Penulis: Ali Suyarno

  • Istilah Rukun Islam Satu oleh KH. Ahmad Rifa’i

    Istilah Rukun Islam Satu oleh KH. Ahmad Rifa’i

    Rukun Islam Satu Pemudatanbihun.Com Islam secara etimologis berasal dari akar kata salima-yaslamu sinonimnya naja artinya selamat, bebas penyakit, aib, dan cacat. Dari akar kata yang sama, lahir derifat-derifat seperti salam (kedamaian), salamah (keselamatan), aslama (tunduk), islam (ketundukan). Tapi Islam juga nama dari agama Allah yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya untuk membimbing manusia menjalani hidup dan kehidupan yang baik, benar dan indah.

    Maka Islam adalah nama sekaligus substansi. Aslama berarti memeluk agama Islam, substansinya adalah ketundukan hati kepada kebenaran dan Yang Maha Benar (Allah al-Haq). Di dalam kata Islam terkandung inti keberagamaan yaitu ketundukan, penyerahan diri kepada Allah SWT, kedamaian dan keselamatan.

    Pilar (rukun) Islam dalam kalangan Rifa’iyah hanya ada satu mengikuti pendapat KH. Ahmad Rifa’i, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam berpendapat KH. Ahmad Rifa’i menggunakan rukun dengan makna istilah ushuliyyin dan fuqaha.

    Adapun ulama lain yang berpendapat bahwa rukun Islam ada lima menggunakan kata rukun dengan makna bahasa, yaitu bagian yang penting dari sesuatu, bukan rukun dengan makna istilah. Dan para ulama bersepakat bahwa orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dihukumi sebagai muslim.

    Inilah yang dimaksud rukun Islam satu versi KH. Ahmad Rifa’i. Sementara dalam kaitannya dengan lima perkara yaitu, syahadat, menegakkan shalat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan melaksanakan haji bagi yang mampu KH. Ahmad Rifa’i menggunakan istilah a’mal al-Islam (amal-amal Islam).

    Rukun Islam Satu

    Rukun Islam adalah iman, yaitu bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Muhammad sebagai Rasul Allah. Adapun shalat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu merupakan ibadah murni (ibadah mahdhah). Jika Islam diibaratkan sebagai bangunan, maka fondasinya adalah syahadat, sedangkan ibadah murninya adalah tiang. Tapi tiang-tiang ini bukanlah puncak dari bangunan Islam, karena puncaknya adalah akhlak, yang merupakan out-put dari ibadah.

    Salah satu sifat Allah adalah “as-Salam“, yang artinya kedamaian. Maka seorang muslim yang benar-benar menghayati keislamannya, akan merasakan kedamaian di hatinya dan kedamaian dalam hidupnya, karena dia merengguk kedamaian itu langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. Kedamaian (salam) itu pula yang ia tebarkan di muka bumi, kepada semua orang yang ia kenal maupun yang tidak ia kenal.

    Rukun Islam Satu – Syarat Wajib Menjadi Seorang Muslim atau Islam

    Orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat disebut muslim. Sebutan muslim atau orang Islam bisa jadi hanya bersifat “administatif“, dalam arti tercatat dan kemudian dikenal oleh masyarakat sebagai muslim atau orang Islam, padahal dia belum mengenal substansi atau hakikat Islam. Dalam surat al-Hujurat ayat 14 yang dikutip KH. Ahmad Rifa’i dalam nadzam Riayatal Himmahnya, diisyaratkan orang yang sudah masuk Islam belum tentu beriman.

    Islam mereka itu mungkin ikut-ikutan, keturunan, atau karena takut pada kekuatan Islam. Ayat 14 surat al-Hujurat turun dalam konteks orang-orang Arab Baduwi yang datang kepada Rasulullah SAW. Dan menyatakan beriman, tapi Allah memerintahkan kepada Rasulullah SAW untuk mengatakan kepada mereka: “Kalian belum beriman, cukuplah kalian mengatakan, ‘kami telah Islam (tunduk), karena iman belum masuk ke dalam hati kalian.” Indikator dari ketiadaan atau kelemahan iman adalah merasa enggan atau berat untuk berjuang (jihad) fi sabilillah, baik dengan harta, tenaga, apalagi dengan jiwa. Padahal kesiapan berjihad inilah indikator keimanan, sebagaimana dinyatakan dalam ayat selanjutnya al-Hujurat: 15.

    (14) قَالَتِ الْاَعْرَابُ اٰمَنَّا ۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ ۗوَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَالِكُمْ شَيْـًٔا ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

    (15) اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ

    Sebagian besar dari kita barangkali mengalami fase yang demikian ini. Karena kita lahir dari orang tua yang beragama Islam. Melalui proses pendidikan, baik di rumah maupun di sekolah dan di lembaga-lembaga non formal, juga melalui pengalaman hidup, seorang muslim “administratif” berkembang menjadi muslim “substantif“. Proses seperti ini seharusnya dijalani dan dialami oleh setiap muslim untuk mengalami peningkatan dari muslim menjadi mukmin.

  • Pengertian Iman Secara Bahasa dan Istilah (Aman dan Mengamankan)

    Pengertian Iman Secara Bahasa dan Istilah (Aman dan Mengamankan)

    Pengertian Iman Pemudatanbihun.Com Iman secara etimologis mempunyai banyak makna tapi saling berkaitan. Dari kata dasar amina-ya’manu sinonimnya ithma’anna artinya tenteram. Amana-ya’minu sinonimnya watsiqa bihi artinya percaya, dan amana-yu’minu artinya percaya dan membenarkan.

    Kemudian amuna-ya’munu artinya setia dapat dipercaya, antonimnya kana-yakunu artinya khianat. Keterkaitan dari tiga makna tersebut adalah bahwa adanya kepercayaan (iman) dan kejujuran (amanah), akan melahirkan ketentraman (thuma’ninah) di dalam hati, memberikan rasa aman kepada orang lain dan menciptakan saling percaya(trust/tsiqah) dalam kehidupan sosial.

    Secara terminologis iman berarti mempercayai dan membenarkan tanpa keraguan segala sesuatu yang dikabarkan oleh Allah SWT. Dalam kitab-Nya al-Qur’an dan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad SAW. Iman itu diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diwujudkan dalam amal perbuatan.

    Pengertian Iman

    Rukun Iman atau Tiangnya Iman

    Iman terdiri dari enam pilar (rukun). Yang pertama dan utama adalah iman kepada Allah Yang Maha Esa pencipta alam semesta. Kemudian diikuti dengan iman kepada para Malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para Rasul Allah, hari akhir kiamat sebagai akhir dari kehidupan dunia, dan yang terakhir iman kepada qadha dan qadar.

    Iman merupakan hal yang paling mendasar dalam agama. Karena iman atau kepercayaan itu menjadi dasar dari perilaku keberagamaan, maka iman itu harus benar. Itulah kebenaran sejati yang bersumber dari Allah Rabbul ‘izzati. Sehingga KH. Ahmad Rifa’i di bab ilmu ushul dalam kitab nadzom tarajumahnya sering menekankan pentingnya gulang-gulang/mengulang-ulang syahnya iman, yang di kalangan orang Rifa’iyah dikenal dengan istilah taslim, agar tidak seperti orang-orang Arab Badui yang sudah masuk Islam tapi belum beriman, atau orang munafik yang imannya masih berada dipinggiran atau dipermukaan yang slalu melihat arah angin.

    Orang beriman disebut mukmin. Seorang mukmin itu percaya kepada Allah dengan semua sifat-Nya yang agung. Terangkum dalam 99 Asma’ul Husna-Nya. Salah satu dari 99 sifat itu adalah al-Mu’min (Yang memberikan rasa aman). Maka seorang yang sungguh-sungguh beriman pasti merasa aman hidupnya karena yakin terhadap perlindungan Allah SWT. Dan pada gilirannya seorang mukmin juga akan memberikan rasa aman kepada siapa saja, masyarakat dan lingkungan di mana dia berada. Rasa aman yang dijamin oleh seorang mukmin kepada orang lain itu menyangkut keamanan hartanya, darah atau nyawanya, dan kehormatannya.

    Yang paling inti dari iman dalam agama Islam adalah tauhid, yang diungkapkan dalam kalimat la ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Diawali dengan kalimat penafian “Tidak ada apapun dan siapapun yang patut disembah dan dituhankan”, kemudian diikuti dengan kalimat penegasan “Kecuali Allah”. Kalimat tauhid yang hakiki jika tertancap di dalam hati akan menghasilkan energi dahsyat yang melahirkan revolusi di dalam diri orang yang meyakininya, dan pada gilirannya akan mengubah dunia.

    Rasulullah SAW. Menyebut kalimat tauhid itu sebagai kunci surga. Karena dengan kalimat yang merupakan pernyataan iman itulah amal kebaikan yang dilakukan manusia di dunia ini mempunyai nilai dihadapan Allah SWT. Sedangkan orang yang tidak beriman, amalnya bagaikan fatamorgana. Yang tampak ada padahal tiada.

  • Membenahi Sikap Kerifa’iyahan Kita

    Membenahi Sikap Kerifa’iyahan Kita

    Di kalangan Rifa’iyah, mempelajari dan menghafal nadzom kitab tarajumah karya KH. Ahmad Rifa’i telah menjadi tradisi yang mengakar kuat sehingga membentuk budaya dan peradaban Rifa’iyah yang tarajumah.

    Sedini mungkin orang tua kita mengenalkan Islam kepada anak-anaknya lewat wasilah kitab nadzom tersebut. Karena selain mudah dipelajari dan dihafalkan, juga memudahkan kita untuk memahami secara utuh ajaran Islam yang bersumber dari bahasa Arab yaitu: al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas. Dengan kemudahan tersebut diharapkan agar supaya kita dapat mengamalkan Islam yang rahmatan lil alamin ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Sang pembawa risalah agama Islam.

    Namun masalahnya, tidak banyak dari kalangan kita yang berusaha memahami dan menghayati karya-karya dari KH. Ahmad Rifa’i secara mendalam untuk menemukan bentuk dan proporsi dialog pribadi dengan kitab nadzom tarajumah beliau. Biasanya, mereka hanya sekadar mempelajari dan menghafal tanpa adanya iktikad untuk mencari dan menemukan nilai-nilai penting bahkan yang terpenting dari kandungan kitab nadzom tarajumah.

    Selain kurangnya penghayatan, mungkin juga disebabkan oleh tradisi i’timad ‘alim adil’ di kalangan Rifa’iyah yang berlebihan. Padahal efek yang ditimbulkan kurang begitu menguntungkan yakni, sikap pasrah menerima apa adanya tanpa ada kesadaran untuk mengupayakan memeriksa kebenaran fatwa atau wejangannya, sebelum mempercayai dan mengikuti. Disamping itu juga keterbatasan ulama di kalangan kita yang sibuk terutama dalam segi-segi hukum agama belaka. Kalau masuk usia mukalaf, belajarlah mengucapkan syahadat dengan benar dan beribadah yang sesuai dengan rukun dan syaratnya, tanpa pernah bagaimana merespon situasi masyarakat yang sedang dihadapinya. Misalnya, tatanan ekonomi atau kerusakan lingkungan dan ekosistem. Sementara mengusahakan cara bagaimana anak-anak muda cukup punya minat untuk mempelajari kitab nadzom tarajumah susahnya bukan main.

    Padahal derap zaman yang semakin gencar dan pesat itu menuntut kita untuk mencari bentuk formula dan aturan penerapannya guna merespon perubahan yang tak terelakkan. Dan itu adalah kewajiban kita, apabila jika Rifa’iyah tidak ingin punya kesan menjadi simbol ortodoksi organisasi penghambat laju perkembangan zaman.

    Introspeksi untuk kenyataan tersebut ialah bagaimana mengusahakan pembenahan sikap kerifa’iyahan kita agar komunitas ini tetap patuh dan setia terhadap nilai-nilai tarajumah. Untuk sampai wujud kesetiaan itu perlu dilakukan melalui inovasi kreatif atau semacam ijtihat dari semua kalangan Rifa’iyah untuk menemukan relevansi dan hikmah yang terkandung dalam kitab nadzom tarajumah dengan realitas yang dihadapinya. Agar supaya mengalami proses peningkatan dari Rifa’iyah administratif menuju Rifa’iyah yang substantif. Atau meminjam dari istilah agamanya, dari muslim menjadi mukmin. Tidaklah salah orang yang ibadah mahdhohnya sudah mepeki rukun lan syarat, tapi masih saja sering berbuat maksiat. Melainkan sifat kadar, mutu dan intensitas ibadahnya yang mesti kita tuding.

    Memang berat mempertahankan kepatuhan dan kesetiaan terhadap nilai-nilai tarajumah ditengah-tengah kesemrawutan di era milenial sekarang. Untuk itu maka dibutuhkan vitalitas dan totalitas serta kreatifitas dari kalangan Rifa’iyah agar tidak merasa asing dengan kitab nadzom tarajumah dan diri sendiri sebagai orang Rifa’iyah. Namun dengan dasar niat yang tulus dan kecintaan terhadap nilai-nilai warisan pemikiran dan perjuangan KH. Ahmad Rifa’i, maka insyaallah tidak mengenal keberatan semacam itu. Karena dengan wasilah kitab nadzom tarajumah yang sumbernya jelas dari ajaran Islam, kita dapat mencari dan berusaha menemukan jalan keberuntungan menuju ridho Tuhan.

    دالني بيجا ايكو رجوع اع فعيران # اتي ككيوعان اع الله كع فريع كنوكرهان
    سكوواساني عومفولكين فتاع فركراني # اسلام ايمان توحيد لن معرفتي (مصلحه)

  • Sebatas Kagum

    Sebatas Kagum

    Hampir semua orang Rifa’iyah pasti mengaku bangga dan kagum kepada sosok gurunya yaitu, KH. Ahmad Rifa’i. Tapi mungkin tidak terlalu banyak yang sungguh-sungguh mengikuti jejak pemikiran dan perjuangan beliau. Ini boleh jadi karena keengganan untuk menelusuri jejak perjuangan yang diwariskan beliau sebelum mengaku sebagai murid.

    Padahal jejak warisan perjuangan dan pemikiran beliau yang tertuang dalam bentuk kitab nadzom tarajumah itu memang banyak. Kira-kira jumlah karya beliau berkisar kurang lebih sekitar 69 judul kitab. Padahal ada satu judul kitab beliau itu sampai enam jilid lho. Sungguh membanggakan dan mengagumkan bukan?

    Di sinilah kelihatan sekali iktikad dan kemampuan orang Rifa’iyah yang minim untuk berusaha mengikuti atau menelusuri jejak keteladanan yang diwariskan KH. Ahmad Rifa’i. Betapa masih membentang jurang panjang antara nilai ketarajumahan dengan kondisi dan wajah Rifa’iyah saat ini. Semua itu mungkin disebabkan belum adanya kesadaran untuk mempelajari atau mencari nilai yang diwarisi. Hal itu tercermin betapa masih terbelakangnya organisasi ini, sehingga sulit beradaptasi terhadap perubahan dunia dari segala aspek kehidupan. Baik itu politik, ekonomi, seni dan sosial budaya.

    Seandainya, orang Rifa’iyah mau bersungguh-sungguh dan dibarengi niat yang tulus meneladani jejak perjuangan dan pemikiran KH. Ahmad Rifa’i yaitu, dengan cara mencari, mempelajari dan menghayati lebih lanjut warisan kitab nadzom tarajumah agak sedikit komplit. Bukan karena sebatas yang sesuai dengan kecenderungan yang bersangkutan, apalagi sekadar butuh identitas kebanggaan. Tentunya banyak persoalan hidup yang kompleks ini, khususnya permasalahan dalam tubuh organisasi Rifa’iyah sendiri dapat dengan mudah teratasi.

    لن امرها سير كلوان عمال علاكوني # سكيهي سببي بجيك ارف ددلني
    تن حاصل اعن-اعن بلاكا داعكوني # بالك واجب اخلاصي ات دتمني

    (رعايةالهمه جلد: ا كراسن: ا)

  • Tarajumah Bukan Ajaran

    Tarajumah Bukan Ajaran

    Akibat dari kurangnya kesungguhan kita atau malah kita memang benar-benar malas mendayagunakan anugerah Allah yang berupa akal itu dapat menyebabkan terjadinya pemahaman yang salah. Sehingga bisa menimbulkan kesalah-pahaman.

    Semisal, ajaran tarajumah KH. Ahmad Rifa’i. Pastinya kita sering mendengar kalimat pertanyaan seperti ini, “Tarajummah itu ajaran apa?” Atau kalimat pengukuhan ‘ajaran’ yang berlebihan dari kalangan Rifa’iyah itu sendiri “Sebagai warga Rifa’iyah, marilah kita teruskan perjuangan dan mengamalkan ajaran tarajumah dari guru besar kita KH. Ahmad Rifa’i. Kalau bukan kita, siapa lagi?”

    Melihat atau mendengar dua contoh kalimat tersebut rasa-rasanya tidak ada masalah bukan?

    Masalahnya, apakah benar KH. Ahmad Rifa’i pernah membuat ajaran tarajumah? Bukankah beliau meneruskan ajaran Islam yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW?

    Seperti pernyataan beliau yang sering kita jumpai dibagian muqodimah karya-karya beliau. Sesudah hamdalah dan sholawat, KH. Ahmad Rifa’i memperkenalkan kitab yang ditulisnya semisal Kitab Khusnul Mitholab:

    يعني انفون سوسي موجي اع الله # لن صلواة اتس نبي محمد كفرنه
    مك ايكي له كتا ب ترجمه و نا ره# علم شريعة اكما نبي محمد ككينه
    سكع حج احمد الر فا عي ابن محمد# مذهب شا فعي ا هل سني طر يقتي
    لن سن اراني حسن ا لمطا لب ا لعبا دة# اعدالم يتاءكن علم تلوع فركر كهمة

    Sebagaimana hal lain yang berlebihan, bisa melahirkan berbagai macam hal yang negatif. Misalnya, kesalah-pahaman sehingga bisa menimbulkan kebencian, sikap apriori dsb.
    Lantas, apakah tidak terlalu berlebihan kalau kita menyebut tarajumah itu sebuah ajaran?