Penulis: Ali Mutoha

  • Puasa: Upaya Penanaman Ibadah Sosial

    Puasa: Upaya Penanaman Ibadah Sosial

    Mengamalkan dan menjalankan puasa di bulan ramadhan, bagi umat islam merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Menahan diri untuk tidak makan, minum dan lain sebagainya yang dapat membatalkan puasa, adalah bentuk puasa yang sering kita lakukan. Pemaknaan yang lebih bersifat manajemen hati agaknya kurang kita perhatikan, apalagi untuk kita hayati, agaknya terlalu ngipi. He he

    Kita sering memaknai puasa hanya sekedar menahan untuk tidak konsumtif di jam yang ditentukan lalu melampiaskannya di waktu berbuka puasa. Hal ini terlihat ketika waktu berbuka puasa mendekat, kita mulai menata atau memburu hidangan yang akan dijadikan menu dalam pemenuhan hasrat kelaparan dan terkadang bahkan sering kita berlebihan dalam memuaskan nafsu makan. Yah, kelaparan itulah yang kita rasakan selama menjalani ibadah puasa, sehingga kita menyiapkan apa yang menjadi pemuas dahaga dan lapar untuk diri kita sendiri.

    Anehnya, kita sering melupakan sebuah  hikmah ibadah puasa yaitu terbentuknya kepekaan sosial kepada orang yang hidupnya sering dihantui kelaparan. Padahal dalam berpuasa, kita merasakan lapar dan dahaga yang sering menimpa orang yang berada dalam kubangan kemisikinan tersebut.

    Memang benar, puasa adalah ibadah yang bersifat mahdzoh untuk diri sendiri, dan bukan bersifat sosial seperti zakat, infak dan sedekah, namun ibadah puasa setidaknya berusaha menanam, merawat dan menyuburkan benih budaya untuk saling berbagi kebahagiaan antar umat muslim, terlebih kepada orang yang lebih membutuhkan akan hal tersebut.

    Oleh karena itu, sudah semestinya kita mencoba mencari dan menyelami hikmah puasa sebagai upaya pengabdian kepada yang Maha Kuasa, melalui perilaku yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Walaupun puasa bersifat individual, namun dapat kita jadikan sebagai landasan dalam beribadah sosial.

    Bagaimanapun juga, perkara yang mempunyai efek sosial, itu lebih baik dari pada perkara yang tidak berefek sama sekali. Seperti yang disinggung dalam sebuah kaedah yang berbunyi sebagai berikut,
    المتعدى افضل من الازم
    Artinya: perkara yang berefek itu lebih utama dari pada perkara berdiam.

    Untuk itu, jadikan puasa kita sebagai langkah awal untuk lebih memperbaiki ibadah sosial sebagai upaya melebih-utamakan nilai ibadah, yang berorentasi pada pencarian keridhaan Allah SWT.

  • Agama: Upaya Stabilitas Sosial

    Agama: Upaya Stabilitas Sosial

    Seorang tidak akan pernah bisa memenuhi kebutuhannya tanpa andil orang lain. Pasalnya mereka adalah makhluk sosial yang membetuhkan uluran tangan orang lain dalam mengarungi hidup ini.

    Kepentingan yang sama mendorong manusia untuk bekerja sama. Namun bagi kaum yang beragama, bukan hanya sekedar kepentingan yang menyatukan mereka, namun lebih dari itu, ikatan mereka terikat atas dasar ibadah.

    Masyarakat moderen, menilai hubungan sosial mereka dengan pembagian tugas atas dasar saling menguntungkan. Jika tidak terdapat unsur menguntungkan maka secepatnya mereka meninggalkan dan berpaling kepada yang menguntungkan. Akibatnya, kesenjangan sosial dalam masyarakat moderen semakin meruncing dan melebar. Maka muncullah kepermukaan istilah, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

    Baca Juga: Zikir Yang Terlupakan

    Kesadaran kolektif yang dimiliki oleh kaum beragama lebih luas dan mendalam, jika dibandingkan dengan kesadaran kaum moderen. Kaum beragama, dalam menjalankan interaksi sosial tidak terbatas pada hukum untung dan rugi saja, namun juga melihat moral yang berlaku dalam masyarakat. Semisal, terdapat orang yang miskin membutuhkan makanan seharga 10000 namun ia memiliki uang 5000, maka dengan senang hati bagi pedagang yang beragama untuk memberikan makanan tersebut. Hal ini, karena didasari oleh moral bermasyarakat yang sekaligus diperintahkan oleh agama untuk membantu orang yang lemah, bukan masalah untung dan rugi.

    Dan kasus ini, tidak ditemukan dalam pasar moderen, seperti indomart ataupun alfamart dan mart-mart lainya, karena moral kaum moderen menyempit lebih kearah individualistik bukan atas dasar moral sosial masyarakat.(diolah dari buku tujuh teori agama oleh Daniel L. Pals)

    Kesenjangan yang terjadi antara si kaya dan si miskin, agakanya disebabkan oleh pola pikir moderen yang mengedepankan kepuasan individual dan meninggalkan moral sosial. Jika kesenjangan ini terus melebar, memanjang dan menjauh, maka angka kriminalitas semakin meningkat. Pasalnya si miskin akan berbuat apapun untuk bertahan hidup tanpa memperdulikan benar dan salah.

    Untuk mengantisipasi kesenjangan tersebut, agama memberikan ajaran moral kolektif demi mengupayakan stabilitas sosial. Hal ini, terlihat dalam konsep takwa yang ditawarkan oleh agama. Ketakwaan sangat penting bagi kaum beragama, karena tingkat ketakwaan seseorang mempengaruhi kemuliaanya dihadapan Allah. Perilaku takwa bukan hanya menjalankan shalat saja, namu juga menyedekahkan hartanya untuk kaum yang lemah secara ekonomi.

    Oleh karena itu, sungguh ironis jika terjadi kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya dalam lingkungan masyarakat yang mengaku beragama.

  • Kiai Panggung; Sebuah Wacana Dakwah

    Kiai Panggung; Sebuah Wacana Dakwah

    Banyaknya kegiatan pengajian yang dilaksanakan di desa, tidak menjamin dan  menjanjikan akan terciptanya masyarakat yang lebih baik. Hal ini, bukan berarti kita harus meninggalkan kegiatan pengajian dan menggantinya dengan kegiatan yang lain, agar tepat sasaran. Sebab, kegiatan tersebut masih diminati bahkan menjadi tradisi bagi masyarakat sebagai wadah untuk mengsyiarkan agamanya. Adapun kurang efektifnya kegiatan tersebut dalam mempengaruhi masyarakat ke arah yang lebih baik, alangkah baiknya kita jadikan masalah tersebut sebagai bahan untuk diuraikan dan dievaluasi dalam rangka mencari solusinya.

    Pengajian, merupakan media dakwah secara lisan. Pada umumnya, kegiatan pengajian memfokuskan pada pendai atau tokoh yang berlabel kiai atau ustadz dalam memberikan ceramahnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi dan memotifasi masyarakat agar dapat menata kehidupan yang lebih baik.

    Pemfokusan pada kiai panggung, dapat dilihat dari tingkat antusias masyarakat dalam menghadiri dan mengikuti jalannya pengajian, yang dipengaruhi oleh siapa yang akan mengisi acara inti yaitu maidzoh hasanah. Usaha dakwah melalui kegiatan pengajian, memposisikan seorang pendakwah panggung menempati tempat yang paling strategis dalam mempengaruhi hal-hal positif terhadap masyarakat. Oleh karena itu, kiai panggung dalam kasus ini, menanggung beban tanggung jawab yang besar sekaligus menjadi kunci bagi terbukanya pintu hidayah bagi masyarakat.

    Dari sini, kita dapat melihat bagaimana potensi kiai panggung dalam kegiatan pengajian sebagai usaha mempengaruhi masyarakat. Kemungkinan kurang efektifnya sebuah pengajian disebabkan oleh kiai panggung yang kurang profesional. Jika memang benar, bahwa kiai panggung adalah salah satu faktor yang menghambat kesuksesan acara tersebut, lantas bagaiman seharusnya kiai podium dalam menyampaikan ceramahnya?.

    Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam kitab Fathu Rabbany menukil perkataan Hasan Basry yang menyinggung tentang bagaimana memberi petuah kepada manusia, seperti berikut,[1]

    عظ الناس بعملك و كلامك يا واعظا عظ الناس بصفاء سرك وتقوى قلبك ولا تعظهم بتحسين علانيتك مع قبح سريرتك

    Artinya: Nasihatilah manusia melalui perilaku dan perkataanmu. Wahai penceramah, nasihatilah manusia dengan kebersihan dan ketakwaan hatimu, dan jangan menasehati mereka dengan kebagusan yang engkau perlihatkan bersamaan keburukan di hatimu.

    Berpijak dari sini, seorang kiai panggung haruslah menasehati masyarakat melalui perkataan maupun perilaku dengan penuh ketakwaan hati. Idealnya kiai Panggung, sebelum menuturi dan menasehati masyarakat, ia sudah mengamalkan ilmunya dalam bentuk perilaku yang baik, kemudian menggunakan lisan untuk menasehati masyarakat. Perilaku dan perkataan yang lahir dari hati bersih penuh dengan ketakwaan, agaknya lebih diterima dan didengar oleh hati masyarakat, yang kemudian menjadi sebuah langkah awal untuk berbuat baik yang pada akhirnya kiai panggung pantas mendapat label rahmat bagi mukmin.

    Ajakan secara lisan yang bersumber dari prilaku, merupakan sebuah komitmen seseorang atau kiai panggung dalam memposisikan masyarakat sebagai bagian dari tubuhnya. Pasalnya, ia menginginkan masyarakat untuk ikut merasakan nikmatnya berprilaku baik seperti yang sudah ia lakukan sendiri. Ajakan seperti ini adalah bentuk cinta kiai panggung terhadap masyarakat yang sekaligus mengindikasikan keutamaan iman kiai panggung. Agaknya, hal inilah yang diisyaratkan oleh hadis yang yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang dinukil oleh Ibnu Hajar Al Haitamy dalam kitab Fathul Mubin, sebagai berikut;[2]

    افضل الايمان ان تحب للناس ما تحب لنفسه

    Artinya: Lebih baik-baiknya iman adalah engkau mencintai untuk manusia sesuatu yang engkau sendiri mencintainya untuk diri sendiri.

    Oleh karena itu, seorang kiai podium dalam menjalankan dawahnya melalui acara pengajian, harusnya didasari cinta terhadap masyarakat, bukan didasari honor atau imbalan yang diberikan yang diterima dari masyarakat, sebagai usaha agar tujuan dari acara pengajian dapat dicapai, yaitu terbukanya pintu hidayah bagi masyarakat.


    [1] Syaih Abdul Qadir Al Jailani, Fathu Rabbany. Hal, 95.

    [2] Ibnu Hajar Al Haitamy, Fathul Mubin. Hal. 306.

  • Radiasi Budaya

    Sebuah teori mengatakan bahwa kebudayaan yang dominan akan mempengaruhi kebudayaan lemah. Di zaman ini, kebudayaan yang kuat adalah kebudayaan barat yang meliputi berbagi bidang dari teknologi sampai pada ideologi. Maka tidaklah mengherankan jika kita sering melihat budaya barat di peragakan dan dijalankan di timur.

    Dalam kajian budaya, kategori budaya dibedakan dengan nilai tinggi dan rendah. Agama menempati kebudayaan yang tinggi, sedangkan teknologi dikategorikan sebagai kebudayaan yang bernilai rendah.

    Interaksi antar budaya memungkinkan radiasi suatu budaya kepada budaya lain.
    Sistem budaya yang masuk kesistem kebudayaan lain terjadi secara persial. Pada umumnya, teknologi sebagi hasil dari budaya barat mudah diterima oleh semua budaya, sebab bersifat praktis. Dan sekaligus menjadi pintu awal masuknya bentuk berbagai kebudayaan barat ke dunia timur.

    Budaya tinggi seperti agama barat sangat sulit menembus kebudayaan timur, sebab agama termasuk kebudayaan yang bersifat tinggi dan dalam. Seperti agama kristen yang berkembang di dunia barat, sangat sulit untuk diterima di kebudayaan timur yang beragama islam.

    Lantas kebudayaan tinggi seperti agama, apakah bisa digoyahkan oleh budaya barat sehingga tercerabut dan ditinggalkan pemeluknya?, mengingat semakin masifnya adopsi budaya teknologi dari barat.

    Smartphon, adalah salah satu teknologi serba guna yang pastinya lahir dari kebudayaan barat, dimana sebagian besar dari kita tidak sanggup hidup tanpa Hp. Ia mempunyai pengaruh yang tidak bisa diremehkan. Sebab mampu mempengaruhi dan merubah perilaku pengguna, dan tidak jarang menggeser paradigma yang terbilang urgen. Seperti mencari ilmu agama lewat guru geogle yang belum jelas kapasitas keilmuannya, sehingga melahirkan masalah sosial di masyarakat yang berkaitan dengan perilaku agama.

    Lewat teknologi media masa, baik elektronik  ataupun media cetak, orang timur menirukan gaya berpakaian orang barat, hidup hedonis, individualis dan pergaulan bebas adalah contoh bagaimana teknologi menjembatani budaya barat mempengaruhi lebih dalam kepada kebudayaan timur.

    Walaupun sangat sulit, bagi kebudayaan barat untuk merubah dan mengganti agama timur, namun tidak menutup kemungkinan bagi budaya barat untuk mengikis ajaran dan menggrogoti ke-agamis-an masyarakat timur. Dan berlahan-lahan agama kehabisan oksigen untuk tetap bernafas, hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Sehingga yang tersisa dari agama adalah bungkusnya saja.

    Islam adalah agama terbuka, yang mengakui setiap kemanusiaan mempunyai sumbangan dalam kebudayaan. Artinya selain kebudayaan yang lahir dari rahim islam berhak diadopsi, asalkan tidak keluar dari batasan islam. Karena islam juga mempunyai nilai orisinal dan otentik.

    Jadi, untuk membendung hegemoni budaya barat atas budaya timur -islam- adalah mengambil yang baik dan bermanfaat dan memberi sentuhan cita rasa islam pada budaya yang diadopsi.

    (Diolah dari Dinamika Umat Islam, Kuntowijoyo)

  • Refleksi Melupakan Identitas

    Refleksi Melupakan Identitas

    Hal yang lumrah seketika berkenalan dengan orang lain adalah melihat wajahnya. Secara etimologi, wajah berasal dari bahasa arab wajaha yang mempunyai arti sudut pandang, kata tersebut mengalami asimilasi kedalam bahasa indonesia dengan arti muka. Dari makna asal sebagai sudut pandang, ia selalu dinomer satukan dalam perawatan dari pada anggota tubuh yang lain sebab wajah sebagai tolak ukur atau sudut pandang seseorang untuk dikenal dan dinilai sebagai bentuk pengejawentahan identitas pribadi. Menurut fakta lampangan, bahwa seseorang menundukan atau menengadahkan wajah dipengaruhi untuk mempertahankan eksisitensi identitas pribadi guna menutupi atau memperlihatkan identitas. Semisal orang yang malu, menundukkan wajahnya berbeda bagi orang yang percaya diri.

    Secara tabiah, manusia mendahulukan perkara yang dianggap paling penting yang menjadi keniscayaan. Identitas yang disimbolkan dan diwakili oleh wajah menjadi daya tarik tersendiri bagi wajah untuk diperhatikan dan dirawat secara maksimal. Bercermin adalah salah satu cara untuk mengetahui keadaan wajah, semakin banyak seseorang bercermin  maka ia semakin mengetahui mukanya sehingga ia tahu apa yang harus dikerjakan untuk mendandaninya.

    Pada umumnya, orang mencurahkan perhatiannya untuk merawat dan memperindah wajah luar secara konferhensip, mereka tidak akan melewatkan sedikit pun tiap bagian wajah. Terbukti banyak salon bermunculan untuk mempercantik penampilan lahiriyah atau semakin laris-manisnya produk kosmetik, yang menjadi bukti tentang hal di atas. Setelah terlihat cantik, ambil kamera dan berfoto layaknya model yang terkadang menyalai nilai-nilai positif, selanjutnya di unggah kemedia sosial dengan berharap banyak yang suka atau sekedar pamer.

    Sangat ironi, jika dibandingkan dengan perawatan wajah batin, padahal wajah batin dapat mempengaruhi karakter dalam menyikapi kehidupan dan menjadi obyek penelian oleh yang Maha Melihat dan yang pantas untuk diharap penilaiannya, sedangkan wajah dhahir menjadi makanan cacing tanah seketika wajah  batin meninggalkannya.

    Wajah bukan hanya dimiliki oleh individu, Negara pun mempunyai wajah karena ia terbentuk dari individu-individu. Memperbaiki wajah berupa infrastruktur-infrastruktur fisik yang meliputi kenyamanan, keindahan dan keasrian Negara sangat diutamakan, seperti pembangunan tempat wisata, pembangunan taman kota, pembangunan jalan, pembangunan gedung-gedung pemerintah, sekolah-sekolah dan lain sebagainya yang di harapkan dapat menjadi faktor pendukung pembangunan manusia yang berkualitas. Namun acap kali disalah-gunakan sebagian oknum untuk pelampiasan nafsu keserakahan, contoh tempat wisata, semakin hari semakin indah dan nyaman sehingga dibuat tempat ajang pelampiasan perihal negatif.

    Dan pembangunan lainya, entah itu berupa gedung pemerintah, sekolah atau jalan tidak luput dari kepentingan sebagaian orang sebagai pelampiasan keserakahan. Tujuan yang baik tidak menjadi jaminan akan terciptanaya hal yang baik selama tidak dibarengi dengan proporsional terhadap objek yang dituju yang sekaligus menjadi sabjek(masyarakat), dengan memberi sesuatu yang paling dibutuhkan untuk menjadikan manusia berkualitas melalui penanaman dan pemupukan nilai-nilai positif yang berimplikasi pada Negara yang berkualitas. Wajah yang satu ini sangatlah mudah dideteksi dan mudah dinilai sebab berbentuk bangunan fisik.

    Sarana untuk mengetahui wajah dari sebuah bangsa, salah satunya dapat menggunakan media sosial. misalnya media televisi yang acapkali menyesuaikan keinginan masyarakat untuk mengejar riting dengan tujuan mendapatkan keuntungan besar tanpa menghiraukan akibat yang akan timbul, hal ini mengisyaratkan keinginan -rupa wajah- masyarakat secara umum dapat dilihat dari tayangan televisi. Hampir setiap rumah di dalamnya tersimpan tv. Tayangan televisi berdurasi 24 jam perhari, di dalamnya hapir dibanjiri acara-acara hiburan atau intertaimen yang tidak mewakili nilai-nilai ketimuran, diantaranya adalah sinetron dengan genre cinta yang di dalamnya terdapat pengajaran bagaimana dan cara-cara berpacaran yang meliputi merayu, mencari perhatian, romantis, bahkan  mengajari orang tua untuk membiarkan anak-anaknya berpacaran. Disadari ataupun tidak, berpacaran mempunyai efek samping yang tidak kalah mematikan yang menyebabkan kematian moral, lebih-lebih moral pemuda yang diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam perubahahan menuju lebih baik, malahan mereka menjadi beban untuk perubahan itu sendiri.

     Racun-racun penyebab kematian moral pemuda bukan hanya pacaran, seperti minuman beralkohol tinggi, narkoba, sabu, dan pendidikan yang keliru, juga menyumbang racun.  Masih tentang penayangan televisi, telivisi juga menayangkan berita-berita yang meliputi dalam negeri dan luar negeri-terlepas dari kefalitan berita-hampir semua yang ditayangkan berupa berita-berita berhawa panas yang terlahir dari kebencian seperti perang, kriminal dan politik negatif. Berita yang adem-ayem agaknya tidak laku untuk dijajakan di hadapan wajah panas cinta kebencian.

    Gosip juga mendapat jam tayang di televisi, namanya saja gosip pasti acaranya mengosap-gosip sana-sini dan terkadang disisipi pameran harta kekayaan, kemewahan gaya hidup yang berlebihan dan fetion kemenoran mencerminkan hidup praktis dan hedonis, acara tersebut sengaja ataupun tidak mempengaruhi gaya hidup masyarakat, akibatnya gaya hidup orang mewah dipaksa masuk dalam kenyataan kemiskinan sehingga melahirkan fenomena baru yang berkutat pada saingan tidak sehat, iri, drengki, benci dan pemaksaan kenyataan.

    Sekarang banyak ditemuai orang yang bergaya mewah dalam menjalani hidup, jalan-jalan memakai mobil, rumah magrong-magrong, berpakaian yang serba harga mahal sehingga dikatakan sebagai orang kaya, namun pangkat sebagai orang kaya tidak bertahan lama, akibat jatuh tempo tanggungan pembayaran hutang bank beserta bunganya  yang disusul penyegelan dan penarikan harta secara paksa oleh bank.

    Hal ini dapat terjadi karena kita melupakan kapasitas atau jati diri serta mencurahkan perhatian pada penilaian orang lain terhadap diri kita. Sehingga kita, memantaskan walaupun tidak pantas, meguatkan walapun lemah, bahkan sampai memaksan diri di luar kemampuan kita, dan akibatnya kita-lah yang merugi karena mencari nilai baik di hadapan manusia.

  • Medsos, Media Ampuh Propaganda

    Medsos, Media Ampuh Propaganda

    Perkembangan teknologi melahirkan dunia baru, yang sering disebut dunia maya yang penghuninya disebut warganet. Pergaulan dalam bentuk interaksi dan komunikasi pun lebih mudah, tanpa harus bertatap muka dan tidak memakan waktu yang panjang, yang terwadahi dalam medsos. Salah satu alat untuk mengakses, menggunkan dan memanfaatkan dunia maya adalah hape yang tersambung dengan internet. Jaringan internet yang sudah menyebar seantero dunia, memberikan fasilitas bagi pengguna untuk mengeksplor dunia lebih lanjut, meliputi informasi dan komunikasi.

    Dunia maya mempunyai ruang sosial layaknya dunia nyata, seperti Facebook, Wa, Ig dan lain sebagainya yang memungkinkan pengguna dapat berjagong, berbincang dan berbagi informasi secara bersama-sama ataupun secara pribadi dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Kemudahan berkomunikasi yang ditawarkan oleh medsos, membuat orang semakin terasing dengan dunia sosial yang nyata. Atau malahan mengasingkan diri dalam kehidupan nyata. Hal ini, nampak dalam tempat tongkrongan banyak orang namun sepi, sebab mereka sibuk dengan hape-nya sendiri-sendiri.

    Interaksi dalam dunia maya, mengabaikan identitas sekaligus menampakkan identitas bagi pelakunya. Pengaburan identitas terjadi mengenai latar belakang hidup pengguna, sebab pengguna tidak diketahuai persis riwayat hidup pengguna lain karena tidak saling mengenal, sehingga hujatan, pisuhan dan kritikan mudah sekali keluar dari pengguna terhadap pengguna lain. Penegasan identitas dalam medsos ditandai oleh unggahan atau komentar yang dishernya, sehingga arah kedepan tentang pikiran dan prilakunya dapat diidentifikasi atau dimanfaatkan demi kepentingan sepihak.

    Semisal, yang dishernya berbau penghujatan, persetujuan terhadap gagasan dan lain sebagainya, menentukan gambar identitas mereka. Sehingga sangatlah mudah bagi orang yang berkepentingan untuk menaburkan, menyebarkan dan merawat propaganda dalam lahan medsos yang warganetnya sudah terkotak-kotak keberbagai identitas demi kepentingan kelompoknya. Maka tidaklah mengherankan jika isu atau propaganda mudah sekali menyebar dan memperkeruh sudut pandang bagi warganet yang kebanyakan masih awam.

    Dan tidak jarang, warganet menebarkan virus yang di-impornya dari dunia maya kedalam dunia nyata, melalui perilaku yang mendiskriminasikan kepada pihak yang tidak sepaham dengan tafsirannya. Bermula dari perbedaan yang mereka sher dari medsos ke medsos dan berbagai hujatannya, berbuntut pada permasalahan sosial-masyarakat yang bersifat nyata, seperti adanya sentimen antar pendukung yang menghilangkan keharmonisan masyarakat. Pada akhirnya perpecahan dalam keluarga, tetangga dan masyarakat tidak dapat dihindari, sebab kurang bijak dalam menyikapi dan mengambil tindakan dalam dunia maya.

  • Belajar Iblis: Upaya Muhasabah Diri

    Belajar Iblis: Upaya Muhasabah Diri

    Nama iblis sering kita dengar, entah itu dari ceramah kiai sampai pada umpatan teman. Jika Kiai yang menggunakan kata iblis dalam ceramahnya, maka sering dikaitkan dengan mungsuh nyata bagi manusia serta terdapat anjuran untuk tidak mengikuti Iblis. Berbeda jika kata itu keluar dari umpatan lidah, maka yang terjadi adalah bentuk mengibliskan manusia. lantas siapa, atas dasar apa, bagaimana siasat dan tujuan Iblis yang dimaksut Kiai sehingga kita dituntut menjauhinya. Pertanyaan itulah yang hendak  didiskusikan dalam tulisan kali ini, sebagai upaya Muhasabah diri.

    Iblis merupakan makhluk yang paling mulia sebelum bapak adam diciptakan bahkan lebih mulia dari pada malaikat sekalipu, dan sekaligus ia makhluk yang pertama kali berani menatang perintah Allah SWT.  secara terang-terangan untuk bersujud kepada Adam. Ia sombong merasa lebih mulia, karena ia dibuat dari api sedangkan adam dari tanah. Sedari itu, iblis dilengserkan derajatnya oleh Allah SWT, dari serangkaian pangkat yang pernah menghisasi lengan dan dada iblis, dipreteli dan digantikan dengan pangkat lain, yakni laknatullah alaih.

    Mengenai iblis, ada baiknya untuk menyinggung mengapa iblis berbuat dosa pada Allah SWT dengan meyombongkan dirinya dibandingkan makhluk baru itu. Zaman dahalu sebelum manusia menghuni bumi ini, Allah SWT telah menurunkan terlebih dahulu makhluk yang diberi nama jin untuk mendiamai bumi. Alih-alih merawat bumi, malahan mereka membuat kerusakan di bumi melalui perang dan pengaliran darah antar bangsa jin itu sendiri. Bayaknya peperangan yang semakin memperburuk kondisi bumi, Allah SWT. memerintahkan Iblis dan Malaikat untuk memerangi bangsa jin yang sering membuatn ribut di bumi. Walhasil, pasukan iblis beserta malaikat dapat memenangkan pertempuran di bumi, sehingga bangsa jin berlarian kelaut dan puncak gunung-gunung.

    Karena bangsa jin terbuat dan tercipta dari lidah api, maka Iblis yang tercipta dari racun api merasa dirinya-lah yang berkontribusi besar dalam memenagkan perang melawan bangsa jin. Pastinya Allah SWT mengetahui perasaan “berjasa” iblis dalam peperangan. Dalam benak iblis “nak ora insung sinten maleh?”.

    Selanjutnya Allah SWT merencanakan tentang penciptaan makhluk yang kelak dijadikan sebagai pemangku atau khalifah bumi yang terbuat dari tanah yakni manusia pertama sekaligus bergelar bapak manusia, Adam. lebih dari itu, Ia dinobatkan  sebagai pemangku buwono. Adam As diangkat derajatnya melampaui derajat iblis dan malaikat melalui anugrah Allah SWT berupa penguasaan Adam terhadap ilmu. Sehingga iblis dan malaikat diberi mandat oleh Allah SWT untuk bersujud kepada adam.[1]

    Iblis menolak untuk bersujud kepada Adam As, sekalipun diperintah langsung oleh Allah SWT. Kemudian terjadilah dialog antara Allah SWT dengan Iblis, wahai iblis sebab apa engakau tidak bersama-sama sujud terhadap Adam, Allah bertanya pada Iblis. sungguh saya tidak pantas bersujud kepada manusia yang Engkau ciptakan dari tanah, karena aku adalah makhluk inti yang termulia dan tertinggi, jawab Iblis. Keluarlah engkau dari golongan malaikat yang mulia, sungguh engkau terusir dan jauh dari rahmat sampai hari kiamat, sahut Allah SWT. Kemudian Iblis mengajukan permintaan kepada Allah SWT, wahai Tuhanku, berikanlah tangguhan kepadaku sampai hari di mana Adam dan keturunannya dibangkitkan di hari pembalasan. Dengan maksut agar ia terhindar dari kematian. Lantas Allah menjawab permintaan Iblis, sungguh engkau ditangguhkan sampai hari di mana trompet pertama dibunyikan yaitu hari yang semua makhluk mati di dalamnya. Lalu Iblis bersumpah, Wahai Tuhanku, karena engkau telah memutuskan sesat terhadapku, sungguh akan aku indahkan maksiat bagi manusia di bumi, dan sungguh akan aku sesatkan mereka semua kecuali sebagian dari hamba-hamba-MU yang ikhlas. Ikhlas adalah jalan yang menuju kemuliaan dan pahala-KU yang tidak terdapat bengkok di dalamnya, jawab Allah SWT. Sungguh hamba-KU, baik yang ikhlas ataupun yang tidak ikhlas, tiada kekuasan bagimu atas mereka, kecuali orang yang mengikutimu yaitu orang yang sesat, susulan jawaban Allah SWT untuk menyangkal prasangka Iblis yang menyakini bahwa Iblis mempunyi kuasa atas penyesatan manusia.[2]

    Dalam dialog di atas, iblis berjanji menyesatkan manusia dengan menghiasi, mempercantik dan memperindah maksiat di muka bumi bagi manusia, agar mereka tersesat sehingga mengikuti jalan iblis. Begitu pula Janji Iblis yang terekam dalam surah shaad ayat 82, artinya sebagai berikut, “Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau, Aku akan menyesatkan mereka semuanya”. Hal ini.dilakukan Iblis karena kehasutan iblis terhadap manusia.

    Untuk merayu manusia, iblis akan mendatangi manusia dari berberbagai arah dari samping kanan dan kiri, serta arah depan dan belakang seraya menawarkan janji palsu yang akan melalaikan manusia dari kebenaran, dan memperindah perbuatan maksiat bagi manusia, seperti meyakini pendapat pribadi atau kelompok sebagai kebenaran tunggal. Hal ini, dimaksudkan iblis agar manusia tersesat dari jalan Allah SWT dan tidak bersyukur atas nikmat Allah SWT.[3]

    Tujuan diciptakannya manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah SWT untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Tidak mudah bagi manusia untuk mencapai hal tersebut, karena Iblis selalu siap-siaga untuk membujuk dan merayu manusia agar menyimpang dari jalan yang lurus sehingga manusia tidak dapat menggapai kebahagian dunia dan akhirat. Kepentingan manusia adalah menyembah dan beribadah kepada Allah SWT, sedangkan kepentingan iblis adalah mengajak manusia untuk membangkang kepada Allah SWT, maka pantaslah bagi manusia untuk mengambil jalan memugsuhi iblis dengan tidak mengikuti jalan Iblis. Hal ini, di singgung oleh Allah dalam al Quran yang artinya:

    Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS: al Baqarah;168)

    Orang yang terperdaya dan terbujuk atas rayuan iblis adalah mereka yang mengikuti tapak tilas iblis, yang menjadikan iblis berkuasa menyesatkan atas manusia kearah kehinaan. Sesuai janji Iblis kepada Allah SWT untuk menyesatkan semua manusia keculia hambah Allah SWT yang ikhlas. oleh karena itu,orang yang ikhlas tidak akan terperdaya apalagi tergoda oleh rayuan iblis, sebab iblis tidak punya kekuasaan atas mereka.

    Ikhlas merupakan salah satu jurus ampuh bagi manusia untuk dapat terhindar dari kesesatan iblis, sebab ihklas merupakan rahasia Allah SWT. yang dititipkan kepada hamba-NYA yang dicintai. Oleh Ulama, ikhlas didefinisikan sebagai bentuk kehendak meng-Esakan Allah SWT dalam melakukan ibadah, yaitu menghendaki perbuatan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT semata. Terdapat tiga tingkatan dalam ikhlas, pertama tingkatan tinggi, yaitu melaksanakan perintah serta memelihara kewajiban taat kepada Allah SWT hanya karena untuk Allah SWT semata. Kedua tingkatan tengah, yaitu melakukan dan melaksanakan ibadah karena mengharap pahala di akhirat. sedangkan ketiga adalah tingkatan rendah, yaitu menjalankan ibadah untuk kemuliaan dan keselamatan di dunia. Adapun sebab-sebab yang menghantarkan manusia untuk mencapai keikhlasan adalah dengan mengetahui pentingnya posisi ikhlas yang menentukan kemanfaatan amal bagi manusia di dunia dan akhirat. Dengan menghayati dan mengamalkan ikhlas dalam setiap pelaksanaan ibadah yang dilakuakan manusia, iblis tidak akan mempunyi kekuasan atas manusia untuk menyesatkannya, karena manusia telah memasuki wilayah perintah Allah SWT sehingga  Allah SWT lah yang menjadi pelindung baginya.[4]

    Hemat penulis, alasan sifat ikhlas dapat menangkal rayuan, bujukan dan bisikan iblis, karena sifat ikhlas menafikan sifat ujub atau merasa paling benar dan sombong yang dimiliki iblis, dan sekaligus menjadi sebab turun pangkat yang di derita iblis dan pada akhirnya digelari laknatullah alaih. Karena tidak mempunyai sifat ujub apalagi sombong, penghayat sifat ikhlas tidak mempunyai kepentingan kecuali melaksanakan perintah Allah SWT sehingga mereka tidak mengenal iblis serta berbagai godaannya, sebab tidak sesuai dengan kepentingannya.

    Adapun maksut hikayat tentang iblis adalah untuk mencegah manusia dari sifat iri hati dan sombong. Sebab, lankah awal mengikuti iblis tidak lain adalah dengan menumbuh-suburkan perasan sifat iri hati dan sombong. Pasalnya, kaum musyrik makkah memungsuhui, mengintinidasi dan mengintervensi Nabi dan para Sahabat, dikarenakan mereka memiliki sifat tersebut. Sifat sombong berakar dari sifat ujub dan berbuah penolakan terhadap kebenaran, tanpa didasari  alasan dan bukti yang logis serta empiris. Oleh karena itu Allah SWT menginginkan bagi manusia untuk selalu belajar dan mencari kebenaran-kebenaran, agar terhindar dari sifat di atas.

    Manusia dari asal kejadiaannya adalah mengetahui dan taat kepada Allah SWT , bukan bodoh dan takabur, maka seharusnya manusia berfikir sebagi proses memperoleh pengetahuan dan bermaksut melakukan ibadah, sebelum menentukan pilihan dalam bertindak, agar tidak salah dan juga berniali ibadah di mata Allah SWT. sifat dan perilaku bodoh, sombong serta melanggar hukum Allah SWT, agaknya menodai sifat asli manusia.[5]

    iblis dengan terang-terangan akan menyesatkan semua manusia dari jalan kebenaran, dengan melalui cara apapun akan mereka tempuh demi terlaksana hasrat tersebut. Namun oleh Allah SWT. dibatasi, hanya manusia yang mengikuti jejak iblislah yang dapat disesatkan olehnya.

    Menapaki jejak iblis adalah dengan mewarisi sifat iblis yang berupa ujub, sombong dan iri hati atau drengki. Seseorang  yang menanam, merawat dan memetik buah dari sifat tersebut adalah penjilmaan iblis berbentuk manusia. Termasuk penyebar dan penanam politik identitas, yang lagi ngetren, menjangkiti dan meracuni rakyat agar tumbuh dan bersemi sentimen antar identitas yang berujung pada perpecahan rakyat demi memetik hasil untuk kepentingan pragmatis mereka, adalah wujud Iblis Politik.


    [1] Diolah dari tafsir Ibnu Katsir Surah al Baqarah Ayat 35.

    [2] Diolah dari tafsir al Munir Surah al Hijr Ayat 28-42

    [3] Diolah dari “Iblis Dan Upayanya Dalam Menyesatkan Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an” Anisah Setyaningrum.

    [4] Syaikh Muhamad Bin Salim Bin Said Ba Basil, Isadur-Rafiq,daruihyailkutub. Hal 4, juz, 2.

    [5] Dioalah dari tafsir Mafatihul Ghaib, QS: Asshod: 82.

  • Ihsan Terhadap Kedua Orang Tua

    Ihsan Terhadap Kedua Orang Tua

    IPenghormatan terhadap kedua orang tua, dalam Islam diperintahkan bahkan menjadi salah satu kewajiban anak terhadap kedua orang tuanya. Hal ini diisyaratkan dalam QS. An-Nisa; 36

    وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوالِدَيْنِ إِحْساناً

    Artinya.

                Sembahlah Allah SWT. dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa.

    dalam rentetan atau urutannya, ayat ini jatuh setelah  kalimat perintah untuk menyembah Allah SWT. dan larangan menyekutukan-NYA Sebagai penegasan tauhid.

    Tauhid adalah tidak menghambakan diri melainkan hanya kepada Allah  SWT. semata atau mengakui dan bersaksi bahwa Allah SWT adalah Maha Esa. Pentauhidan tersebut, menjadi pokok atau orbit ajaran agama yang sekaligus terpenting diantara syariat lain. Sebab melafaldzkan tauhid sebagai syarat untuk masuk islam. Pastinya, selain persaksiaan atas Nabi Muhammad SAW. sebagai utusan Allah SWT.

    Peletakan ayat yang jatuh setelah perintah menyembah Allah SWT. dan larangan menyekutukan-NYA, mengindikasikan sangatlah besar perkara tersebut. Sehingga sangat ditekankan bagi manusia untuk menjalankan isi kandungan ayat di atas. Sebab, begitu besar hak mereka untuk mendapat penghormatan dan sekaligus menjadi kewajiban bagi anak-anaknya.[1]

    Di sisi lain, kalimat ihsan yang dinakirahkan mempunyai maksut tertentu yaitu kesempurnaan[2]. Jadi ihsan yang diberikan anak terhadap kedua orang tuanya haruslah berupa ihsan yang kamal atau sempurna.

    Seperti halnya tauhid, berbuat baik kepada orang tua juga menjadi syariat yang masih dipertahankan dari kitab taurot sampai Al quran. Bahkan terdapat sebuah pendapat yang mengatakan bahwa terdapat tiga ayat yang diturunkan bersamaan dengan tiga ayat lainnya, yang Allah SWT tidak akan menerima salah satunya kecuali bersamaan. Pertama ayat perintah shalat yang bersamaan dengan perintah mengeluarkan zakat, kedua perintah mematuhi Allah SWT yang bersamaan dengan perintah mematuhi utusan-NYA dan yang ketiga perintah bersyukur tehadap Allah SWT yang bersamaan dengan perintah bersyukur terhadap kedua orang tua.[3]  

    Pasalnya, kedua orang tua sangat berjasa kepada anaknya. Diberikannya asuhan dan didikan yang diwujudkan melalui memberi dan memenuhi kebutuhan anaknya sebagai manifestasi kasih sayang yang terbungkus rapi dengan cinta tanpa pamrih.

    Penghargaan lebih diberikan Islam terhadap sang ibu dengan mewajibkan anak untuk mendahulukan ibu dari pada bapak dalam penghormatan seperti yang tertulis dalam kitab hadist, bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasullalah dengan tiga pertanyaan yang sama dan berurutan “siapakah orang yang palig berhak mendapatkan kebaikan” dan Rasullah menjawab dengan  jawaban yang sama yaitu “ibumu” .[4] Pastinya hal ini bukan tanpa alasan, sebab ibu adalah orang yang paling rekoso atau paling berjasa untuk anak. Rekoso sang ibu dimulai dari mengandung, melahirkan sampai menyusui. Di dalam melahirkan, sang ibu susah-payah yang tak terbayangkan bahkan nyawa pun dipertaruhkan untuk keselamatan kehidupan anaknya. Hal ini, digambarkan oleh QS Luqman;14,

    وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

    Artinya:

    Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

    Ayat di atas menggambarkan begitu beratnya beban yang ditanggung oleh seorang ibu seketika mengandung.

    Berlaku ihsan kepada kedua orang tua dapat dilakukan dengan  berlaku baik, berkata yang menyenangkan, rendah diri, sayang,  menaruh belas kasihan, berdoa yang baik untuk mereka. Dan hal yang serupa di atas meliputi perilaku yang dijadikan tugas oleh Allah SWT. untuk hamba-hamba-NYA.[5]

    Salah satu dari aksi penghormatan adalah sujud. Lalu bagaimana islam memandang sujud sebagai bentuk penghormatan terhadap kedua orang tua?. Agaknya, hal ini pernah disinggung oleh syaih Muhammad Salim bin Said Ba-basil dalam kitab yang diberi judul Is’adur-Rofiq. Beliau menukil pendapat yang berada di dalam kitab Al Muhtar yang mengatakan “ sujud kepada orang tua dalam rangka menghormati tidak menjadi penyebab kafir, sebab syariat datang dengan membawa nilai-nilai penghormatan terhadap orang tua bahkan syariat terdahulu terdapat syariat bersujud kepada orang tua yang tertulis dalam QS. Yusuf; 100,

    وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا

    Artinya

    Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.

    dengan menyandarkan atau berdasarkan makna yang dhohir yakni sujud, hal ini yang di ikuti oleh mayoritas ulama. Sedangkan yang lainnya mengarahkan pada makna merkungkung. Bagaimanapun juga, hal di atas dapat menghalangi penghukuman kafir atas orang yang sujud terhadap kedua orang tua”.[6]


    [1] Assyawkani. Fathul Kodiir. Maktabah Syamilah;Hal 535 juz 1.

    [2] Fahrudin Ar-Razi. Tafsir Kabir. Maktabah Syamilah;Hal 31 juz 25.

    [3] Abu Lais As-Samarqondhi.Tanbih Al-Gofilin. Maktabah Syamilah;hal 124-125 juz 1

    [4] Abu Lais As-Samarqondhi.Tanbih Al-Gofilin. Maktabah Syamilah;hal 124 juz 1

    [5] Tafsir atthobari hal 292 juz 2. Maktabah syamilah

    [6] Syaikh Muhammad bin Salim bin Said Ba-basil. Is’adu-Rofiq wa Bugyatul-Sidik. Darul ihyai al kutubi al arabiyati. Hal 59 juz 1

  • Menilik Makna Kanaah

    Menilik Makna Kanaah

    Kanaah yang diterjemahkan sebagai sifat menerima apa yang sudah ada, serta merasa tenang terhadap apa yang ia miliki tanpa di dibarengi usaha untuk lebih baik, mendorong penghayat untuk menyesuaikan dan menyerah atas keadaan yang menjadi kenyataan dalam hidupnya, sehingga kanaah dijalani sebagai tindakan tanpa usaha. Pada akhirnya, penghayat kanaah tidak mampu keluar dari tindasan kesengsaraan oleh penguasa.

    Hemat penulis, hal ini dipengaruhi dua aspek, pertama  kanaah dipahami sebagai alat untuk pemelintiran tafsir atas keadaan, agar kepedihan yang dideritanya menjilma sebagai kebahagiaan. Sehingga ia menggiring penghayat untuk menjadi pragmatif yang memanfaatkan sesuatu meskipun hanya sedikit dan sukar ditemukan. Kedua manusia mempunyai tabiat mencari tenang dan ketenagan, apabila mereka sudah menemuka dan menikmati ketenagan walaupun imajinatif, dapat dipastikan merasa cukup, sehingga meninggalkan potensi untuk merubah keadaan atau nasib.

    Di lain sisi, pandangan tersebut menumbuhkan tangga angan-angan yang membumbung tinggi sampai kealam akhirat, seperti kenikmatan abadi berupa surga yang penuh dengan kebahagiaan, bidadari bermata indah dan makanan lezat siap sedia untuk dihidang. Sehingga mereka melupakan dunia tempat mereka hidup. Sikap apatis dan acuh tak acuh  terhadap dunia membuat nasib mereka selalu ditindas dan terzalimi, padahal agama diturunkan untuk menata kehidupan di dunia serta menentang tindakan zalim antar makhluk.

    Lebih lanjut lagi, pemahaman ini lebih condong  pada sifat oportunis yang selalu memanfatkan keadaan untuk diperkosa agar sesuai dengan kebahagian yang dicarinya, misalnya keadaan yang tertindas dan miskin dicarinya kenikmatan yang dipaksakan untuk dinikmati supaya mencapai puncak tujuan hidup yaitu bahagia. Singkatnya mereka dapat bahagia kapanpun dan dimanapun berada walaupun terzalimi.

    Sifat seperti ini sangat menguntungkan bagi kaum yang berada di atas sebagai penikmat dari kerja kolektif seluruh kaum, sebab mereka duduk manis dalam kursi sofa berlapiskan sutra dan menguasai diberbagai bidang, semisal ekonomi, sosial dan politik, bahkan kebanyakan menindas dan menghisap darah dari kaum yang berda di dibawahnya untuk di ambil manfaatnya tanpa memberikan hak dibawahnya, kalaupun ditemukan, itu pun masih minimal hanya sebagai penyambung kehidupan, karena selama mereka masih hidup selama itulah masa aktif sebagai mesim penghasil kekayaan masih dapat dimanfaatkan.

    Pemaknaan kanaah yang seperti ini, membuat penghayat tidak sadar tentang kezaliman yang menimpa pada dirinya. Bahkan mereka ikut serta dalam melestarikan kezaliman atas warga bumi. Hal ini, berarti demi kebahagian mereka mengorbankan ridha Allah SWT berupa ikut serta dalam melestarikan kezaliman.

    Padahal dalam kitab Riayah Akhir, KH Ahmad Rifai mendefinisikan kanaah, sebagi berikut:

     “konaah tegese makno tarajumah, iku anteng atene makno istilahiyah, iku anteng milih ridhane Allah SWT”

    Artinya kurang lebih seperti ini, kanaah secara bahasa adalah hati yang tenang sedangkan secara istilah adalah tenang dengan memilih ridhanya Allah SWT.  Sehingga perlu kiranya untuk mencoba memikirkan tentang nasib yang dirasakan dan berusaha merubah imajinasi kebahagiaan dengan menciptakan kebahagiaan yang nyata dengan membongkar kedzaliman demi meraih ridha Allah SWT.

  • SHALAT FORMALITAS

    SHALAT FORMALITAS

    Ibarat makanan pokok, ia menjadi kebutuhan sehari-hari manusia dan harus dipenuhi untuk menjaga keberlangsungan hidup. Seperti itulah perkara wajib dari agama, ia dibebankan terhadap manusia, tidak terlepas dari tujuan agama yaitu untuk kebahagiaan dunia dan akhirat yang menjadi kebutuhan manusia sendiri.

    Shalat adalah salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh sekalian mukalaf untuk mengingat Tuhan, minimal lima kali dalam satu hari dan dikerjakan di sela-sela kesibukan menyambung hidup untuk mengingat Tuhan. Itu pun, kalau benar-benar khusyuk, sehingga maksut shalat tercapai, yakni mengingat Tuhan dan pada puncaknya shalat dapat mencegah perbuatan buruk lagi merusak. Shalat yang dilakukan hanya sebagai formalitas ritual agama belaka, oleh mayoritas ulama masih dihukumi sah, yang berarti terlepas dari kewajiban. Asalkan memenuhi syarat dan rukun yang mengelilingi shalat.

    Shalat yang dianggap dan dilakukan hanya sebagai ritual formal belaka serta membuang jauh esensinya berupa khusyuk, membuat perilaku seseorang yang melakukan sholat masih jauh dari cahaya Tuhan. Yakni tidak jauh beda dengan seorang yang samasekali tidak pernah shalat yang pada umumnya berprilaku keji dan mungkar.

    Hal tersebut, menjadi salah satu alasan yang menimbulkan citra shalat melemah oleh orang yang menjadi korban kekerasan dari orang yang mengerjakan sholat secara kontinyu, namun sebatas formalitas saja. Sehingga timbul opini, shalat tidak berpengaruh apapun dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Pada akhirnya, nilai tawar sholat menjadi rendah di mata khalayak umum, karena prilaku orang yang mengerjakan shalat tidak sesuai dengan semangat ruh shalat itu sendiri. Hal ini berpotensi pemogokan shalat oleh sebagaian orang yang tercatat islam di sebagian kolom kartu tanda penduduk (KTP). Perlu diperhatikan, bukan hanya kedangkalan iman seseorang saja yang menjadi faktor pemogokan shalat, akan tetapi shalat kitalah yang ikut bertpartisipasi akan keengganan sholat mereka.

    Allah mewajibkan atas hambanya shalat, bukan karena ada manfaat yang diperoleh Allah, seperti tambah kuat ketika disembah dan melemah ketika tidak disembah karena Allah Maha Kaya, berdiri sendiri dan tidak membutuhkan siapapun, namun sebaliknya kitalah yang membutuhkanNYA.

    Perkara yang dihukumi wajib oleh Allah adalah bentuk rahmat untuk manusia itu sendiri, ia sebagai petunjuk akan pentingnya hal tersebut dalam kehidupan. Sekaligus memberikan motifasi berupa janji surga dan berbagai kenikmatan di dalamnya untuk orang yang melaksanakan kewajiban, serta ancaman siksa neraka bagi orang yang meninggalkan kewajiban tersebut. Janji dan ancaman bertujuan agar manusia memenuhi kebutuhan mereka sendiri sehingga mereka memperoleh manfaat dalam hidupnya. Perkara wajib adalah pengejawentahan rahmat berbentuk motifasi atau dorongan dari Allah untuk hambanya supaya memperoleh manfaatan-manfaatan bagi dirinya sehingga selamat dunia dan akhirat.

    Bagi orang yang sadar akan manfaat yang akan diperoleh, mereka menjalankan kewajiban tanpa ada motifasi surga dan ancaman api neraka. Mereka meyakini, kewajiban bukan sebagai pembebanan yang berimplikasi pemaksaan, akantetapi dilihat sebagi kebutuhan yang harus dikerjakan guna keselamatan dirinya untuk bertemu Tuhannya.