Kategori: Opini

  • Merawat Lingkungan: Tugas Ilahiyah

    Merawat Lingkungan: Tugas Ilahiyah

    Isu lingkungan yang sekarang ini bertebaran di berbagai media sosial, memberitahukan kepada kita bagaimana keadaan lingkungan yang memprihatinkan dan semakin hari bertambah rusak lagi parah. Diantaranya adalah sampah plastik yang bergentayangan dan mencemari lautan, gunung es antartika yang meleleh dengan kecepan tertinggi dalam sejarah yang diakibatkan oleh suhu panas yang akhir-akhir ini meningkat tajam, dan hutan yang menggundul dan kehilangan fungsinya dan lain-sebagainya. Lingkungan yang telah rusak, tidak dapat menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Lautan sebagai sumber ikan terbesar secara berangsur mengurangi stok ikan. Gunung es antartika, dengan kapasitanya menyimpan air dalam gumpalan-gumpalan esnya, mulai menagis dan mengalirkan air mata sehingga volume air laut meningkat dan membanjiri kawasan pesisir laut. Begitupun hutan yang bertugas menyediakan oksigen, memangkas jatah oksigen sehingga dunia semakin panas.

    Keseimbangan alam terganggu yang kemudian melahirkan berbagai masalah bagi manusia dan mengancam keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri. Padahal alam diciptakan oleh Tuhan adalah sebagai solusi bagi permasalahan manusia. Manusia butuh tempat untuk berteduh dan alam menyediakan bahan untuk membuat rumah. Manusia butuh makan dan minum, alam pun mencukupi kebutuhannya. Lantas mengapa alam mulai membelot dan meninggalakan tugas pokok untuk manusia?. Jawabanya adalah manusia sewenang-wenang dalam menggauli alam, karena berdalih sebagai wakil Tuhan di bumi serta melalaikan tanggung jawab atas pelestarian alam.

    Melalui kemuliaan-Nya, manusia diciptakan di bumi atas dasar dimuliakan. Sebagai bukti bahwa manusia dimuliakan adalah penghamparan rahmad-Nya berupa pemberian berbagai fasilitas yang mendukung keberlangsungan hidup manusia. Memanfaatkan fasilitas yang tersediakan, merupakan hak manusia dalam menjalani hidup di dunia. Selain hak, manusia juga mengemban tanggung jawab berupa tugas pengabdikan hidupnya untuk Tuhan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Bagaimanapun juga perusakan lingkungan adalah tindakan tercela. Oleh karena itu, manusia didapuk oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi yang diinformasikan dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 30. Mengenai tugas manusia sebagai khalifah, Kiai Sahal Mahfudz membagai tugas manusia menjadi dua bagian, yakni tugas Ibadatullah dan Imaratulard. Klasifikasi ini berdasarkan pada ibadah mahdzah dan ghairu mahdzah. Jika ibadah mahdzoh seperti shalat dan puasa maka disebut sebagai tugas Ibadatullah dan apabila ibadah ghairu mahdzoh termasuk merawat dan menjaga lingkungan disebut dengan tugas Imaratulard.

    Tugas manusia sebagai khalifah dalam bentuk imaratulard adalah menjaga, merawat dan memelihara lingkungan dengan baik sebagai wujud kompensasi atas hak memanfaatkan lingkungnan. Menjaga kebersihan dengan membungan sampah pada tempatnya, mengaliran air selokan yang mampet, membuat penghijauan dengan memanfaatkan lahan kosong adalah contoh kecil pelaksanaan tugas Imaratulard.

    Mengingat keadaan lingkungan yang semakin memperihatinkan, maka perlukiranya untuk memelihara lingkungan dengan berkomitmen pada diri sindiri untuk melakukan apa yang sanggup dilaksanan, sebagai upaya penyelamatan lingkungan. Orientasi pada hasil maksimal (bukan proses) sering mencebak manusia dalam kubangan ketaacuhan (tidak mau tahu). Seperti orang yang berpemahaman, “bahwa merawat lingkungan agar mencapai hasil maksimal haruslah dikerjakan bersama-sama”, orang seperti ini biasanya acuh dan tidak akan bertindak merawat lingkungan jika persyaratan kolektif tidak terpenuhi. Memang pemahaman tersebut dapat dinilai benar, namun persyaratannya begitu berat untuk dipenuhi. Jika syartat kekompakan itu tidak terpenuhi, lantas kapan lingkungan itu akan dirawat. Dengan demikian, memulai kebaikan untuk lingkungan dari diri sendiri walaupun hasilnya kurang maksimal, haruslah diupayakan dan diniatkan untuk menjalani tugas kekhalifahan di bumi.

    Pada umumnya, masyarakat akan tergerak untuk melakukan sesuatu jika terdapat pemantik yang berani memulai kebaikan. Oleh karena, memulai dari diri sendiri untuk merawat lingkungan merupakan hal yang paling relevan dan efektif walaupun kecil manfaatnya. Sebab dari kecil itulah pergerakan –dalam hal ini gerakan lingkungan- akan tumbuh menjadi besar dan lebih kentara manfaatnya. Dan juga dengan melakukan semampunya dalam merawat lingkungan, setidaknya tidak ikut memperparah kondisi lingkungan.

    Bagaimanapun juga, merawat, memelihara dan menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan adalah tugas Ilahiyah. Sebaliknya, merusak, mengeksploitasi secara berlebihan dan memperkosa lingkungan adalah tindakan tercela. Termasuk memperkosa lingkungan adalah membiarkan dan acuh terhadap kerusakan lingkungan. Manfaat tugas Ilahiyah -merawat lingkungan- tidak lain adalah untuk menjaga fasilitas pemberian Tuhan agar tidak kehilangan fungsinya yang kemudian dapat dinikmati manusia itu sendiri. Melalaikan tugas Ilahiyah sama-dengan menolak untuk menikmati fasilitas pemberian-Nya dan menjeremuskan diri dalam jurang kepayahan dan kesulitan.

  • Dakwah: Memuliakan Manusia

    Dakwah: Memuliakan Manusia

    Dalam menjalani hidup ini, manusia tidak akan terlepas dari interaksi dengan orang lain. Melalui kominikasi, manusia dapat menjalin hubungan dengan manusia atau masyarakat. Hubungan yang dijalin antar manusia bukan hanya sebatas dhahir, namun lebih jauh lagi yakni hubungan secara batin. Hal ini, terbukti adanya penilaian manusia sebagai sabjek terhadap perilaku orang atau masyarakat yang menjadi obyek.

    Penilaian yang dialakukan manusia adalah bagian dari komunikasi yang akan mempengaruhi alur cerita dari sebuah interaksi. Melalui hasil penilaian yang dilakukan manusia sebagi sabyek terhadap manusia lainnya yang menjadi objek, seorang sabjek akan menentukan perilaku dan menyesuaikan diri dengan obyek yang dihadapinya. Hal ini, dilakukan agar tidak terjadi masalah dalam interaksi yang dilakukan.


    Interaksi antar individu tidaklah semuanya lancar sehingga tidak terjadi masalah. Malahan tidak jarang melalui interaksi, antar individu menemukan masalah bahkan sampai ketingkat konflik yang disebabkan oleh kepetingan yang berbeda atau perebutan sesuatu yang dianggap berharga. Dengan sebab seperti itu, terkadang manusia mengutuk dan menganggap orang yang bersebrangan dengannya sebagai orang yang ahli neraka.


    Apalagi di era komunikasi seperti sekarang ini yang terfasilitasi oleh teknologi, komunikasi menemukan mementum dalam melebarkan area jangkuannya dan semakin gencar lagi masif dalam penyebaran informasi, sehingga membuka kran bagi bertemunya berbagai pendapat yang berbeda yang saling berhadapan. Melalui perdebatan yang bercorak apologis, para pengikut sebuah pendapat bertahan dan menyerang, menjatuhkan dan melumpuhkan pendapat lain.


    Penghakiman atas orang lain yang berbeda pendapat ataupun perilaku dengan mengecap sebagai manusia ahli neraka, biasanya dilakukan oleh orang yang mengatas-namakan agama dengan alasan menolong agama Allah SWT. Hal ini, sangatlah ironis karena islam dijaga langsung oleh Allah SWT. Perilaku penjastifikasian terhadap orang yang bersebrangan dengan pendapatnyan atau perilakunya, hanyalah dilakukan orang-orang yang menganggap suci dirinya sendiri sehingga mereka yakin hanya dirinya-lah yang masuk surga dan yang lainnya masuk lubang neraka. Dan lebih parahnya, mereka men-sabotase hak preogratif Allah SWT berupa penentuan takdir.


    Sehingga dakwah yang seharusnya menanamkan nilai tauhid melalaui kemanusiaan, malahan dijadikan sebagai alat atau dalih untuk membunuh kemanusiaan dengan merendahkan martabat manusia melaui pembubuhan nilai tauhid itu sendiri. Tauhid merupakan ajaran sentral dan pokok dari agama yang didalamnya mengandung ajaran untuk memanusiakan manusia karena Tuhan pun memuliakan manusia. Oleh karena itu, agar dakwah sesuai dengan tujuan yang semestinya yaitu mengajak manusia pada kebaikan dapat terrealisasikan, perlu kiranya membawa nilai humanisme atau kemanusiaan yang didampingi oleh nilai tauhid dalam kegiatan dakwah.

  • ihsan;saleh sosial

    ihsan;saleh sosial

    Islam mempunyai istilah trilogi yang cukup popular yaitu imam, islam, ihsan. Iman adalah percaya di dalam hati atau sesuatu yang diyakini kebenarannya. Iman belum bisa disebut sebagai  Iman sehingga berpasrah atau berkomitmen untuk melakukan perkara yang di imani tersebut.

    Untuk mengejawentahkan keimanan maka islam menjadi wadah untuk melakukan atau merealisasikan keimanan menjadi sebuah kenyatan yang berupa tindakan yaitu melakukan sesuai keyakinan yang dianggap sebuah kebenaran, islam inilah yang menjadi jembatan untuk beribadah kepada kepada Allah SWT seperti ikrar, sholat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu.

    Ibadah tersebut lebih mengorentasikan kepada kemaslahatan pribadi yang artinya ketika seseorang melakukan ibadah tersebut maka mereka dapat selamat dari api neraka dengan karunia dari Allah SWT. Dan untuk menyempurnakan keislaman seseorang bukan hanya beribadah untuk dirinya sendiri  akan tetapi lebih dari itu, yaitu berupa ibadah yang dapat dirasakan oleh masyarakat, dan untuk mewakili ibadah tersebut maka ada yang dinamakan Ihsan.

    Ihsan secara bahasa adalah berbuat bagus dengan objek diri sendiri serta mengikutkan masyarakat sebagai objek. Maka iman adalah kepercayaan dan islam adalah bentuk realitas dari keimanan, keduanya lebih menekankan pada kemaslahatan pribadi dan ihsan adalah bentuk kesalehan bermasayarakat, maka ihsan lebih tinggi derajatnya di banding iman dan islam. Oleh karena itu rasul yang menerima risalah diwajibkan untuk menyampaikan kepada umat lebih utama dari nabi yang mendapat khabar untuk kemaslahatan sendiri, walaupun nabi selalu fokus atau ingat kepada Allah SWT tanpa tercampur dengan masyarakat sekitar[1].

    Oleh karena itu, untuk memasuki agama secara kaffah atau menyeluruh dibutuhkan usaha-usaha yang mengarah pada pemenuhan keimanan, keislaman dan keihsanan yang dipraktekan secara bersamaan tanpa menganak tirikan salah satu dari ketiganya.


    [1]Minahul fikriyah bab muqoddimah

  • Getah Era Informasi

    Getah Era Informasi

    Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi yang memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi,  menghantarkan masyarakat pada era baru,  yakni era informasi.

    Pada era ini,  masyarakat dihujani banyak informasi. Saking derasnya informasi yang diterimanya, masyarakat tidak mempunyai waktu lagi untuk mempertimbangkan kebenaran informasi tersebut. Yang pada akhirnya mereka secara serampangan menghakimi sesuatu tanpa pernah menimbang kefalitan data tersebut.

    Penyebaran berita hoak yang sekarang ini marak dan mudah kita jumpai adalah bukti pengaminan masyarakat terhadap informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dan sekaligus sebagai bukti menyempitnya ruang berfikir masyarakat akibat desakan arus informasi. Lebih jauh lagi,  masyarakat mulai melupakan identitas pribadinya. Hal ini terlihat dalam kolom komentar yang mereka tulis di media sosial. Mereka menjelma menjadi ahlinya-ahli dalam berbagai masalah kekinian. Padahal mereka hanyalah masyarakat awam.

    Fenomena orang awam menjelma ahlinya-ahli, menghantarkan mereka pada perdebatan antar awam yang tidak berpijak pada kode etik keilmuan. Walaupun sebatas perdebatan dunia maya,  namun seringkali dibawa ke dunia nyata dengan berbagai kebenciannya.

    Oleh karena itu,  menyadari ke-awaman sangat dibutuhkan sebagai tindakan preventif. Setidaknya dengan tindakan ini, kita tidak ikut serta dalam menyebarkan berita tersebut. Dan sekaligus tabayyun melalui penggalian informasi dari sumber yang dapat dipercaya.

    Bukan hanya penyebaran berita hoak yang dibidani oleh era informasi ini, namun benih permasalahan sosial kerap kali lahir melalui rahim arus informasi yang bersumber dari internet.  Penyebaran paham radikalisme, ekstrimisme dan fundamentalisme sering kita jumpai dalam internet.

    Informasi yang terwadai dalam internet adalah informasi bebas nilai. Artinya di internet tersedia berbagai macam informasi dengan segudang aliran yang tidak terikat dengan nilai apapun. Berbagai aliran pemikiran ataupun sakte agama campur aduk dalam kuali internet tersebut. Sehingga sangat membahayakan bagi pengguna internet, jika tidak dapat memilah mana yang berhak untuk dikonsumsi.

    Lebih parahnya lagi,  dalam teknologi informasi -mesim pencari-  terdapat algoritma digital sebagai alat yang menyuguhkan berita di halaman layar berdasarkan konten yang sering dikunjungi pengguna. Semisal, pengguna internet sering mengakses konten jihad maka secara otomatis di halaman layarnya terdapat suguhan berita jihad.

    Dengan adanya logaritma digital tersebut,  ditambah kecenderungan masyarakat yang mengakses internet -terutama kaum muda- dalam rangka mencari ilmu agama serta maraknya situs yang mengajarkan paham radikalisme yang berkedok ajaran agama, memungkinkan pengguna internet terjebak dalam pusaran informasi yang menyesatkan, dan pada akhirnya  meresahkan masyarakat.

    Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam pusaran algoritma digital tersebut, pengguna internet hendaknya menulis alamat situs yang dapat dipercaya di mesin pencarian(geogle), bukan malahan menulis kata kunci apa yang ingin dicari di halaman mesin pencari tersebut.

  • Kontrol Sosial: Mempersempit Lahan Gersang

    Kontrol Sosial: Mempersempit Lahan Gersang

    Sudah menjadi rahasia umum, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu -yang dianggap sebuah kesenangan- dan kurang memperhatikan akibat yang dihasilkan perilaku tersebut. Pada umumnya, nafsu mengundang bencana  yang dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain.

    Tidak sedikit manusia yang mengikuti  tuntunan hawa nafsu sehingga mengakibatkan kemerosotan dalam segala bidang. Bidang yang paling terkena imbasnya adalah mental. Entah mereka  tidak tahu atau tidak pernah ingin tahu akibat yang mereka kerjakan. Ataukah kontrol sosial mulai luntur dan melemah kewibawaannya.

    Untuk meminimalkan hal tersebut, haruslah terdapat seseorang di setiap tempat atau lebih tepatnya  per-individu yang siap mengingatkan temannya yang mungkin belum mengerti atau lupa, supaya segara mengintropeksi diri. Karena bukan hanya faktor dzalim yang mempengaruhi manusia untuk  mengikuti nafsu, akan tetapi kebodohan pun menyumbang untuk hal itu. dalam mengingatkan teman, haruslah menyesuaikan situasi, kondisi dan bersikap bijaksana agar tercapai maksud dan tujuan.

    Pengendalian sosial –usaha mengingatkan- haruslah dimiliki per-individu dalam masyarakat. Hal ini dapat direalisasikan dengan membiasakan bersegara mengingatkan teman ketika mereka mengumbar nafsu. Adanya saling mengingatkan, setidaknya dapat mangurangi penyelewengan yang diakibatkan dari mengikuti kesenangan yang bersifat mitasi.

                Sekarang ini, zaman dimana ilmu pengetahuan semakin maju, apa jadinya jika kemajuan tersebut tanpa diimbangi pengendalian hawa nafsu?

    Nafsu sebenarnya satu, tetapi mempunyai tiga sifat yaitu tuma’ninah, lawamah dan amarah. Adanya pembagian sifatnya berdasarkan kedekatan atau ketakwaan terhadap Tuhan SWT. Apabila ketakwaan utuh,  nafsu tersebut mendorong untuk mengerjakan sesuatu berlandaskan agama serta ridho-NYA oleh karenanya disebut nafsu mutmainah. Sedangkan jika ketakwaan nafsu terhadap Tuhanya masih setengah-setengah, nafsu tersebut memotivasi setengah untuk kebaikan yang menjadi ridho-NYA  dan setengah untuk keburukan. Motivasi yang tidak jelas, mengakibatkan bercampur agama dan syahwat nafsu yang terkadang memotivasi untuk kebaikan dan terkadang untuk keburukan,nafsu ini desebut lawamah. Ketiga adalah nafsu imaroh, disebabkan sangat jauh dari kedekatan atau ketakwaan terhadap Tuhan SWT, sehingga nafsu tersebut hanya memotivasi untuk keburukan.

    Kalau melihat sejarah, di zaman Rasulilah sampai akhir priode kekhalifahan Usman bin Affan, umat islam tidak terpecah belah. Mereka menjaga persatuan melalui saling menguatkan satu-sama lain. Akan tetapi setelah priode tersebut, umat islam mulai kehilangan disiplin keberagamaan yang mengutamakan persatuan serta menganggap sesama muslim  sebagai saudara. Penyebab persatuan umat di zaman rasul sampai priode ahir kekhalifahan Usman bin Affan adalah mereka masih mempunyai nafsu tuma’ninah yang menggerakan mereka. Sehingga  islam bisa menjaga kesatuan yang mingikuti rel-rel syariat tanpa syahwat nafsu di dalamnya. Sedangkan zaman setelah itu, umat islam kehilangan nafsu tuma’ninah yang tergantikan nafsu lawamah yang menyampur  antara agama dengan syahwat nafsu, menjangkit sebagian penguasa dan rakyat . Ini diperparah dengan berubahnya  sistem kenegaraan Rasulilah SAW. berupa demokrasi ketakwaan- pemimpin dipilih langsung oleh rakyat- menjadi sistem monarki absolut -sistem kepemimpinan secara keturunan- mengakibatkan orang kaya semakin kaya karena dekat dengan kerabat  raja dan orang miskin semakin miskin, tanpa usaha untuk mengentaskanya. Sehinga lahir kelompok- kelompok penjilat. Mereka  tidak mempunyai  prinsip untuk pekerjaan yang mereka lakukan. Asalkan terdapat keuntungan yang mereka peroleh walaupun sebelumnya mereka mengingkari, maka mereka mengganti keingkaran itu menjadi keridoan dan sebaliknya. Inilah yang disebut nafsu amarah bertindak mengikuti syahwat. Sehingga agama menjadi barang dagangan. Jika ini diteruskan tanpa ada pengendalian nafsu yang merubah nafsu tersebut sehingga menjadi nafsu tuma’ninah, kiamat kurang dua hari pun, kita masih menjadi penjilat.

    Tidak dapat dipungkiri, syahwat nafsu yang mengarah pada maksiat walaupun  hina menurut  akal maupun agama tetapi mempunyai daya tarik dari sudut pandang  luar. Sedangkan manusia secara tabiat suka  keindahan serta  menjauhi kehinaan. Keindahan yang ditawarkan maksiat memang nampak indah dari luar namun busuk di dalamannya.  Oleh sebab itu banyak manusia yang tertipu keindahan luarnya, akibat dari kebodohan, kelalaian dan kedzaliman. Di samping itu, manusia mempunyai  unsur Insaniyah dan Syaitoniyah, keduanya berkerjasama untuk mengajak maksiat dengan cara menanamkan kepentingan pribadi pada diri mereka. ditambah lagi perilaku temannya yang mengikuti nafsu dan berprilaku buruk, maka ia akan lebih termotivasi untuk melakukan hal tersebut. karena pada dasarnya manusia mempunyai sifat mengimitasi perilaku orang lain.

    Untuk mengendalikan keliaran nafsu yang menyeret manusia dalam lembah nestapa, dibutuhkan usaha sadar mulai dari diri sendiri sebagai upaya menyadarkan orang lain. semakin banyak orang yang sadar dan menyadari penyakit yang diderita masyarakat, maka kontrol sosial akan semakin kuat. Dan diwaktu yang bersamaan, harapan masyarakat tentang kabaikan membumbung tinggi dan menguat terhadap individu. Sehingga lahan untuk mengumbar nafsu menjadi sempit, dan dengan harapan masyarakattersebut, individu semakin terpacu untuk berbuat baik.

  • HUKUM: KEBAHAGIAAN KOLEKTIF

    HUKUM: KEBAHAGIAAN KOLEKTIF

    Mengapa menikah hukumnya mubah?, Karena menikah sudah menjadi tabiat dan nafsu condong melakukanya. Walaupun menikah sangat dibutuhkan guna melanjutkan istafet kepemelukan agama, namun tidak sampai kederajat wajib. Karena tanpa diwajibkan, menikah sudah menjadi keniscayaan bagi sebagian besar manusia. Suatu kegiatan yang sudah menjadi tabiat manusia dan mereka sangat membutuhkan kegiatan tersebut, dengan atau tanpa penekanan syariat pastilah berjalan, tinggal memberi peraturan agar terhindar dari kebahagiaan egois.

    Hukum atau undang-undang adalah sebuah peraturan yang timbul dari masyarakat untuk masyarakat, guna mencapai kemaslahatan bersama, untuk mencapai cita-cita bersama. Apapun perkara yang dapat menghasilkan kemaslahatan kolektif, haruslah dijadikan hukum atau undang-undang, baik yang sudah berlaku mendarah daging sehingga dijadikan adat oleh masyarakat atau yang masih asing di telinga masyarakat.

    Jadi sumber undang-undang ada dua yang menjurus kepada maslahat kolektif, pertama dari perilaku yang terus menerus dilakukan yaitu sebuah kebutuhan dan merasa dibutuhkan dan yang kedua dari sebuah kebutuhan tapi belum dirasa kebutuhan. Sumber pertama pembentuk undang-undang adalah adat kebiasaan, maka sangatlah mudah menegakkan serta penjagaan pun relative lebih gampang. Sumber kedua adalah perilaku yang belum dirasa kebutuhan walapun sudah pasti maslahatnya. Masyarakat perlu diberikan sosialisasi serta bimbingan dari petugas penegak undang-undang, cara tersebut mungkin efektif untuk orang yang lekas sadar karena keluasan ilmunya, akan tetapi bagi mereka yang masih dangkal kayaknya belum teratasi dengan cara di atas, oleh sebab itu di perlukan kesiap siagaan, ketangkasan dan ketegasan bagi penegak undang-undang.

    Indikasi undang-undang yang mudah atau sulit di jalankan masyarakat adalah tergantung adatkah atau asingkah pembentuk undang-undang tersebut. Terlepas dari manakah undang-undang tersebut dilahirkan. Yang pasti itu semua adalah wasilah kebahagian bersama. Jadi sebuah masyarakat yang mudah mentaati undang-undang yang datang dari manapun adalah masyarakat beradap, menerima kebenaran dan mementingkan kebersamaan membuang jauh egois dan begitu juga sebaliknya.

    Semisal menggunakan kendaraan bermontor, masyarakat berbondong-bondong memanfaatkan tehnologi tersebut, walaupun tanpa peraturan yang menekan. Untuk mencegah  kemungkinan yang ditimbulkan berkendara yaitu kebahagiaan yang mengakibatkan kerugian pablik, dibentuklah peratuaran-peraturan seperti kartu SIM yang harus dimiliki pengendara sebagai bentuk kemahiran dalam berkendara serta perkara yang berhubungan dengannya dan izin berkendara, agaknya peraturan tersebut sangatlah sulit diterima masyarakat, oleh karena itu diwajibkan. Banyak kemungkinan yang menjadi alasan masyarakat sulit menerima hal itu, pertama anggapan montor-montor sendiri harusnya tidak ada aturan, kedua yang penting kemahiran berkendara walaupun tanpa SIM yang mereka buktikan dengan lolos dari kejaran polisi karena mereka beranggapan membuat SIM hanya menambah buncit perut penjilat pemerintah bukan sebagai bentuk kelayakan bermontor.

    Adapun desiran hati yang mengarah kejiwa serta menjadi motifasi untuk melaksanakan peraturan adalah bentuk irodah keinginan yang disebabkan pemahaman yang menggiring pada kesadaran. Dan alat untuk mencapai pemahaman adalah akal yang merasa sebuah kebutuhan untuk menggapai kemaslahatan. Singkatnya, bagi akal yang sudah bisa berfikir kedepan atau sudah balig yakni bisa membedakan mana yang baik dan buruk bagi dirinya, yang bisa menaati peraturan dengan sendirinya. Hanya orang masih kecil atau belum baliglah, yang membutuhkan bimbingan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sebab akalnya masih lemah untuk berdiri sendiri.

  • BIAS POLITISASI AGAMA

    BIAS POLITISASI AGAMA

    Fenomena dimabuk oleh ajaran atau ormas tertentu dalam agama, akhir-akhir ini mulai kentara dipermukaan. Istilah bid’ah tidak asing lagi ditelinga kita. Ini membuktikan betapa mabuknya masyarakat terhadap ajaran tertentu. Dan akhirnya, pelabelan bid’ah, kafir dan khurafat bagi kelompok yang tidak sepaham dengannya, menjadi puncak dari kefanatikan atau kegilaan atas ajaran tersebut.

    Melihat kegilaan atas ajaran agama tertentu, tentu saja dianggap lahan basah untuk dipolitisasi oleh oknum politik. Hal ini dilakukan untuk menjatuhkan popularitas lawan dan sekaligus meneguhkan posisi yang diusung di hati masyarakat.

    Aksi agama yang bermuatan politik seperti yang terjadi di monas kemarin yang berjilid-jilid,-menurut sebagian kalangan- menegaskan bahwa terdapat politisasi agama dalam pilpres tahun ini. jika kita amati, orang-orang yang datang dalam aksi yang berjilid-jilid itu, mayoritas berjubah, berjidat hitam dan suka teriak takbir sembari mengibarkan bendera tauhid, pokonya serasa islamis banget. Sehingga mempengaruhi opini masyarakat bahwa umat islam di Indonesia sepakat untuk memilih pasangan capres dan cawapres tertentu.

    Di lain sisi, masyarakat yang mendukung dan menghadiri maupun masyarakat yang setuju dan mendukung aksi tersebut, merasa apa yang dilakukannya adalah bentuk panggilan agama atau jihat di jalan Allah SWT. Sehingga sentiman antar ormas atau sakte agama semakin memanas di akar rumput yang diakibatkan oleh politisasi tersebut.

    Menguatnya tensi fanatik terhadap ajaran tertentu sudah menjadi masalah sosial di tengah masyarakat dan terkadang dapat meruntuhkan tatanan masyarakat lokal. Apalagi hal itu ditumpangi politik, maka sangat mungkin melahirkan masalah di tingkat nasional melalui perpecahan umat dan pada akhirnya mempengaruhi kestabilan sebuah negara. Pasalnya, mereka mempunyai alasan selain atas nama agama untuk membuat kekacauan, yaitu atas nama menegakkan keadilan.

    perolehan suara pada pelpres tahun ini hanya berselisih 10%. Hal ini, mengindikasikan kekuatan dari kedua kubu capres sama-sama besar. Jika salah satu pendukung dari capres meraup suara dari hasil politisasi agama, maka peta umat islam di indonesia mulai terlihat jelas. Yakni separo dari umat islam di Indonesia berpeluang besar untuk takbir dan mengibarkan bendera tauhid demi keadilan dan yang separo lagi berjuang untuk keamanan NKRI. Dan kemungkinan terburunya adalah terjadi adu-domba antar umat islam di Indonesia yang akan mempengaruhi kestabilan negara yang pada akhirnya kesatuan NKRI goyah.

    Mungkin di tahun ini kita terselamatkan dari kemungkinan terburuk akibat politisasi agama, namun tidak menutup kemungkinan pilpres di tahun yang akan datang muncul kembali hantu politisasi agama yang membawa gelombang lebih besar sehingga menyapu dan meluluh-lantahkan kesatuan NKRI. Mengingat isu SARA masih menjadi problem yang belum terselesaikan di negara kita.

    Sejak indonesia dilahirkan, isu SARA memang sudah ada dan menjadi permasalahan. Oleh karena itu, para pendiri bangsa mengantisipasi agar isu tersebut tidak menguat dan menjadi momok yang dapat menggoyahkan kesatuan NKRI dikemudian hari. Melalui perumusan pancasila sebagai  dasar falsafah negara oleh para pendiri bangsa, diharapkan isu yang berkaitan  tentang SARA dan agama dapat diredam. Sehingga tidak melahirkan masalah di negeri ini.

    Pancasila sebagai falsafah, tentunya merangkul, memuat dan mengikat seluruh nilai-nilai yang berkembang dari sabang sampai marauke. Karena pancasila adalah pemersatu bangsa. Diantara nilai yang terangkul dalam pancasila adalah  nilai agama atau kepercayaan yang termuat dalam sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

    Nilai yang dikehendaki sila pertama adalah nilai yang positif yang digali dari nilai-nilai profetis agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan. Nilai agama yang lapang dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan penempatan sila ketuhanan di atas sila-sila yang lain, politik negara mendapat akar kerohanian dan dasar moral yang kuat. Ketuhanan yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing, melaikan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.

    Dengan peran kepemimpinan moralnya, dalam rangka pencapaian tujuan negara, sila ketuhanan memberikan dimensi agama pada kehidupan politik serta mempertemukan simbiosis antara konsepsi “daulat Tuhan” dan “daulat rakyat”, yang disebut oleh Kartodirdjo dan Kuntowijoyo sebagai “Teodemokrasi. Dengan pancasila, kehidupan kolektif yang berorientasi pada penghayatan nilai-nilai itu terangkat dari tingkat sekuler ke tingkat moral atau sakral (Yudi Latif, 2011)

    Melalui pemaknaan sila ketuhanan sebagaimana mestinya, pemeluk agama ataupun sakte agama dapat memahami bagaimana ajaran mereka menjadi pondasi dalam menghiasi ruang publik dan politik dengan mengutamakan kebenaran, keindahan dan kebaikan sebagai bentuk pengsakralan perkara profam demi kemajuan bangsa indonesia. Hal ini, dilaksanakan sebagai upaya mengobati penyakit akut bangsa yang terkena virus degradasi moral dan karakter yang menjangkiti disemua lini, termasuk perpolitikan bangsa. Dengan demikian, politisasi agama ataupun sakte agama tidak akan pernah laku lagi dipasaran perpolitikan indonesia.

  • Akhlak Fitri di Hari Kemenangan

    Akhlak Fitri di Hari Kemenangan

    Ditulis oleh kang Taufiq

    Alhamdulillah dalam beberapa hari ini kita telah merayakan hari kemenangan(idul fitri). Namun sebelum kita menuju di hari kemenagan atau hari yang fitri, kita dihadapkan pada bulan yang suci, yaitu bulan ramadhan. Di dalam bulan tersebut, kita sudah menjalankan perintahNya yaitu berpuasa/menahan hawa nafsu selama satu hari penuh.

    Tidak hanya itu, kita juga berlomba-lomba dalam memperbanyak kebaikan seperti bertadarus, taraweh dan mengikuti majlis taklim. Untuk menutup bulan yang suci tersebut, kita diwajibkan untuk mengeluarkan seklumit zakat fitrah, guna untuk mensucikan diri kita.

    Tetapi tanpa kita sadari di malam yang suci tersebut(malam kemenangan), kita telah mengkotorinya lagi dengan kelakuan-kelakuan kita yang melanggar syari’at dan hukum negara, seperti bermabuk-mabukan dan tawuran sehingga menjatuhkan banyak korban. Secara tidak sadar kita telah mengkotori lagi jiwa yang telah di sucikan selama satu bulan penuh hanya dalam waktu semalam. Betapa ruginya kita, kebaikan kita selama satu bulan penuh kita hilangkan hanya dalam hitungan jam.

    Lalu di mana islam kita? yang katanya agama kasih sayang. Bukankah kita sudah keluar dari misi sang kekasih kita(nabi Muhammad) yang membawa agama islam sebagai
    rahmatan lil alamin, jika kita selalu menebar kebencian dan pertikaian.

    Seharusnya pada malam kemenangan tersebut, kita isi dengan hal-hal yang positif dan maslahat. Seperti melestarikan budaya lama yang baik yaitu takbiran di masjid, mushola, dll. Juga dapat kita isi dengan takbir keliling sembari sowan-sowan kemasyayikh, kiyai, ustadz dan tokoh masyarakat. Mungkin itu termasuk hal yang baru, namun bernilai baik. Bukankah kita sudah sering dengar maqolah,
    المحافضة على القديم الصالح والأخد بالجديد الاصلح
    Artinya: Menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

    Dan dengan begitu, kita setidaknya sudah mendukung demi terwujudnya islam yang rahmatan lil alamin, sesuai misi yang diemban oleh kekasih kita(nabi Muhammad).sekian dan terima kasih.

  • Kilas balik puasa kita

    Kilas balik puasa kita

    Ditulis oleh kang lutfi

    Puasa ramadhan adalah ibadah yang diwajibkan oleh agama Islam. Dalam puasa, kita diperintahkan untuk menahan sesuatu sekalipun itu perkara halal untuk dilakukan di bulan selain ramadhan. Tetapi setelah kita berpuasa semua hal yang sebelumnya halal atau boleh dilakukan, semua itu haram untuk dikerjakan dari subuh hingga magrib. Seperti makam, minum dan lain-lain yang dapat membatalkan puasa kita.

    Puasa termasuk kewajiban agama yang tercantum dalam rukun Islam yang ke empat. Adapun al quran yang menyinggung perihal puasa, tercantum dalam surah al baqarah ayat 183. Di sana, diterangkan bahwa tujuan utama ibadah puasa adalah untuk menjadikan umat Islam menjadi umat yang bertakwa.

    Tetapi anehnya, pada zaman sekarang ini, yang dikatakan era modern, tujuan puasa seakan mulai punah dan hilang dari lingkungan masyarakat kita. kenapa? Karena Masyarakat kita, sudah mulai melupakan usaha untuk memaknai tujuan ibadah puasa yang berlangsung selama tiga puluh hari. Masyarakat sekarang, berpikir bahwa bulan puasa adalah bulan yang hanya menjalankan puasa saja, yakni menahan lapar dan dahaga. Mereka beranggapan bahwa yang penting adalah dapat menghindari makan dan minum selama waktu puasa, itu sudah cukup. Padahal itu bukan tujuan puasa.

    Kenapa sebagaian masyarakat masih seperti itu?. Mungkin karena kurang mengerti makna dari puasa. Masih banyak di tengah-tengah masyarakat kita, yang berpuasa tetapi masih melakukan hal-hal yang membuat batalnya pahala puasa tersebut, atau bahkan masih melakukan berbagai dosa kecil saat puasa, seperti berbohong, bergosip, pacaran dan lain-lain, yang di mana perilaku tersebut dapat membatalkan pahala puasa.

    Dari uraian di atas, tentu saja masyarakat dan kita khususnya, tidak ingin pemahaman yang seperti itu terus-menerus mengalir di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu, tentu harus ada upaya agar masyarakat dan kita kedepannya dapat lebih baik dalam memahami di setiap bulan puasa, yaitu dengan pengsyiaran kegiatan yang positif seperti mengaji di masjid dan tadarusan yang menitik beratkan pada pemahaman makna dari al quran. Melalui usaha tersebut, masyarakat dan kita bisa lebih mengerti, memahami dan menghayati bahwa begitu mulianya bulan puasa. Sehingga setiap masyarakat dan kita dapat menjalani ibadah puasa dengan lebih bermakna, yang pada akhirnya, bisa dikatakan sukses dalam menjalani ibadah dan terciptalah tujuan dalam ibadah tersebut yaitu menjadi umat yang bertakwa.

  • Puasa: Upaya Penanaman Ibadah Sosial

    Puasa: Upaya Penanaman Ibadah Sosial

    Mengamalkan dan menjalankan puasa di bulan ramadhan, bagi umat islam merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Menahan diri untuk tidak makan, minum dan lain sebagainya yang dapat membatalkan puasa, adalah bentuk puasa yang sering kita lakukan. Pemaknaan yang lebih bersifat manajemen hati agaknya kurang kita perhatikan, apalagi untuk kita hayati, agaknya terlalu ngipi. He he

    Kita sering memaknai puasa hanya sekedar menahan untuk tidak konsumtif di jam yang ditentukan lalu melampiaskannya di waktu berbuka puasa. Hal ini terlihat ketika waktu berbuka puasa mendekat, kita mulai menata atau memburu hidangan yang akan dijadikan menu dalam pemenuhan hasrat kelaparan dan terkadang bahkan sering kita berlebihan dalam memuaskan nafsu makan. Yah, kelaparan itulah yang kita rasakan selama menjalani ibadah puasa, sehingga kita menyiapkan apa yang menjadi pemuas dahaga dan lapar untuk diri kita sendiri.

    Anehnya, kita sering melupakan sebuah  hikmah ibadah puasa yaitu terbentuknya kepekaan sosial kepada orang yang hidupnya sering dihantui kelaparan. Padahal dalam berpuasa, kita merasakan lapar dan dahaga yang sering menimpa orang yang berada dalam kubangan kemisikinan tersebut.

    Memang benar, puasa adalah ibadah yang bersifat mahdzoh untuk diri sendiri, dan bukan bersifat sosial seperti zakat, infak dan sedekah, namun ibadah puasa setidaknya berusaha menanam, merawat dan menyuburkan benih budaya untuk saling berbagi kebahagiaan antar umat muslim, terlebih kepada orang yang lebih membutuhkan akan hal tersebut.

    Oleh karena itu, sudah semestinya kita mencoba mencari dan menyelami hikmah puasa sebagai upaya pengabdian kepada yang Maha Kuasa, melalui perilaku yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Walaupun puasa bersifat individual, namun dapat kita jadikan sebagai landasan dalam beribadah sosial.

    Bagaimanapun juga, perkara yang mempunyai efek sosial, itu lebih baik dari pada perkara yang tidak berefek sama sekali. Seperti yang disinggung dalam sebuah kaedah yang berbunyi sebagai berikut,
    المتعدى افضل من الازم
    Artinya: perkara yang berefek itu lebih utama dari pada perkara berdiam.

    Untuk itu, jadikan puasa kita sebagai langkah awal untuk lebih memperbaiki ibadah sosial sebagai upaya melebih-utamakan nilai ibadah, yang berorentasi pada pencarian keridhaan Allah SWT.