Pengertian Iman Pemudatanbihun.Com Iman secara etimologis mempunyai banyak makna tapi saling berkaitan. Dari kata dasar amina-ya’manu sinonimnya ithma’anna artinya tenteram. Amana-ya’minu sinonimnya watsiqa bihi artinya percaya, dan amana-yu’minu artinya percaya dan membenarkan.
Kemudian amuna-ya’munu artinya setia dapat dipercaya, antonimnya kana-yakunu artinya khianat. Keterkaitan dari tiga makna tersebut adalah bahwa adanya kepercayaan (iman) dan kejujuran (amanah), akan melahirkan ketentraman (thuma’ninah) di dalam hati, memberikan rasa aman kepada orang lain dan menciptakan saling percaya(trust/tsiqah) dalam kehidupan sosial.
Secara terminologis iman berarti mempercayai dan membenarkan tanpa keraguan segala sesuatu yang dikabarkan oleh Allah SWT. Dalam kitab-Nya al-Qur’an dan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad SAW. Iman itu diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diwujudkan dalam amal perbuatan.
Pengertian Iman
Rukun Iman atau Tiangnya Iman
Iman terdiri dari enam pilar (rukun). Yang pertama dan utama adalah iman kepada Allah Yang Maha Esa pencipta alam semesta. Kemudian diikuti dengan iman kepada para Malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para Rasul Allah, hari akhir kiamat sebagai akhir dari kehidupan dunia, dan yang terakhir iman kepada qadha dan qadar.
Iman merupakan hal yang paling mendasar dalam agama. Karena iman atau kepercayaan itu menjadi dasar dari perilaku keberagamaan, maka iman itu harus benar. Itulah kebenaran sejati yang bersumber dari Allah Rabbul ‘izzati. Sehingga KH. Ahmad Rifa’i di bab ilmu ushul dalam kitab nadzom tarajumahnya sering menekankan pentingnya gulang-gulang/mengulang-ulang syahnya iman, yang di kalangan orang Rifa’iyah dikenal dengan istilah taslim, agar tidak seperti orang-orang Arab Badui yang sudah masuk Islam tapi belum beriman, atau orang munafik yang imannya masih berada dipinggiran atau dipermukaan yang slalu melihat arah angin.
Orang beriman disebut mukmin. Seorang mukmin itu percaya kepada Allah dengan semua sifat-Nya yang agung. Terangkum dalam 99 Asma’ul Husna-Nya. Salah satu dari 99 sifat itu adalah al-Mu’min (Yang memberikan rasa aman). Maka seorang yang sungguh-sungguh beriman pasti merasa aman hidupnya karena yakin terhadap perlindungan Allah SWT. Dan pada gilirannya seorang mukmin juga akan memberikan rasa aman kepada siapa saja, masyarakat dan lingkungan di mana dia berada. Rasa aman yang dijamin oleh seorang mukmin kepada orang lain itu menyangkut keamanan hartanya, darah atau nyawanya, dan kehormatannya.
Yang paling inti dari iman dalam agama Islam adalah tauhid, yang diungkapkan dalam kalimat la ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Diawali dengan kalimat penafian “Tidak ada apapun dan siapapun yang patut disembah dan dituhankan”, kemudian diikuti dengan kalimat penegasan “Kecuali Allah”. Kalimat tauhid yang hakiki jika tertancap di dalam hati akan menghasilkan energi dahsyat yang melahirkan revolusi di dalam diri orang yang meyakininya, dan pada gilirannya akan mengubah dunia.
Rasulullah SAW. Menyebut kalimat tauhid itu sebagai kunci surga. Karena dengan kalimat yang merupakan pernyataan iman itulah amal kebaikan yang dilakukan manusia di dunia ini mempunyai nilai dihadapan Allah SWT. Sedangkan orang yang tidak beriman, amalnya bagaikan fatamorgana. Yang tampak ada padahal tiada.
Sebagai agama tauhid, Islam memusatkan iman sebagai pondasi dalam semua tatanan bangunan sistem nilai. Iman menurut bahasa adalah membenarkan sesuatu. Trem iman dapat diartikan dengan aman yang kata kerjanya mengamankan. Sedangkan menurut terminologi, iman merupkan pembenaran dalam hati terhadap sesuatu yang dibawakan Rasulullah Saw. Walupun iman dikatagorikan sebagai amal yang berada dan dilakukan di dalam hati, namun iman mempengaruhi cara berfikir, bersikap dan berprilaku dalam menghadapi berbagai persoalan. Jika keimanan seseorang bertambah kokoh dan kuat, maka potensi iman yang dimiliki akan semakin maksimal dalam mempengaruhi perilakunya.
Pengaruh iman atas amal dapat kita jumpai dalam beberapa ayat
al-Quran dan Hadis. Misalnya, dalam surah al Baqarah ditegaskan bahwa orang
yang bertaqwa sehingga menjadikan
keselamatan baginya adalah orang yang beriman yang diikuti dengan amal dzahir
berupa shalat dan kemudian amal dengan harta yang di sebut zakat. Penegasan
iman sebagai pondasi beramal dalam ayat tersebut sangat kentara. Amal, baik
berupa ibadah mahdzoh maupun ibadah gairu mahdzoh haruslah
berakar dari iman yang berada dalam hati. Penyertaan iman dalam seluruh
kegiatan, perilaku, amal dan ibadah diperlukan agar tercapai pertalian antara habluminallah
dan habluminanas. Sebab, manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa
melakukan interaksi atau amal kepada manusia lain dengan mempertimbangkan kepantasan
dan kepatutan hukum sosial. Amal atau intetaksi apabila tidak dibarengi dengan
keimanan dalam hati, seringkali mencebak manusia pada sifat yang tercela dan
bahkan seringkali mengundang malapetaka dikemudian hari. Contoh, berbuat baik
kepada orang lain yang tidak didasari iman, akan menuntut atas orang lain untuk
membayar kebaikannya. Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi, maka kebencian
bahkan pertikaian akan muncul dipermukaan. Pertalian antara iman dan amal harus
selalu dijaga dan dirawat agar terhindar dari tuntu-menuntut anatar manusia
tentang kebaikan yang sudah dilakuakan yang mengundang permungsuhan. Lebih lanjut
lagi, amal yang didasari oleh iman mempengaruhi ketahanan batin atas hujatan
ataupun kritikan yang disebabkan oleh amal dhahir. Oleh karena itu, iman
sebagai pokok pondasi dan ketahanan dalam beramal, perlu diupayakan
keabsahannya demi menyiapkan lahan yang subur bagi amal untuk tumbuh,
berkembang dan berbuah. Sebagaimnan kiai Ahmad Rifai Kalisalak dalam kitab
Riayah menuliskan bait seperti berikut,
Pengupayaan keabsahan iman dapat dikatakan sebagi modal utama dan pertama dalam melakukan berbagai amal baik dan sekaligus sebagai imun atas hujatan ataupun kritikan dari manusia yang bersifat menjatuhkan dalam menjalankan ibadah. Sebagai contoh, seorang yang melaksanakann ibadah amar ma”ruf yang kemudian tidak direspon baik oleh masyarakat, malahan kritikan tajam menyasar kepadanya, jika pelaku amar ma”ruf tersebut tidak membawa iman dalam menjalankan ibadah tersebut, maka hatinya sangat rentan terjangkiti virus keputus-asaan yang melumpuhkan semangat ibadah amar ma’ruf. Namun jika pembawa ibadah tersebut, menjadikan iman sebagai pondasi dalam melakukan ibadah, maka respon apapun dari masyarakat tidak mempengaruhi kesemangatan baginya dalam melasanakan ibadah tersebut. Sebab, ia hanya menjalankan perintah Allah Swt untuk memuliakan manusia dengan menjalankan amar ma’ruf. Dengan demikian, iman menjamin keamanan pribadi dari virus yang mematikan hati nurani.
Sebagaiman peran iman menjadi pondasi dalam beramal, maka bangunan
amal haruslah berdasarkan pola pondasi keimanan. Refleksi keimanan harus
dipantulan dalam kehidupan sehari-hari melalui amal saleh. Sehingga transoframsi
iman kedalam konteks prilaku keseharian tampak dan mencerminkan perilaku orang
yang beriman. Transformasi iman kedalam prilaku dan tindakan bertujuan untuk
menjaga atau mengamankan titah martabat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan
oleh Allah Swt.[2]
Penjagaan dan pengamanan manusia atas kemuliaannya, dipertegas dengan
pemberlakuan syariat yang menitik beratkan pada tercapainya kemaslahatan untuk
manusia. Sebagaiman pendapat syaikh Izzudin sebagai berikut,[3]
الشريعة كلها مصالح اما تدرأ مفاسد أو تجلب
مصالح
Artinya: Semua syariat merupakan sesuatu yang mendatangkan
kebaikan, ada yang menolak kerusakan atau menarik kebaikan.
iman dapat berfungsi sebagai pengaman adalah dengan menjalankan syariat agama. Dengan kata lain, menjadikan iman sebagai pilar penyangga dalam menjalankan syariat. Dengan demikian, iman akan nampak menjadi pelindung kemuliaan manusia.
Menjalankan syariat merupakan sarana bagi umat Islam dalam mengupayakan
kemaslahatan serta menghindarkan dari kerusakan dalam rangka mempertahankan
atau mengamankan kemualiaan manusia, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
pengamanan iman atas kemuliaan manusia yang terejawentahkan dengan syariat,
dapat dilihat dari manfaat menjalankan syariah bagi manusia. Seperti
pengsyariatan shalat, berbagai manfaat terdapat didalamnya, seperti menyehatkan
badan, menjauhkan manusia dari nafsu
yang mengajak pada keburukan,[4]
serta memenuhi kebutuhan manusia sebagai manusia spritual. Pengsyariatan puasa
juga mempunyai manfaat untuk manusia, diantaranya adalah mencegah datangnya
penyakit dan meningkatkan kepekaan dalam menyantuni orang kelaparan karena
miskin.[5]
Begitu juga pengsyariatan zakat, di dalamnya terdapat manfaat, diantaranya adalah
melatih diri untuk dermawan.[6]
Dengan demikian, iman berujung pada amal yang bertujuan memanusiakan manusia. Meminjam
bahasa Kuntowijoyo ‘Islam sebagai agama yang memusatkan dirinya pada keimanan
terhadap Tuhan, tetapi mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia’.[7]
Merefleksikan iman kedalam prilaku dan tindakan sebagai upaya
mengamankan kemanusiaan, dapat dilakukan melalui pengamanan diri sendiri dari
setiap tindakan yang menggerus martabat kemuliaan manusia. Dengan menjalankan
kewajiban serta menjauhi larangan agama, maka kemuliaan akan disandang karena
bersanding dengan yang Maha Mulia. Hal ini, diisyarahkan oleh hadis hudtsi
sebagai berikut,
Artinya: Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. (HR. Bukhori).
Orang yang berusaha menampakkan keimanan kedalam perilaku dan tindakan melalui kesungguhan dalam menjalankan kewajiban serta menjauhi larangan agama, secara otomatis mendekati yang Maha Mulia, sehingga ia berpotensi menerima kemuliaan dari-Nya. Dalam bahasa jawa bernadzam KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak menuliskan tentang penekanan atas mukallaf untuk senang berlaku adil, sebagai berikut,
Yaitu islam,
berakal, baligh, telah datang agama Rasul
Tidak
melakukan maksiat besar dosanya
Dan tidak
terus-menerus( melakukan) atas kecilnya durhaka
Dengan demikian, berlaku adil dengan menjauhi larangan demi mengamankan hati dan perilaku dari tetesan tinta hitam yang menodahi dan mencemari kejernihannya adalah bentuk usaha merefleksikan atau memantulkan iman kedalam kehiduapan nyata. Melalui pemantulan tersebut, iman nampak sebagai pengaman kemuliaan manusia.
Taman Pemuda Tanbihun difoto dari sudut depan Markas
Melalui pengamanan diri sendiri atas berbagai prilaku atau tindakan yang menjatuhkan martabat manusia, proyek pengamanan kemuliaan manusia (dalam sebuah kaum) mendapat angin segar yang akan membawa dan menyebarkan benih pengamanan dari satu orang keorang lainya. Dan begitu seterusnya. Sehingga keamanan yang menjamin kemuliaan ( agama, akal sehat, kehormatan, harta, nyawa dan nasab) manusia akan tergapai yang akan menghantarkan manusia pada kemuliaan peradaban. Bukankan Tuhan akan merubah suatu kaum apabila kaum tersebut mau merubah pada diri mereka sendiri[9]???
[1] KH.
Ahmad Rifa’i Kalisalak, Riayatul Himmah, Kurasan 1.