Kategori: Opini

  • Agama: Upaya Stabilitas Sosial

    Agama: Upaya Stabilitas Sosial

    Seorang tidak akan pernah bisa memenuhi kebutuhannya tanpa andil orang lain. Pasalnya mereka adalah makhluk sosial yang membetuhkan uluran tangan orang lain dalam mengarungi hidup ini.

    Kepentingan yang sama mendorong manusia untuk bekerja sama. Namun bagi kaum yang beragama, bukan hanya sekedar kepentingan yang menyatukan mereka, namun lebih dari itu, ikatan mereka terikat atas dasar ibadah.

    Masyarakat moderen, menilai hubungan sosial mereka dengan pembagian tugas atas dasar saling menguntungkan. Jika tidak terdapat unsur menguntungkan maka secepatnya mereka meninggalkan dan berpaling kepada yang menguntungkan. Akibatnya, kesenjangan sosial dalam masyarakat moderen semakin meruncing dan melebar. Maka muncullah kepermukaan istilah, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

    Baca Juga: Zikir Yang Terlupakan

    Kesadaran kolektif yang dimiliki oleh kaum beragama lebih luas dan mendalam, jika dibandingkan dengan kesadaran kaum moderen. Kaum beragama, dalam menjalankan interaksi sosial tidak terbatas pada hukum untung dan rugi saja, namun juga melihat moral yang berlaku dalam masyarakat. Semisal, terdapat orang yang miskin membutuhkan makanan seharga 10000 namun ia memiliki uang 5000, maka dengan senang hati bagi pedagang yang beragama untuk memberikan makanan tersebut. Hal ini, karena didasari oleh moral bermasyarakat yang sekaligus diperintahkan oleh agama untuk membantu orang yang lemah, bukan masalah untung dan rugi.

    Dan kasus ini, tidak ditemukan dalam pasar moderen, seperti indomart ataupun alfamart dan mart-mart lainya, karena moral kaum moderen menyempit lebih kearah individualistik bukan atas dasar moral sosial masyarakat.(diolah dari buku tujuh teori agama oleh Daniel L. Pals)

    Kesenjangan yang terjadi antara si kaya dan si miskin, agakanya disebabkan oleh pola pikir moderen yang mengedepankan kepuasan individual dan meninggalkan moral sosial. Jika kesenjangan ini terus melebar, memanjang dan menjauh, maka angka kriminalitas semakin meningkat. Pasalnya si miskin akan berbuat apapun untuk bertahan hidup tanpa memperdulikan benar dan salah.

    Untuk mengantisipasi kesenjangan tersebut, agama memberikan ajaran moral kolektif demi mengupayakan stabilitas sosial. Hal ini, terlihat dalam konsep takwa yang ditawarkan oleh agama. Ketakwaan sangat penting bagi kaum beragama, karena tingkat ketakwaan seseorang mempengaruhi kemuliaanya dihadapan Allah. Perilaku takwa bukan hanya menjalankan shalat saja, namu juga menyedekahkan hartanya untuk kaum yang lemah secara ekonomi.

    Oleh karena itu, sungguh ironis jika terjadi kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya dalam lingkungan masyarakat yang mengaku beragama.

  • Kiai Panggung; Sebuah Wacana Dakwah

    Kiai Panggung; Sebuah Wacana Dakwah

    Banyaknya kegiatan pengajian yang dilaksanakan di desa, tidak menjamin dan  menjanjikan akan terciptanya masyarakat yang lebih baik. Hal ini, bukan berarti kita harus meninggalkan kegiatan pengajian dan menggantinya dengan kegiatan yang lain, agar tepat sasaran. Sebab, kegiatan tersebut masih diminati bahkan menjadi tradisi bagi masyarakat sebagai wadah untuk mengsyiarkan agamanya. Adapun kurang efektifnya kegiatan tersebut dalam mempengaruhi masyarakat ke arah yang lebih baik, alangkah baiknya kita jadikan masalah tersebut sebagai bahan untuk diuraikan dan dievaluasi dalam rangka mencari solusinya.

    Pengajian, merupakan media dakwah secara lisan. Pada umumnya, kegiatan pengajian memfokuskan pada pendai atau tokoh yang berlabel kiai atau ustadz dalam memberikan ceramahnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi dan memotifasi masyarakat agar dapat menata kehidupan yang lebih baik.

    Pemfokusan pada kiai panggung, dapat dilihat dari tingkat antusias masyarakat dalam menghadiri dan mengikuti jalannya pengajian, yang dipengaruhi oleh siapa yang akan mengisi acara inti yaitu maidzoh hasanah. Usaha dakwah melalui kegiatan pengajian, memposisikan seorang pendakwah panggung menempati tempat yang paling strategis dalam mempengaruhi hal-hal positif terhadap masyarakat. Oleh karena itu, kiai panggung dalam kasus ini, menanggung beban tanggung jawab yang besar sekaligus menjadi kunci bagi terbukanya pintu hidayah bagi masyarakat.

    Dari sini, kita dapat melihat bagaimana potensi kiai panggung dalam kegiatan pengajian sebagai usaha mempengaruhi masyarakat. Kemungkinan kurang efektifnya sebuah pengajian disebabkan oleh kiai panggung yang kurang profesional. Jika memang benar, bahwa kiai panggung adalah salah satu faktor yang menghambat kesuksesan acara tersebut, lantas bagaiman seharusnya kiai podium dalam menyampaikan ceramahnya?.

    Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam kitab Fathu Rabbany menukil perkataan Hasan Basry yang menyinggung tentang bagaimana memberi petuah kepada manusia, seperti berikut,[1]

    عظ الناس بعملك و كلامك يا واعظا عظ الناس بصفاء سرك وتقوى قلبك ولا تعظهم بتحسين علانيتك مع قبح سريرتك

    Artinya: Nasihatilah manusia melalui perilaku dan perkataanmu. Wahai penceramah, nasihatilah manusia dengan kebersihan dan ketakwaan hatimu, dan jangan menasehati mereka dengan kebagusan yang engkau perlihatkan bersamaan keburukan di hatimu.

    Berpijak dari sini, seorang kiai panggung haruslah menasehati masyarakat melalui perkataan maupun perilaku dengan penuh ketakwaan hati. Idealnya kiai Panggung, sebelum menuturi dan menasehati masyarakat, ia sudah mengamalkan ilmunya dalam bentuk perilaku yang baik, kemudian menggunakan lisan untuk menasehati masyarakat. Perilaku dan perkataan yang lahir dari hati bersih penuh dengan ketakwaan, agaknya lebih diterima dan didengar oleh hati masyarakat, yang kemudian menjadi sebuah langkah awal untuk berbuat baik yang pada akhirnya kiai panggung pantas mendapat label rahmat bagi mukmin.

    Ajakan secara lisan yang bersumber dari prilaku, merupakan sebuah komitmen seseorang atau kiai panggung dalam memposisikan masyarakat sebagai bagian dari tubuhnya. Pasalnya, ia menginginkan masyarakat untuk ikut merasakan nikmatnya berprilaku baik seperti yang sudah ia lakukan sendiri. Ajakan seperti ini adalah bentuk cinta kiai panggung terhadap masyarakat yang sekaligus mengindikasikan keutamaan iman kiai panggung. Agaknya, hal inilah yang diisyaratkan oleh hadis yang yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang dinukil oleh Ibnu Hajar Al Haitamy dalam kitab Fathul Mubin, sebagai berikut;[2]

    افضل الايمان ان تحب للناس ما تحب لنفسه

    Artinya: Lebih baik-baiknya iman adalah engkau mencintai untuk manusia sesuatu yang engkau sendiri mencintainya untuk diri sendiri.

    Oleh karena itu, seorang kiai podium dalam menjalankan dawahnya melalui acara pengajian, harusnya didasari cinta terhadap masyarakat, bukan didasari honor atau imbalan yang diberikan yang diterima dari masyarakat, sebagai usaha agar tujuan dari acara pengajian dapat dicapai, yaitu terbukanya pintu hidayah bagi masyarakat.


    [1] Syaih Abdul Qadir Al Jailani, Fathu Rabbany. Hal, 95.

    [2] Ibnu Hajar Al Haitamy, Fathul Mubin. Hal. 306.

  • Medsos, Media Ampuh Propaganda

    Medsos, Media Ampuh Propaganda

    Perkembangan teknologi melahirkan dunia baru, yang sering disebut dunia maya yang penghuninya disebut warganet. Pergaulan dalam bentuk interaksi dan komunikasi pun lebih mudah, tanpa harus bertatap muka dan tidak memakan waktu yang panjang, yang terwadahi dalam medsos. Salah satu alat untuk mengakses, menggunkan dan memanfaatkan dunia maya adalah hape yang tersambung dengan internet. Jaringan internet yang sudah menyebar seantero dunia, memberikan fasilitas bagi pengguna untuk mengeksplor dunia lebih lanjut, meliputi informasi dan komunikasi.

    Dunia maya mempunyai ruang sosial layaknya dunia nyata, seperti Facebook, Wa, Ig dan lain sebagainya yang memungkinkan pengguna dapat berjagong, berbincang dan berbagi informasi secara bersama-sama ataupun secara pribadi dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Kemudahan berkomunikasi yang ditawarkan oleh medsos, membuat orang semakin terasing dengan dunia sosial yang nyata. Atau malahan mengasingkan diri dalam kehidupan nyata. Hal ini, nampak dalam tempat tongkrongan banyak orang namun sepi, sebab mereka sibuk dengan hape-nya sendiri-sendiri.

    Interaksi dalam dunia maya, mengabaikan identitas sekaligus menampakkan identitas bagi pelakunya. Pengaburan identitas terjadi mengenai latar belakang hidup pengguna, sebab pengguna tidak diketahuai persis riwayat hidup pengguna lain karena tidak saling mengenal, sehingga hujatan, pisuhan dan kritikan mudah sekali keluar dari pengguna terhadap pengguna lain. Penegasan identitas dalam medsos ditandai oleh unggahan atau komentar yang dishernya, sehingga arah kedepan tentang pikiran dan prilakunya dapat diidentifikasi atau dimanfaatkan demi kepentingan sepihak.

    Semisal, yang dishernya berbau penghujatan, persetujuan terhadap gagasan dan lain sebagainya, menentukan gambar identitas mereka. Sehingga sangatlah mudah bagi orang yang berkepentingan untuk menaburkan, menyebarkan dan merawat propaganda dalam lahan medsos yang warganetnya sudah terkotak-kotak keberbagai identitas demi kepentingan kelompoknya. Maka tidaklah mengherankan jika isu atau propaganda mudah sekali menyebar dan memperkeruh sudut pandang bagi warganet yang kebanyakan masih awam.

    Dan tidak jarang, warganet menebarkan virus yang di-impornya dari dunia maya kedalam dunia nyata, melalui perilaku yang mendiskriminasikan kepada pihak yang tidak sepaham dengan tafsirannya. Bermula dari perbedaan yang mereka sher dari medsos ke medsos dan berbagai hujatannya, berbuntut pada permasalahan sosial-masyarakat yang bersifat nyata, seperti adanya sentimen antar pendukung yang menghilangkan keharmonisan masyarakat. Pada akhirnya perpecahan dalam keluarga, tetangga dan masyarakat tidak dapat dihindari, sebab kurang bijak dalam menyikapi dan mengambil tindakan dalam dunia maya.

  • Menilik Makna Kanaah

    Menilik Makna Kanaah

    Kanaah yang diterjemahkan sebagai sifat menerima apa yang sudah ada, serta merasa tenang terhadap apa yang ia miliki tanpa di dibarengi usaha untuk lebih baik, mendorong penghayat untuk menyesuaikan dan menyerah atas keadaan yang menjadi kenyataan dalam hidupnya, sehingga kanaah dijalani sebagai tindakan tanpa usaha. Pada akhirnya, penghayat kanaah tidak mampu keluar dari tindasan kesengsaraan oleh penguasa.

    Hemat penulis, hal ini dipengaruhi dua aspek, pertama  kanaah dipahami sebagai alat untuk pemelintiran tafsir atas keadaan, agar kepedihan yang dideritanya menjilma sebagai kebahagiaan. Sehingga ia menggiring penghayat untuk menjadi pragmatif yang memanfaatkan sesuatu meskipun hanya sedikit dan sukar ditemukan. Kedua manusia mempunyai tabiat mencari tenang dan ketenagan, apabila mereka sudah menemuka dan menikmati ketenagan walaupun imajinatif, dapat dipastikan merasa cukup, sehingga meninggalkan potensi untuk merubah keadaan atau nasib.

    Di lain sisi, pandangan tersebut menumbuhkan tangga angan-angan yang membumbung tinggi sampai kealam akhirat, seperti kenikmatan abadi berupa surga yang penuh dengan kebahagiaan, bidadari bermata indah dan makanan lezat siap sedia untuk dihidang. Sehingga mereka melupakan dunia tempat mereka hidup. Sikap apatis dan acuh tak acuh  terhadap dunia membuat nasib mereka selalu ditindas dan terzalimi, padahal agama diturunkan untuk menata kehidupan di dunia serta menentang tindakan zalim antar makhluk.

    Lebih lanjut lagi, pemahaman ini lebih condong  pada sifat oportunis yang selalu memanfatkan keadaan untuk diperkosa agar sesuai dengan kebahagian yang dicarinya, misalnya keadaan yang tertindas dan miskin dicarinya kenikmatan yang dipaksakan untuk dinikmati supaya mencapai puncak tujuan hidup yaitu bahagia. Singkatnya mereka dapat bahagia kapanpun dan dimanapun berada walaupun terzalimi.

    Sifat seperti ini sangat menguntungkan bagi kaum yang berada di atas sebagai penikmat dari kerja kolektif seluruh kaum, sebab mereka duduk manis dalam kursi sofa berlapiskan sutra dan menguasai diberbagai bidang, semisal ekonomi, sosial dan politik, bahkan kebanyakan menindas dan menghisap darah dari kaum yang berda di dibawahnya untuk di ambil manfaatnya tanpa memberikan hak dibawahnya, kalaupun ditemukan, itu pun masih minimal hanya sebagai penyambung kehidupan, karena selama mereka masih hidup selama itulah masa aktif sebagai mesim penghasil kekayaan masih dapat dimanfaatkan.

    Pemaknaan kanaah yang seperti ini, membuat penghayat tidak sadar tentang kezaliman yang menimpa pada dirinya. Bahkan mereka ikut serta dalam melestarikan kezaliman atas warga bumi. Hal ini, berarti demi kebahagian mereka mengorbankan ridha Allah SWT berupa ikut serta dalam melestarikan kezaliman.

    Padahal dalam kitab Riayah Akhir, KH Ahmad Rifai mendefinisikan kanaah, sebagi berikut:

     “konaah tegese makno tarajumah, iku anteng atene makno istilahiyah, iku anteng milih ridhane Allah SWT”

    Artinya kurang lebih seperti ini, kanaah secara bahasa adalah hati yang tenang sedangkan secara istilah adalah tenang dengan memilih ridhanya Allah SWT.  Sehingga perlu kiranya untuk mencoba memikirkan tentang nasib yang dirasakan dan berusaha merubah imajinasi kebahagiaan dengan menciptakan kebahagiaan yang nyata dengan membongkar kedzaliman demi meraih ridha Allah SWT.

  • SHALAT FORMALITAS

    SHALAT FORMALITAS

    Ibarat makanan pokok, ia menjadi kebutuhan sehari-hari manusia dan harus dipenuhi untuk menjaga keberlangsungan hidup. Seperti itulah perkara wajib dari agama, ia dibebankan terhadap manusia, tidak terlepas dari tujuan agama yaitu untuk kebahagiaan dunia dan akhirat yang menjadi kebutuhan manusia sendiri.

    Shalat adalah salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh sekalian mukalaf untuk mengingat Tuhan, minimal lima kali dalam satu hari dan dikerjakan di sela-sela kesibukan menyambung hidup untuk mengingat Tuhan. Itu pun, kalau benar-benar khusyuk, sehingga maksut shalat tercapai, yakni mengingat Tuhan dan pada puncaknya shalat dapat mencegah perbuatan buruk lagi merusak. Shalat yang dilakukan hanya sebagai formalitas ritual agama belaka, oleh mayoritas ulama masih dihukumi sah, yang berarti terlepas dari kewajiban. Asalkan memenuhi syarat dan rukun yang mengelilingi shalat.

    Shalat yang dianggap dan dilakukan hanya sebagai ritual formal belaka serta membuang jauh esensinya berupa khusyuk, membuat perilaku seseorang yang melakukan sholat masih jauh dari cahaya Tuhan. Yakni tidak jauh beda dengan seorang yang samasekali tidak pernah shalat yang pada umumnya berprilaku keji dan mungkar.

    Hal tersebut, menjadi salah satu alasan yang menimbulkan citra shalat melemah oleh orang yang menjadi korban kekerasan dari orang yang mengerjakan sholat secara kontinyu, namun sebatas formalitas saja. Sehingga timbul opini, shalat tidak berpengaruh apapun dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Pada akhirnya, nilai tawar sholat menjadi rendah di mata khalayak umum, karena prilaku orang yang mengerjakan shalat tidak sesuai dengan semangat ruh shalat itu sendiri. Hal ini berpotensi pemogokan shalat oleh sebagaian orang yang tercatat islam di sebagian kolom kartu tanda penduduk (KTP). Perlu diperhatikan, bukan hanya kedangkalan iman seseorang saja yang menjadi faktor pemogokan shalat, akan tetapi shalat kitalah yang ikut bertpartisipasi akan keengganan sholat mereka.

    Allah mewajibkan atas hambanya shalat, bukan karena ada manfaat yang diperoleh Allah, seperti tambah kuat ketika disembah dan melemah ketika tidak disembah karena Allah Maha Kaya, berdiri sendiri dan tidak membutuhkan siapapun, namun sebaliknya kitalah yang membutuhkanNYA.

    Perkara yang dihukumi wajib oleh Allah adalah bentuk rahmat untuk manusia itu sendiri, ia sebagai petunjuk akan pentingnya hal tersebut dalam kehidupan. Sekaligus memberikan motifasi berupa janji surga dan berbagai kenikmatan di dalamnya untuk orang yang melaksanakan kewajiban, serta ancaman siksa neraka bagi orang yang meninggalkan kewajiban tersebut. Janji dan ancaman bertujuan agar manusia memenuhi kebutuhan mereka sendiri sehingga mereka memperoleh manfaat dalam hidupnya. Perkara wajib adalah pengejawentahan rahmat berbentuk motifasi atau dorongan dari Allah untuk hambanya supaya memperoleh manfaatan-manfaatan bagi dirinya sehingga selamat dunia dan akhirat.

    Bagi orang yang sadar akan manfaat yang akan diperoleh, mereka menjalankan kewajiban tanpa ada motifasi surga dan ancaman api neraka. Mereka meyakini, kewajiban bukan sebagai pembebanan yang berimplikasi pemaksaan, akantetapi dilihat sebagi kebutuhan yang harus dikerjakan guna keselamatan dirinya untuk bertemu Tuhannya.

  • Pancaran Nur Bagi Muttaqin

    Pancaran Nur Bagi Muttaqin

    Nurun lilmutaqin, itulah salah satu tafsir tentang al quran yang berbunyi hudan lilmutaqin. Yah, hudan ditafsirkan sebagi nur atau cahaya bagi orang yang bertaqwa. Jadi, manfaat cahaya al quran hanya dapat dinikmati oleh orang yang bertaqwa saja lowh.

    Sebagaimana  cahaya, ia membantu penglihatan kita dari gelapnya pandangan mata, al quran pun demikian, ia menyikap tabir kepalsuan dalam bayangan kegelapan dholalah(sesat). Ehm, bukan hanya itu saja, ia juga memberi petunjuk dalam menyusuri jalan hidup menuju kebahagiaan hakiki, ”siapa lagi kalau bukan untuk orang yang bertaqwa???”.[1]

    Selanjutnya, orang yang dapat memanfaatkan cahaya sebagai penerang sekaligus penuntun adalah orang yang berani membuka mata. Yah, orang yang berani berfikir objektif apa adanya, pastinya yang sesuai kenyataan dong, dengan membuka mata pengetahuan dari manapun, tanpa ditutupi kelopak keegoan yang bisa membutakan pandangan, merupakan orang yang dalam perjalanannya tidak tersesat apalagi sampai jatuh kelembah hitam.

    Sedangkan orang yang selalu memejamkan mata ketika cahaya bersinar, pastilah ia akan selalu dalam kegelapan serta tidak akan pernah bisa memanfaatkan cahaya tersebut. pasalnya, ia sengaja mengubur dan menutupi pandangannya dengan kelopak keegoisan yang mengakibatkan kebutaan pada matanya. Ehm, Agaknya orang yang seperti ini masuk kategori kafir, sebab ia menutupi pandangan mata dari pancaran cahaya. Mungkin ia akan tersesat atau menyesatkan di perjalanan bahkan sampai terpleset atau memlesetkan dan akhirnya jatuh atau menjatuhkan dirinya atau orang lain kelubang nestapa. Naudzubillah

    Lebel kafir, bukan hanya diperuntunkan bagi orang yang tidak mengimani al quran saja, namun bagi orang yang menganggap sebuah pendapat sebagai kebenaran mutlak dan menyalahkan pendapat lain yang bersebrangan dengan keyakinannya, pantas bagi dirinya untuk melabeli kafir pada dirinya sendiri. Sebab, ia menutupi dan mengubur kebenaran orang lain dalam kelopak keegoisan diri. Sedangkan menutupi adalah arti dari bahasa arab kafaro. Walaupun pelabelan itu dilihat dari sisi bahasa hehe.

    Akibatnya, ia mudah terhasut dan terprofokasi oleh kabar yang sampai ketelinganya, padahal kabar itu belum tentu benar. Selayaknya hal ini, dimanfaatkan oleh yang punya kepentingan dengan menggandeng media massa untuk menyebarkan informasi yang dapat memuluskan tujuannya. Maka tidaklah mengherankan jika politik identitas semakin kuat yang berpotensi memecah bangsa.

    Fanatik terhadap suatu pendapat merupakan sumbu dari pertikaian, perpecahan dan peperangan. Dan orang yang dijauhkan dari pertikaian adalah orang yang mempunyai pandangan luas sehingga melihat perbedaan merupakan rahmat serta menaggapinya pun dengan kasih sayang. Agaknya orang seperti inilah yang tercerahkan dan terbimbing oleh pancaran al quran dalam setiap langkahnya.


    [1] Diolah dari tafsir ibnu katsir dalam surah al baqarah ayat 3.

  • Rasulillah “Gumun”

    Rasulillah “Gumun”

    Kalian tahu ngak?, Non muslim termasuk umat Muhammad SAW. Dalam literatur tertulis bahwa klarifikasi umat terbagi dalam dua bagian, yaitu umat dakwah ijabah dan umat dakwah goiru ijabah.

    Lha, umat yang berlabel dakwah ijabah adalah umat yang mengimani Muhammad SAW sebagai pembawa risalah yang mengajarkan ketauhitan dan syariat islam. Sedangkan umat yang ghoiru ijabah, merupakan umat yang tidak menerima dan mengingkari risalah Muhammad SAW. Singkatnya, umat islam dengan berbagai sakte dan aliran termasuk bagian dari umat yang ijabah. (diolah dari kitab suhwah al islamiyah  baina ikhtilaf, hal 37, yusuf qordawi). Ehm, kalau  masalah masuk surga atau neraka tergantung Tuhanlah.

    Dalam umat dakwah ijabah terdapat hirarki keutamaan. Tingkatan keutamaan umat dakwah ijabah adalah menurut zaman mereka hidup. Semakin jauh rentang hidup antara rasul dan umat maka semakin rendah derajat keutamaan umat tersebut. Tingkatan tertinggi dimulai dari umat yang pernah hidup bersama rasulilah yakni para sahabat. Disusul umat yang menangi para sahabat, yang disebut tabi’in, disusul generasi setelahnya sampai pada generasi sekarang yakni umat zaman now. Oleh karena itu, kita yang keutamaannya lebih rendah dari pendahulu kita, maka sudah sepantasnya untuk menghormati mereka apalagi dengan para sahabat radiyallahhu anhum.

    Jangan bersedih gitu lah gaes gara-gara kita terlahir jauh setelah masa nabi, sehingga derajat keutamaan kita terendah di antara umat Muhammad SAW. Sebab terdapat hadis yang menuturkan kegumunan/ketakjuban nabi terhadap umat zaman now, ya itu kita loh!!!.

    Diriwayatkan dari al Hasan bin Urfah al Abady, bahwa Rasul pernah bertanya kepada para sahabat, Adakah makhluk yang engkau kagumi tentang keimanannya?. Malaikat, jawab para sahabat. Bagaimana mereka tidak beriman padahal mereka dekat dengan allah?, sahut sang utusan. Para Nabi ya Rasul, para sahabat menebak, bagaimana ia tidak beriman padahal wahyu turun untuknya?, Rasulallah menyangkal. lalu para sahabat menebak lagi, kalau kita gimana?, Loh, bagaimana kalian tidak beriman padahal saya diantara kalian? Kata Utusan Allah. Selang itu beliau dawuhan, ingatlah makhluk yang paling aku gumuni/kagumi keimanannya, adalah generasi setelah kalian, mereka menemukan mushaf, mengimani serta mengamalkannya.

    Walaupun salah satu perawi hadis di atas dianggap pengingkar hadis, namun ada juga hadis yang menyinggung perihal tersebut, sehingga penulis memantaskan untuk ditulis kali ini.

    Di antara hadis yang senada dengannya, yaitu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa seorang sahabat bertanya pada Rasul, hai Rasul, adakah seorang yang lebih baik dari kami? Kami  berislam dan berjihat bersamamu. Ya, ada_lah, yaitu generasi yang mengimaniku sedangkan mereka tidak pernah melihatku, tutur Rasulallah. (Diolah dari tafsir ibnu katsir surah al Baqarah ayat ketiga)

    Setidaknya hadis di atas mengobati kegalauan kita tentang keutamaan umat, walaupun hanya perkara iman dengan yang gaib, yaitu mengimani Muhammad SAW sebagai pembawa serta pengaajar risalah tanpa melihat wajah beliau, Sehingga kita ‘umat zaman now’ lebih baik  dari para pendahulu kita termasuk para sahabat, ehm, walaupun dari sisi ini saja. Namun lumayan lah, dari pada tidak ada lebihnya sama sekali, terlebih lagi Rasulallah gumun sama generasi zaman now.
    اللهم صل على سيدنا محمد.

  • Rahmat yang Terlupakan

    Rahmat yang Terlupakan

    Yang namanya perbedaan itu lumrah bahkan fitrah. Penampilan fisik yang dari sononya saja, mulai warna kulit sampai jenis ras berbeda-beda, apalagi pemahaman, pasti sangatlah komplek dan cenderung variatif di setiap orang yang dibekali akal oleh Tuhan. Sebab penerimaan pemahaman oleh akal sesuai dengan kapasitas pemiliknya. Ehm, walaupun sama-sama ditukuli rambut hitam loh.

    Seringnya kita kan, memperkarakan perbedaan sebagai sumbu masalah yang membrentek pada masalah akhor. Kebencian, pertikaian dan perkelahian berakar dari sudut pandang perbedaan antar kita dan mereka. Sehingga kebaikan mereka bagi kita merupakan keburukan karena mata kita terkadung menaruh benci dan su’udzan.

    Para sahabat yang lebih dekat dengan utusan Allah SWT pun, mereka pernah berbeda pendapat gegara penafsiran mereka tentang dawuh utusan Allah SWT masalah shalat ashar di pemukiman Bani Quraidoh. Toh, mereka tidak saling benci apalagi berkelahi demi membenarkan pendapatnya. Apalagi kita yang jauh dari masa Nabi, perbedaan pendapat pasti lebih melebar dan meluas, bukan hanya masalah agama. Kok, kita tidak bisa memaklumi dan memaknai keberagaman pendapat adalah rahmat sebagaimana yang dicontohkan, malahan kita sering nyalahin pendapat orang lain dan merasa suci sendiri. Padahal sahabat yang sudah jelas diridhoi Tuhan saja, mereka tidak mensucikan pendapat mereka apa lagi untuk mensucikan pendapat orang lain.

    Pada tahun politik seperti sekarang ini, perbedaan pun beraroma politik juga. Sampai-sampai bumbu utamanya berupa racikan agama untuk memikat pelanggan dan pecandu agama demi tujuan pragmatis. Sangat disayangkan sekali, agama Islam yang notabenya nongkrong di klasemen teratas kependudukan negeri ini, menjadi sasaran empuk bagi sohibul hajat politik. Maka tidaklah mengherankan jika mereka terkotak-kotak dan saling berujar serta menebar benih kebencian. Singkatnya, teradu domba sebagai tanduk-tanduk agama.

    Apalagi didukung media massa yang berperan masif sebagai pelayan dan menyuguhi masyarakat perihal tanduk-tanduk agama, sehingga masyarakat bawah terbawa arus pengkotakan meski dengan takbir yang lirih dengan radius telinga tetangga.

    Lantas, apakah agama mayoritas/kuat secara kuantitas saja merupakan bentuk fitnah ataukah rahmat bagi umatnya? Apakah pantas, Islam yang sebagai agama damai malahan melahirkan pertikaian? Bukankah perbedaan adalah pengejawentahan dari rahmat yang terhampar luas yang pastinya murni kanugrahan sangkeng Allah SWT?

  • Ulama Menurut Bahasa dan Istilah

    Ulama Menurut Bahasa dan Istilah

    Kata ILMU diambil dari bentuk masdar yang fi’ilnya berupa علم-يعلم yang menurut kamus (lugot) mempunyai dua makna yang pertama ma’rifat atau mengetahui yang kedua pengetahuan atau masalah yang diketahui dan secara istilahnya (term) ilmu berarti: pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.

    Bila ditinjau dari sistematis dan shorof adanya masdar (kata kerja) pasti darinya terbentuk sighot isim fa’il (pelaku/orang yang sedang mengerjakan), kata عالم (orang yang mengetahui) asal dari علم (pengetahuan) jika kita telah mengetahui arti ilmu pastinya kita juga mengetahui arti ‘alim sesuai kerangka tersebut, dari pemahaman di atas bisa dikorelasikan bahwa orang ‘alim adalah orang yang mengetahui sesuatu tentang suatu bidang pengetahuan singkatnya.

    Esensi pembahasan mengerucut pada istilah علماء bentuk jamak عالم dan sudah maklum makna ulama bila di kaitkan dengan makna pengertian di atas, tapi makna tersebut masih banyak menimbulkan pertanyaan (kemusykilan) karena kejumudan arti ulama versi lughot memasukan seorang yang hanya cendikiawan,budayawan,sastrawan bahkan seorang doktor hingga seorang profesor maka dari itu disini akan memperlihatkan esensi ulama dan eksistensinya, agar tampak jelas untuk publik apa hakikat ulama?

    Secara syar’i kata ulama telah tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits karena memang makna syar’i lebih didepankan dari pada makna lugowi (bahasa) yang berkaidah:

    المسمى الشرعي اوضح من اللغوي

    Nama secara syar’i lebih bermakna (valid) dari pada lugowi, sesuai dengan qoulun Nabi SAW:

    العلماء هم ورثة الانبياء

    “Ulama adalah mereka pewaris ilmu (agama) nabi-nabi.”

    Dan juga terdapat pada kalam Allah SWT:

    انما يخشى الله من عباده العلماء (من كان عالما باالله و اشتدت خشيته)

    “Ulama adalah orang yang tahu dan yakin akan Allah serta sangat takut kepadaNya.”

    Keberadaan ulama disekitar kita merupakan sumber acuan dalam menjalankan kehidupan demi kebahagian di dunia maupun untuk akhirat, maka dari itu ikuti ulama’ karena memang itu sebuah kewajiban bagi bangsa umumnya bagi umat islam khususnya, berdasarkan Al Qur’an:

    أطيعواالله وأطيعوا الرسول و أولي الامر منكم

    اولي الامر اي العلماء

    Ketika ulil amri ditafsiri ulama maka suatu kewajiban taat kepadanya sebagaimana Allah dan Rasul-Nya.

    Ketika kita termasuk ummat yang mengajak kebaikan (الخير) padahal alkhoir adalah mengikuti Al Qur’an dan Hadist Nabi, dalam:

    الخير اتباع القرأن و سنتي

    Kebaikan ialah menurut Al Qur’an dan sunnahku. Maka jelas bahwa disinilah keberadaan ulama’ sebagai pewaris anbiya’ karena tak akan ada standarisasi pemegang Al Qur’an dan Hadist kecuali para alim ulama’.

    والله اعلم.
  • Amr dan Nahi Sebuah Stimulus Sebagai Umat Terpilih

    Amr dan Nahi Sebuah Stimulus Sebagai Umat Terpilih

    Manusia dapat membedakan atau lebih tepatnya menilai suatu permasalahan yang berada di depannya, walaupun sebelum datang syariat. Mereka dapat membedakan kemaslahatan dan kerusakan untuk dirinya ataupun lainnya. Mendahulukan  perkara yang lebih baik dari pada perkara baik, serta menolak/meninggalkan perkara yang lebih bahaya dari pada perkara yang bahaya adalah perilaku yang terpuji/bagus, yang berdasarkan akal yang mereka miliki[1]. Hal ini mengindikasikan, bahwa manusia sebelum datang syariat, mereka sudah berlomba menghasilkan kebaikan, walaupun untuk dirinya sendiri.

    Mendahulukan atau memilih perkara yang lebih bermanfaat dan menolak atau menghindari perkara yang lebih merusak adalah tabiat manusia[2]. Sebab mereka condong terhadap kenikmatan dan kebahagian[3]. Oleh karena itu, syariat datang dengan pondasi menghsilkan perkara yang paling bermanfaat dan menolak perkara yang merusak dan bertujuan untuk kesempurnaan maslahat manusia, dengan kata lain me-manusiakan manusia. Dapat disimpulkan, bahwa orang yang tidak bisa menerima syariat yang sesuai dengan tabiat yang mereka miliki, maka disadari ataupun tidak mereka  menghilangkan kemanusiaannya dari wadah manusia.

    Salah satu syariat islam adalah amr ma’ruf dan nahi munkar. Amr artinya memerintah dan ma’ruf artinya perkara yang dianggap bagus. Jika kadua kalimat digabungkan, berarti memerintah perkara yang dibaguskan. Sedangkan nahi artinya melarang dan munkar artinya perkara yang keji lagi susah, yang jika digabungkan berarti melarang perkara keji dan menyusahkan. Dengan adanya syariat tersebut, agama menjadi sempurna, yang oleh Allah SWT memberi contoh melalui Nabi-Nya untuk berbuat baik dari lisan atupun perilaku dan menghalalkan yang baik serta mengharamkan perkara yang kotor, pastinya ini selaras dengan nalar manusia, karena amr dan nahi adalah salah satu syariat terpenting agama yang pastinya harus bermaslahat. Tidak mungkin Allah SWT mensyariatkan suatu  syariat kecuali di dalamnya terdapat maslahat. Sehingga, jika kerusakan yang diakibatkan amr dan nahi lebih besar dari pada maslahatnya, maka tidak termasuk syariat yang diperintahkan.[4]

    Manfaat yang diperoleh dari syariat tersebut bukan hanya di akhirat akan tetapi dunia dan akhirat. Adapun manfaat yang dapat diambil dari syariat tersebut, dari segi dunia adalah orang-orang dholim/fasik bisa dikendalikan atau sekurang-kurangnya orang dholim mengerti bahwa dirinya merugikan. Dan manfaat yang diambilnya dari sisi akhirat/agama terhindar dari dosa orang-orang yang berbuat dosa (kepeletan doso) dan mengatasi orang yang cerobah dalam beribadah dengan tidak memperhatikan syarat-rukun supaya beribadah dengan baik dan benar. Yang terpenting adalah meluruskan aqidah yang sesat seperti iman dan sahadat kurang memenuhi syarat, yang semua mengarah pada kesimpulan bahwa kedua syariat tersebut untuk keseimbangan dunia-ahirat dengan kebersamaan. Oleh karena pentingnya syariat tersebut, jika ditinggalkan maka rusaklah tatanan dunia-agama.oleh kiai Haji Rifa’i

    اتوي تعكل كروني امر نهى كواجبني         ايكو مجباكن كروسكن دنياني

    [لن    روسك   اكمني   الله   كبنرن           ايكوله ارف جمبركن كنظرني[5

    Amr dan nahi tersebut merupakan ciri khas yang membedakan kita dari agama langit sebelumnya, yang dimana mereka ada yang mengharamkan sebagian kebaikan dan menghalalkan semua perkara kotor melalui rasulnya, akan tetapi nabi Muhamad SAW dengannya agama islam lahir, menghalalkan seluruh perkara yang baik dan mengharamkan perkara yang kotor. Menghalalkan perkara yang baik adalah termasuk dari amr bi-alma’ruf sedangkan mengharamkan perkara yang kotor bagian dari pada nahi an-munkar. Dengan bukti amr dan nahi umat islam berhak memegang penghargaan anugrah langsung oleh Allah SWT Tuhan semesta alam menjadi sebaik-baiknya umat di bumi,

    Sebuah pertanyaan ”mengapa dengan amr dan nahi Allah SWT menjadikan sebaik-baiknya umat?. Jawabannya dikarenakan  pelaku amr dan nahi mencerminkan dari hati yang mempunyai pendirian kokoh tidak bisa dirubah walaupun dengan ombak samudra iming-imingan kebahagian dunia. Disebabkan mereka ikhlas murni tanpa tercampur kepentingan pribadi, hanyalah syariat yang menjadi  pedoman bukan sebuah peradatan yang dijalankan kebanyakan masyarakat seperti praktek KKN, mereka tidak peduli diasingkan ataupun gangguan oleh masyarakat  sebab mereka sadar orang yang terpilihlah yang dapat menjalankan tugas berat sebagai khalifah bumi dan sabar seketika ujian menghampiri.

    Wallahu A’lam.

    Daftar Pustaka:
    [1] Izzuddin Ibnu Abi-Salam. Kowaid ahkam hal 5
    [2] Kowaid ahkam hal 7
    [3] Kowaid ahkam hal 17
    [4] Ibnu Taimiyah. Amar bi_alma’ruf wa nahi an_almungkar. hal 10
    [5] Kiai Rifai, Abyanal hawaij, bab amr nahi jus 3