalah manakala perilakunya yang memamerkan kekayaannya di hadapan masyarakat dan kemudian menyakiti hati masyarakat, sehingga perubahan masyarakat dalam interaksi sosial dari yang semula saling menyapa, rukun dan gotong royong berubah menjadi hilangnya sapaan mesra dan hilangnnya gorong royong.
Pengaruh yang berdampak negatif pada masyarakat bukan hanya dari seorang hartawan saja, kiai sebagai tokoh agama pun demikian. Seorang kiai yang berfatwa tidak memperhitungan kesanggupan masyarakat dan membuat gerakan yang bertabrakan dengan tradisi masyarakat, akan berpengaruh pada perpecahan masyarakat. Hal ini, terbukti ketika seorang kiai berfatwa pengharaman ziarah kubur ditengah masyarakat yang mempunyai budaya ziarah kubur. Atau memfatwakan tentang arah kiblat yang terkadang mengharuskan pembongkaran bangunan masjid karena sudah melenceng dari arah kiblat. Walaupun permasalahan tersebut masih dalam ranah perkhilafan antar ulama, namun sering kali dipaksakan oleh seorang kiai untuk masyarakat tanpa mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itulah pengaruh negatif nampak kepermukaan.
Dalam tulisan ini, penulis memfokuskan pada permasalahan yang masih berhubungan dengan sosial keagamaan. Oleh karena itu, tokoh agama mempunyai peran yang sangat strategis dalam mempengaruhi dan menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. sebab tokoh agama adalah orang yang mengajarkan, mengimplementasikan dan mehayati ajaran-ajaran agama. Apalagi tokoh agama islam, yang dimana islam mengajarkan yang berpusat atau berlandaskan pada Humanisme-Teosentris. Artinya ajaran islam berpusat pada ketauhidan yang dimplementasikan dan diimplementasikan dalam bentuk kemanusiaan. Oleh karena itu, tokoh agama Islam diharuskan mampu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat dengan bermodalkan ajaran-ajaran Islam.
Pada umumnya, dalam sebuah masyarakat terdapat lebih dari satu tokoh agama. Setiap tokoh mempunyai pemikiran dan sudut pandang yang berbeda-beda dalam menciptakan kemaslahatan untuk masyarakat. Dan terkadang antartokoh berselisih dan merebutkan kebenaran yang dianggap mempunyai maslahat untuk masyarakat. Sangat disayangkan, jika perebutan kebenaran antar tokoh dipertontonkan kepada masyarakat, yang kemudian membuat masyarakat bingung tentang siapa yang harus diikuti kebenarannya. Bukannya mengikuti salah satu tokoh, kebayakan masyarakat malahan menilai buruk kepada pihak yang berebut kebenaran sebagai bukti ketidak-percayaan masyarakat terhadap tokoh tersebut. Alih-alih membuat kemaslahatan untuk masyarakat, malahan mereka merusak tatanan masyarakat. oleh karena itu, perlukiranya duduk bareng antar pemuka agama untuk mendiskusikan kebenaran yang memprioritaskan kemaslahatan sehingga terjadi kesepakatan apa yang harus disampaikan kepada masyarakat serta sebagai upaya penanaman kemaslahatan bagi masyarakat.
simbol strata yang saling mengindahkan
Melalui kekompakan atar tokoh agama dalam penanaman dan perawatan kemaslahatan untuk masyarakat serta kesempatan dalam mempengaruhi masyarakat melalui ritual-ritual agama seperti pengajian, khutbah jumah dan lain-lain, agaknya sangat mungkin untuk meminimalisir jarak sosial anatara si kaya dan si miskin yang disebabkan hubbu dunya (kecintaan terhadap dunia) sebagai upaya mendekatkan masyarakat pada kemaslahatn. Potensi penyakit hati berupa cinta dunia, bukan hanya dimiliki oleh hartawan saja, namun orang miskin pun berpotensi memiliki penyakit tersebut. Membanggakan diri merupakan efek dari penyakit hubbu dunya bagi hartawan, sedangkan bagi orang miskin adalah merasa tidak percaya diri. Karena keduannya menganggap bahwa harta mempunyai kemuliaan dan keagungan. Selain memberi pituah bijak untuk tidak cinta terhadap dunia, tokoh agama perlu membuat gerakan yang menutup celah kepada kecintaan terhadap dunia supaya masyarakat terhindar dari penyakit tersebut. Untuk meningkatkan kesadaran tentang hak dan kewajiban bagi hartawan dan non hartawan perlu digalakkan dan disertai gerakan dengan pendirian badan yang mengurusi hal tersebut, seperti LAZIS dalam rangka pemaksimalan dana filantropi Islam (kedermawaan Islam) yang meliputi zakat, sedekah, infaq dan wakaf dan kemudian dialokasikan untuk kemaslahatan masyarakat secara afektif. Pendistribusian dana yang dilakukan oleh hartawan setidaknya mengindikasikan kecintaan terhada dunia berkurang dan diharapkan lambat laun penyakit hati tersebut tergerus dengan kedermawaannya sehingga hartawan terbebas dari penyakit hubbu dunya. Dan dengan pendistribusian dana tersebut untuk si miskin, diharapkan dapat mengurangi agapan mulia terhadap dunia, karena kebutuhannya tercukupi.
Dengan demikian, agaknya fungsi strata sosial yang menitik beratkan pada kemaslahatan masyarakat akan terwujud, sehingga kerukunan dan ketentramanan masyarakat dapat dinikmatai bersama-sama.
Salah satu kewajiban yang harus kita lakukan sebagai umat Islam adalah mendirikan sholat. Sholat merupakan suatu kewajiban yang sangat mendasar dalam Islam, yang dilakukan sebanyak lima kali dalam satu hari. Dimulai dari sholat duhur dan diakhiri dengan sholat subuh. Dalam mendirikan sholat terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi, ada juga perkara yang dilarang ketika dalam mendirikan sholat. Seperti suci dari hadas kecil maupun besar, tempat sholat terbebas dari najis, menutup aurat dan lain sebagainya merupakan syarat sah sholat. Adapun rukun yang harus terpenuhi adalah niat, takbirratul ikhram, membaca fatihah dan lain-lain. sedanfkan larangan di dalam sholat diantaranya adalah berbicara, makan, minum, dan lain sebaginya.
Namun dalam sholat, kita terkadang masih melakukan kesalahan,
padahal hal itu adalah inti dari ibadah
sholat. Tetapi anehnya, kita tidak menyadari atau mengetahui kesalahan
tersebut. Naasnya, sering sekali kita lakukan dalam menunaikan ibadah sholat.
Kesalahan tersebut adalah tidak mengingat Allah Swt saat sholat. Malahan dalam
sholat, kita masih saja memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah duniawi.
Padahah inti dari sholat adalah berdzikir yang artinya mengingat, menyebut,
mengenal. Seringkali kita melupakan inti dari sholat tersebut , dan di jelaskan lagi di dalam Al Qur’an
sebagai berikut.
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kepada Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS. Al Jumu’ah: 10).
Dari keterangan Surat di atas bahwa Allah Swt menyuruh kita untuk mendirikan sholat -tapi bukan saja melakukan ibadah sholat tersebut- untuk mengingatnya saat kita sholat dan melupakan semua yang berhubungan dengan dunia apapun itu untuk sejenak mengingat Allah dalam sholat tersebut dan setelah itu carilah karunia-Nya. Dalam ayat lain dijelaskan sebagai berikut;
Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.(QS: Al-Baqarah: 45)
Dalam surat Al-Baqarah ini juga menjelaskan bahwa Allah Swt menyuruh kita khusu’ saat sholat dan meninggalkan semua hal yang berhubungan dengan duniawi. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa sholat dan sabar adalah sebagai pertolongan dari Allah untuk hamba-hamba-Nya yang khusu’ dalam sholat.
Dari penjabaran di atas dapat diambil pelajaran, bahwa kita sebagai umat Islam yang menjalankan sholat lima waktu dalam sehari, menjadikan sholat sebagai pertolongan dengan medirikannya secara khusuk yang di dalamnya penuh mengingat Allah Swt. sehingga sholat menjadi pencegah bagi kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar. sebagimana di singgung dalam al Quran,
Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS: Al-‘Ankabut: 45)
Sebagai agama tauhid, Islam memusatkan iman sebagai pondasi dalam semua tatanan bangunan sistem nilai. Iman menurut bahasa adalah membenarkan sesuatu. Trem iman dapat diartikan dengan aman yang kata kerjanya mengamankan. Sedangkan menurut terminologi, iman merupkan pembenaran dalam hati terhadap sesuatu yang dibawakan Rasulullah Saw. Walupun iman dikatagorikan sebagai amal yang berada dan dilakukan di dalam hati, namun iman mempengaruhi cara berfikir, bersikap dan berprilaku dalam menghadapi berbagai persoalan. Jika keimanan seseorang bertambah kokoh dan kuat, maka potensi iman yang dimiliki akan semakin maksimal dalam mempengaruhi perilakunya.
Pengaruh iman atas amal dapat kita jumpai dalam beberapa ayat
al-Quran dan Hadis. Misalnya, dalam surah al Baqarah ditegaskan bahwa orang
yang bertaqwa sehingga menjadikan
keselamatan baginya adalah orang yang beriman yang diikuti dengan amal dzahir
berupa shalat dan kemudian amal dengan harta yang di sebut zakat. Penegasan
iman sebagai pondasi beramal dalam ayat tersebut sangat kentara. Amal, baik
berupa ibadah mahdzoh maupun ibadah gairu mahdzoh haruslah
berakar dari iman yang berada dalam hati. Penyertaan iman dalam seluruh
kegiatan, perilaku, amal dan ibadah diperlukan agar tercapai pertalian antara habluminallah
dan habluminanas. Sebab, manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa
melakukan interaksi atau amal kepada manusia lain dengan mempertimbangkan kepantasan
dan kepatutan hukum sosial. Amal atau intetaksi apabila tidak dibarengi dengan
keimanan dalam hati, seringkali mencebak manusia pada sifat yang tercela dan
bahkan seringkali mengundang malapetaka dikemudian hari. Contoh, berbuat baik
kepada orang lain yang tidak didasari iman, akan menuntut atas orang lain untuk
membayar kebaikannya. Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi, maka kebencian
bahkan pertikaian akan muncul dipermukaan. Pertalian antara iman dan amal harus
selalu dijaga dan dirawat agar terhindar dari tuntu-menuntut anatar manusia
tentang kebaikan yang sudah dilakuakan yang mengundang permungsuhan. Lebih lanjut
lagi, amal yang didasari oleh iman mempengaruhi ketahanan batin atas hujatan
ataupun kritikan yang disebabkan oleh amal dhahir. Oleh karena itu, iman
sebagai pokok pondasi dan ketahanan dalam beramal, perlu diupayakan
keabsahannya demi menyiapkan lahan yang subur bagi amal untuk tumbuh,
berkembang dan berbuah. Sebagaimnan kiai Ahmad Rifai Kalisalak dalam kitab
Riayah menuliskan bait seperti berikut,
Pengupayaan keabsahan iman dapat dikatakan sebagi modal utama dan pertama dalam melakukan berbagai amal baik dan sekaligus sebagai imun atas hujatan ataupun kritikan dari manusia yang bersifat menjatuhkan dalam menjalankan ibadah. Sebagai contoh, seorang yang melaksanakann ibadah amar ma”ruf yang kemudian tidak direspon baik oleh masyarakat, malahan kritikan tajam menyasar kepadanya, jika pelaku amar ma”ruf tersebut tidak membawa iman dalam menjalankan ibadah tersebut, maka hatinya sangat rentan terjangkiti virus keputus-asaan yang melumpuhkan semangat ibadah amar ma’ruf. Namun jika pembawa ibadah tersebut, menjadikan iman sebagai pondasi dalam melakukan ibadah, maka respon apapun dari masyarakat tidak mempengaruhi kesemangatan baginya dalam melasanakan ibadah tersebut. Sebab, ia hanya menjalankan perintah Allah Swt untuk memuliakan manusia dengan menjalankan amar ma’ruf. Dengan demikian, iman menjamin keamanan pribadi dari virus yang mematikan hati nurani.
Sebagaiman peran iman menjadi pondasi dalam beramal, maka bangunan
amal haruslah berdasarkan pola pondasi keimanan. Refleksi keimanan harus
dipantulan dalam kehidupan sehari-hari melalui amal saleh. Sehingga transoframsi
iman kedalam konteks prilaku keseharian tampak dan mencerminkan perilaku orang
yang beriman. Transformasi iman kedalam prilaku dan tindakan bertujuan untuk
menjaga atau mengamankan titah martabat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan
oleh Allah Swt.[2]
Penjagaan dan pengamanan manusia atas kemuliaannya, dipertegas dengan
pemberlakuan syariat yang menitik beratkan pada tercapainya kemaslahatan untuk
manusia. Sebagaiman pendapat syaikh Izzudin sebagai berikut,[3]
الشريعة كلها مصالح اما تدرأ مفاسد أو تجلب
مصالح
Artinya: Semua syariat merupakan sesuatu yang mendatangkan
kebaikan, ada yang menolak kerusakan atau menarik kebaikan.
iman dapat berfungsi sebagai pengaman adalah dengan menjalankan syariat agama. Dengan kata lain, menjadikan iman sebagai pilar penyangga dalam menjalankan syariat. Dengan demikian, iman akan nampak menjadi pelindung kemuliaan manusia.
Menjalankan syariat merupakan sarana bagi umat Islam dalam mengupayakan
kemaslahatan serta menghindarkan dari kerusakan dalam rangka mempertahankan
atau mengamankan kemualiaan manusia, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
pengamanan iman atas kemuliaan manusia yang terejawentahkan dengan syariat,
dapat dilihat dari manfaat menjalankan syariah bagi manusia. Seperti
pengsyariatan shalat, berbagai manfaat terdapat didalamnya, seperti menyehatkan
badan, menjauhkan manusia dari nafsu
yang mengajak pada keburukan,[4]
serta memenuhi kebutuhan manusia sebagai manusia spritual. Pengsyariatan puasa
juga mempunyai manfaat untuk manusia, diantaranya adalah mencegah datangnya
penyakit dan meningkatkan kepekaan dalam menyantuni orang kelaparan karena
miskin.[5]
Begitu juga pengsyariatan zakat, di dalamnya terdapat manfaat, diantaranya adalah
melatih diri untuk dermawan.[6]
Dengan demikian, iman berujung pada amal yang bertujuan memanusiakan manusia. Meminjam
bahasa Kuntowijoyo ‘Islam sebagai agama yang memusatkan dirinya pada keimanan
terhadap Tuhan, tetapi mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia’.[7]
Merefleksikan iman kedalam prilaku dan tindakan sebagai upaya
mengamankan kemanusiaan, dapat dilakukan melalui pengamanan diri sendiri dari
setiap tindakan yang menggerus martabat kemuliaan manusia. Dengan menjalankan
kewajiban serta menjauhi larangan agama, maka kemuliaan akan disandang karena
bersanding dengan yang Maha Mulia. Hal ini, diisyarahkan oleh hadis hudtsi
sebagai berikut,
Artinya: Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. (HR. Bukhori).
Orang yang berusaha menampakkan keimanan kedalam perilaku dan tindakan melalui kesungguhan dalam menjalankan kewajiban serta menjauhi larangan agama, secara otomatis mendekati yang Maha Mulia, sehingga ia berpotensi menerima kemuliaan dari-Nya. Dalam bahasa jawa bernadzam KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak menuliskan tentang penekanan atas mukallaf untuk senang berlaku adil, sebagai berikut,
Yaitu islam,
berakal, baligh, telah datang agama Rasul
Tidak
melakukan maksiat besar dosanya
Dan tidak
terus-menerus( melakukan) atas kecilnya durhaka
Dengan demikian, berlaku adil dengan menjauhi larangan demi mengamankan hati dan perilaku dari tetesan tinta hitam yang menodahi dan mencemari kejernihannya adalah bentuk usaha merefleksikan atau memantulkan iman kedalam kehiduapan nyata. Melalui pemantulan tersebut, iman nampak sebagai pengaman kemuliaan manusia.
Taman Pemuda Tanbihun difoto dari sudut depan Markas
Melalui pengamanan diri sendiri atas berbagai prilaku atau tindakan yang menjatuhkan martabat manusia, proyek pengamanan kemuliaan manusia (dalam sebuah kaum) mendapat angin segar yang akan membawa dan menyebarkan benih pengamanan dari satu orang keorang lainya. Dan begitu seterusnya. Sehingga keamanan yang menjamin kemuliaan ( agama, akal sehat, kehormatan, harta, nyawa dan nasab) manusia akan tergapai yang akan menghantarkan manusia pada kemuliaan peradaban. Bukankan Tuhan akan merubah suatu kaum apabila kaum tersebut mau merubah pada diri mereka sendiri[9]???
[1] KH.
Ahmad Rifa’i Kalisalak, Riayatul Himmah, Kurasan 1.
Isu lingkungan yang sekarang ini bertebaran di berbagai media
sosial, memberitahukan kepada kita bagaimana keadaan lingkungan yang memprihatinkan
dan semakin hari bertambah rusak lagi parah. Diantaranya adalah sampah plastik
yang bergentayangan dan mencemari lautan, gunung es antartika yang meleleh
dengan kecepan tertinggi dalam sejarah yang diakibatkan oleh suhu panas yang
akhir-akhir ini meningkat tajam, dan hutan yang menggundul dan kehilangan
fungsinya dan lain-sebagainya. Lingkungan yang telah rusak, tidak dapat
menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Lautan sebagai sumber ikan terbesar
secara berangsur mengurangi stok ikan. Gunung es antartika, dengan kapasitanya
menyimpan air dalam gumpalan-gumpalan esnya, mulai menagis dan mengalirkan air mata
sehingga volume air laut meningkat dan membanjiri kawasan pesisir laut.
Begitupun hutan yang bertugas menyediakan oksigen, memangkas jatah oksigen
sehingga dunia semakin panas.
Keseimbangan alam terganggu yang kemudian melahirkan berbagai masalah bagi manusia dan mengancam keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri. Padahal alam diciptakan oleh Tuhan adalah sebagai solusi bagi permasalahan manusia. Manusia butuh tempat untuk berteduh dan alam menyediakan bahan untuk membuat rumah. Manusia butuh makan dan minum, alam pun mencukupi kebutuhannya. Lantas mengapa alam mulai membelot dan meninggalakan tugas pokok untuk manusia?. Jawabanya adalah manusia sewenang-wenang dalam menggauli alam, karena berdalih sebagai wakil Tuhan di bumi serta melalaikan tanggung jawab atas pelestarian alam.
Melalui kemuliaan-Nya, manusia diciptakan di bumi atas dasar dimuliakan. Sebagai bukti bahwa manusia dimuliakan adalah penghamparan rahmad-Nya berupa pemberian berbagai fasilitas yang mendukung keberlangsungan hidup manusia. Memanfaatkan fasilitas yang tersediakan, merupakan hak manusia dalam menjalani hidup di dunia. Selain hak, manusia juga mengemban tanggung jawab berupa tugas pengabdikan hidupnya untuk Tuhan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Bagaimanapun juga perusakan lingkungan adalah tindakan tercela. Oleh karena itu, manusia didapuk oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi yang diinformasikan dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 30. Mengenai tugas manusia sebagai khalifah, Kiai Sahal Mahfudz membagai tugas manusia menjadi dua bagian, yakni tugas Ibadatullah dan Imaratulard. Klasifikasi ini berdasarkan pada ibadah mahdzah dan ghairu mahdzah. Jika ibadah mahdzoh seperti shalat dan puasa maka disebut sebagai tugas Ibadatullah dan apabila ibadah ghairu mahdzoh termasuk merawat dan menjaga lingkungan disebut dengan tugas Imaratulard.
Tugas manusia sebagai khalifah dalam bentuk imaratulard adalah menjaga, merawat dan memelihara lingkungan dengan baik sebagai wujud kompensasi atas hak memanfaatkan lingkungnan. Menjaga kebersihan dengan membungan sampah pada tempatnya, mengaliran air selokan yang mampet, membuat penghijauan dengan memanfaatkan lahan kosong adalah contoh kecil pelaksanaan tugas Imaratulard.
Mengingat keadaan lingkungan yang semakin memperihatinkan, maka perlukiranya untuk memelihara lingkungan dengan berkomitmen pada diri sindiri untuk melakukan apa yang sanggup dilaksanan, sebagai upaya penyelamatan lingkungan. Orientasi pada hasil maksimal (bukan proses) sering mencebak manusia dalam kubangan ketaacuhan (tidak mau tahu). Seperti orang yang berpemahaman, “bahwa merawat lingkungan agar mencapai hasil maksimal haruslah dikerjakan bersama-sama”, orang seperti ini biasanya acuh dan tidak akan bertindak merawat lingkungan jika persyaratan kolektif tidak terpenuhi. Memang pemahaman tersebut dapat dinilai benar, namun persyaratannya begitu berat untuk dipenuhi. Jika syartat kekompakan itu tidak terpenuhi, lantas kapan lingkungan itu akan dirawat. Dengan demikian, memulai kebaikan untuk lingkungan dari diri sendiri walaupun hasilnya kurang maksimal, haruslah diupayakan dan diniatkan untuk menjalani tugas kekhalifahan di bumi.
Pada umumnya, masyarakat akan tergerak untuk melakukan sesuatu jika terdapat pemantik yang berani memulai kebaikan. Oleh karena, memulai dari diri sendiri untuk merawat lingkungan merupakan hal yang paling relevan dan efektif walaupun kecil manfaatnya. Sebab dari kecil itulah pergerakan –dalam hal ini gerakan lingkungan- akan tumbuh menjadi besar dan lebih kentara manfaatnya. Dan juga dengan melakukan semampunya dalam merawat lingkungan, setidaknya tidak ikut memperparah kondisi lingkungan.
Bagaimanapun juga, merawat, memelihara dan menjaga kelestarian dan
keseimbangan lingkungan adalah tugas Ilahiyah. Sebaliknya, merusak, mengeksploitasi
secara berlebihan dan memperkosa lingkungan adalah tindakan tercela. Termasuk memperkosa
lingkungan adalah membiarkan dan acuh terhadap kerusakan lingkungan. Manfaat tugas
Ilahiyah -merawat lingkungan- tidak lain adalah untuk menjaga fasilitas pemberian
Tuhan agar tidak kehilangan fungsinya yang kemudian dapat dinikmati manusia itu
sendiri. Melalaikan tugas Ilahiyah sama-dengan menolak untuk menikmati
fasilitas pemberian-Nya dan menjeremuskan diri dalam jurang kepayahan dan
kesulitan.
Dalam menjalani hidup ini, manusia tidak akan terlepas dari interaksi dengan orang lain. Melalui kominikasi, manusia dapat menjalin hubungan dengan manusia atau masyarakat. Hubungan yang dijalin antar manusia bukan hanya sebatas dhahir, namun lebih jauh lagi yakni hubungan secara batin. Hal ini, terbukti adanya penilaian manusia sebagai sabjek terhadap perilaku orang atau masyarakat yang menjadi obyek.
Penilaian yang dialakukan manusia adalah bagian dari komunikasi yang akan mempengaruhi alur cerita dari sebuah interaksi. Melalui hasil penilaian yang dilakukan manusia sebagi sabyek terhadap manusia lainnya yang menjadi objek, seorang sabjek akan menentukan perilaku dan menyesuaikan diri dengan obyek yang dihadapinya. Hal ini, dilakukan agar tidak terjadi masalah dalam interaksi yang dilakukan.
Interaksi antar individu tidaklah semuanya lancar sehingga tidak terjadi masalah. Malahan tidak jarang melalui interaksi, antar individu menemukan masalah bahkan sampai ketingkat konflik yang disebabkan oleh kepetingan yang berbeda atau perebutan sesuatu yang dianggap berharga. Dengan sebab seperti itu, terkadang manusia mengutuk dan menganggap orang yang bersebrangan dengannya sebagai orang yang ahli neraka.
Apalagi di era komunikasi seperti sekarang ini yang terfasilitasi oleh teknologi, komunikasi menemukan mementum dalam melebarkan area jangkuannya dan semakin gencar lagi masif dalam penyebaran informasi, sehingga membuka kran bagi bertemunya berbagai pendapat yang berbeda yang saling berhadapan. Melalui perdebatan yang bercorak apologis, para pengikut sebuah pendapat bertahan dan menyerang, menjatuhkan dan melumpuhkan pendapat lain.
Penghakiman atas orang lain yang berbeda pendapat ataupun perilaku dengan mengecap sebagai manusia ahli neraka, biasanya dilakukan oleh orang yang mengatas-namakan agama dengan alasan menolong agama Allah SWT. Hal ini, sangatlah ironis karena islam dijaga langsung oleh Allah SWT. Perilaku penjastifikasian terhadap orang yang bersebrangan dengan pendapatnyan atau perilakunya, hanyalah dilakukan orang-orang yang menganggap suci dirinya sendiri sehingga mereka yakin hanya dirinya-lah yang masuk surga dan yang lainnya masuk lubang neraka. Dan lebih parahnya, mereka men-sabotase hak preogratif Allah SWT berupa penentuan takdir.
Sehingga dakwah yang seharusnya menanamkan nilai tauhid melalaui kemanusiaan, malahan dijadikan sebagai alat atau dalih untuk membunuh kemanusiaan dengan merendahkan martabat manusia melaui pembubuhan nilai tauhid itu sendiri. Tauhid merupakan ajaran sentral dan pokok dari agama yang didalamnya mengandung ajaran untuk memanusiakan manusia karena Tuhan pun memuliakan manusia. Oleh karena itu, agar dakwah sesuai dengan tujuan yang semestinya yaitu mengajak manusia pada kebaikan dapat terrealisasikan, perlu kiranya membawa nilai humanisme atau kemanusiaan yang didampingi oleh nilai tauhid dalam kegiatan dakwah.
Islam mempunyai istilah trilogi yang cukup popular yaitu imam,
islam, ihsan. Iman adalah percaya di dalam hati atau sesuatu yang diyakini
kebenarannya. Iman belum bisa disebut sebagai
Iman sehingga berpasrah atau berkomitmen untuk melakukan perkara yang di
imani tersebut.
Untuk mengejawentahkan keimanan maka islam menjadi wadah untuk
melakukan atau merealisasikan keimanan menjadi sebuah kenyatan yang berupa
tindakan yaitu melakukan sesuai keyakinan yang dianggap sebuah kebenaran, islam
inilah yang menjadi jembatan untuk beribadah kepada kepada Allah SWT seperti
ikrar, sholat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu.
Ibadah tersebut lebih mengorentasikan kepada kemaslahatan pribadi
yang artinya ketika seseorang melakukan ibadah tersebut maka mereka dapat
selamat dari api neraka dengan karunia dari Allah SWT. Dan untuk menyempurnakan
keislaman seseorang bukan hanya beribadah untuk dirinya sendiri akan tetapi lebih dari itu, yaitu berupa
ibadah yang dapat dirasakan oleh masyarakat, dan untuk mewakili ibadah tersebut
maka ada yang dinamakan Ihsan.
Ihsan secara bahasa adalah berbuat bagus dengan objek diri sendiri
serta mengikutkan masyarakat sebagai objek. Maka iman adalah kepercayaan dan
islam adalah bentuk realitas dari keimanan, keduanya lebih menekankan pada
kemaslahatan pribadi dan ihsan adalah bentuk kesalehan bermasayarakat, maka
ihsan lebih tinggi derajatnya di banding iman dan islam. Oleh karena itu rasul
yang menerima risalah diwajibkan untuk menyampaikan kepada umat lebih utama
dari nabi yang mendapat khabar untuk kemaslahatan sendiri, walaupun nabi selalu
fokus atau ingat kepada Allah SWT tanpa tercampur dengan masyarakat sekitar[1].
Oleh karena itu, untuk memasuki agama secara kaffah atau menyeluruh
dibutuhkan usaha-usaha yang mengarah pada pemenuhan keimanan, keislaman dan
keihsanan yang dipraktekan secara bersamaan tanpa menganak tirikan salah satu
dari ketiganya.
Akhir-akhir ini kebutuhan hidup semakin meningkat secara
signifikan. Perkembangan pasar yang didukung oleh kemajuan teknologi, membawa
angin segar yang cukup besar dalam menyebarluaskan budaya konsumtif. Penyebaran
iklan yang begitu masif, baik melalui media cetak ataupun media elektronik,
bertujuan menyedot pandangan massa agar tertarik dan membeli produk tersebut.
Dengan begitu budaya konsumtif menemukan memontumnya untuk berkembang di tengah
masyarakat.
Di era digital ini, pemasaran dan pengiklanan produk mulai bergeser
dari dunia nyata ke dunia maya.
Banyaknya pengguna smarphon yang memungkinkan penggunanya untuk
mengakses dunia maya, dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk meraup keuntuangan
yang lebih besar dengan membuat toko atau market dan memasarkan produk melalui
jasa media maya. Diharapkan dari pengiklanan produk, masyarakat mengenal
manfaat produk tersebut dan pada akhirnya ingin memiliki barang tersebut – hal
ini berdasarkan pada tabiat manusia yang ingin memiliki setelah mengetahui
manfaatnya. Selain itu, untuk meningkatkan
gairah konsumtif, para pelaku pasar memperindah dagangannya melalui pemasangan
berbagai promo menarik. Hal ini, agaknya sukses mempengaruhi masyarakat untuk
lebih konsumtif .
Akibat dari budaya konsumtif adalah meningkatnya kebutuhan
masyarakat terhadap sesuatu barang atau jasa. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, harus ada mahar yang dibayar yaitu harga. Ia merupakan satuan rupiyah
yang harus dibayar untuk memiliki barang yang diinginkan. Jadi, budaya
konsumerisme membutuhkan banyak uang untuk dibelikan sesuatu yang dingingkan
dalam rangka maraih kepuasan sementara.
Di lain sisi-sisi, lampangan pekerjaan semakin hari bertambah sempit dan di sudut lain kebutuhan semakin meningkat. Hal ini, menyeret masyarakat konsumtif ke dalam kegoncangan jiwa, karena keinginan atau kebutuhannya tidak tercukupi. Dan diperparah lagi dengan lingkungan konsumtif yang memojokkannya, dengan alasan tidak sesuai pada umumnya, yakni konsumtif. Korban budaya konsumtif seperti ini, berkemungkinan besar menanggung beban pikiran yang amat berat serta menekan jiwa, dan tidak jarang terserang penyakit mematikan setelah adanya beban pikiran tersebut. Bukan hanya korban budaya konsumtif yang potensi terserang penyakit, namun penikmat dan pelaku konsutif juga berpotensi prustasi karena tidak pernah menemukan kepuasan hakiki dan selalu mengingakan sesuatu untuk dimilikinya.
Agaknya budaya konsumtif dalam istilah agama disebut sebagai itba’ul
hawa/mengikuti kenginan. Kenginan yang dimaksutkan di sini adalah keinginan
yang menjauhkan diri dari kebenaran. Ia termasuk salah satu dari sifat tercela.
Dengan mengikuti kenginan yang hanya menawarkan kepuasan sesaat yang
menghantarkan pada keinginan lain dan begitu seterusnya, maka berbagai usaha
akan terfokuskan dan tercurahkan pada penggapaian kepuasan tanpa pernah
rampung. Yang pada akhirnya melupakan dan melalaikan pada kepuasan yang hakiki
yakni kebenaran. Manusia yang terjangkiti virus lupa dan lalai terhadap
kebenaran, dengan sendirinya akan keluar dari jalur kebenaran. Semakin melupa
dan melalaikan kebenaran melalui mengumbar nafsu, maka semakin gelap jalan yang
ditempuh karena bertambah jauh dari cahaya kebenaran dan endingnya adalah
mendapati azab yang berat. Oleh karena itu, al Quran mengingatkan manusia agar
tidak mengikuti nafsu,
Artinya; Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab
yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(QS; Shaaad:26)
Selain menjauhkan dan menyesatkan dari jalan Allah, mengikuti nafsu
juga dapat mengahantarkan manusai pada azab yang berat. Siksaan berat bagi
pengikut nafsu tidaklah hanya ditangguhkan di alam akhirat nanti, namun siksaan
itu dicurahkan langsung di dunia ini. Sebab pengikut nafsu selalu mengejar
keingian yang jika tercapai keinginan tersebut maka keinginan yang lain akan segera
lahir dan begitu seterusnya sehingga mereka tersiksa dan tersakiti dengan
keinginannya sendiri. Seperti yang di sebutkan oleh Imam Izzudin Ibnu Abdi
Assalam dalam kitab Qowaid al Ahkam fi Masalihil Anam, bahwa keinginan adalah
rasa sakit, sebagi berikut,
والاشتهاء كله مفاسد لما فيه من الالام
Artinya; Semua
keingian adalah merusak karena di dalamnya terdapat rasa sakit.
Rasa sakit yang dirasakan di dalam hati, agaknya menjalar dan mempengaruhi kesehatan jasmani. Pasalnya terdapat berbagai penyakit jasmani menghinggapi manusia yang didahului oleh kesakitan hati. Di lain sisi, orang yang mengumbar nafsu kerapkali terjerumus dalam kubangan maksiat. Sedangkan maksiat, dalam pandangan agama adalah penyakit dan racun. Hal ini, disinggung Kiai Rifa’i dalam kitabnya yang berjudul Riayatul Himmah, sebagai berikut,
Artinya; Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya seluruh # maksiat itu penyakit dan bisa (racun) yang jelas.
Apabila dirunutkan, sebab yang menjadikan manusia mengikuti
nafsunya adalah menaruh harapan yang berlebihan pada kekayaan materi atau dunia
dalam menggapai kepuasan atau kebahagiaan. Hal ini dalam istilah agama di
namakan sebagai hubbu dunya. Dari menaruh harapan yang berlebihan
terhadap dunia, maka timbullah perasaan sangat ingin memiliki yang diistilahkan
dengan sifat Tamak. Oleh karena itu, mengikuti nafsu atau Ittibaul Hawa
adalah hasil dari metamorfosis sifat hubbu dunnya yang melewati fase tamak.
Ketiga sifat tersebut termasuk sifat yang tercela dan yang dicela oleh agama.
Jadi, induk dari megikuti nafsu adalah kecintaan terhadap dunia.
Tindakan preventif yang ditawarkan agama agar terhindar dari sifat
tersebut adalah dengan mengajarkan dan menganjurkan bagi pemeluknyan untuk
melakukan berbagai laku tasawuf seperti zuhud(tidak bergantung pada dunia),
qonaah (tidak rakus), sabar dan lain sebagainya. Laku tasawuf ini, mengubah
prespektif manusia dalam menilai dunia dengan menjadikan dunia sebagai wasilah
atau perantara dalam mencapai tujuan hakiki yaitu Al Haq. Oleh karena itu,
pelaku tasawuf tidak menjadikan dunia sebagai tujuan dalam mencapai kepuasan,
sehingga mereka terhindar dari siksaan kenginan duniawiyah yang tiada habisnya.
Dengan begitu, pelaku tasawuf mempunyai kekebalan atau imunitas dalam menolak
penyakit dzahir yang disebabkan oleh beban pikiran atau penyakit hati akibat
dari kecintaan terhadap dunia.