Penulis: Ahmadul Hadi

  • Pengertian Takwa Menurut Bahasa dan Istilah serta Dalilnya

    Pengertian Takwa Menurut Bahasa dan Istilah serta Dalilnya

    Pengertian Takwa Pemudatanbihun.Com Kecenderunagan anak muda biasanya berbeda dengan kencenderungan yang dimiliki orang yang tua, begitu juga anak kecil yang usia belum sampai remaja. Itu bisa terjadi sebab bakat bawaan sejak lahir, tingkat pendidikan dan pengalaman hidup yang berbeda. Bukan hanya antara anak muda dan orang tua, antar pemuda pun ada, bahkan tidak jarang ditemukan dari mereka yang memiliki arah pemikiran dan kesenangan yang berbeda.

    Misal anak muda yang pernah atau masa sekolah; mahasiswa dibandingkan dengan anak pesantren, atau anak pekerja disbanding dengan anak yang belum punya pekerjaan (pengangguran), mereka masing-masing memiliki pola hidup yang berbeda, dan pastinya, mereka memiliki pola pemikiran yang berbeda juga, akan tetapi mereka punya satu tujuan yang sama yakni bahagia dunia maupun akhiratnya. (analisis penulis)

    Syarat Takwa

    Latar belakang yang berbeda tidak boleh dijadikan alasan untuk menghalangi penghambaan seorang muslim terhadap Tuhannya, karena selagi ia mempunyai akal dan dikatakan balig, maka ia wajib menjalankan perintah-printah (kewajiban) Allah dan menjahui larangan-larangan-Nya. Dengan kata lain bertakwa.

    Bertakwa tidak diabatasi usia, dan tidak memandang laki-laki maupun wanita, bertakwa tidak terkhusus untuk orang tua dan manula, bahkan anak muda yang lebih pendek berpikir dan terburu-buru dalam bertindak ia harus mengetahui dan mau menjalankan apa itu takwa. Wallahua’lam.

    Pengertian Takwa

    Pengertian Takwa Menurut Bahasa dan Istilah

    Takwa secara bahasa (kamus) berarti mengambil (ittikhad), menjaga (wiqoyah), dan mencegah (hajiz), dalam artian taqwa mampu mencegah dan menjaga diri dari apa yang ditakuti dan juga dari hal yang perlu diwaspadai. Sedangkan taqwa kepada Allah Swt. adalah cara seorang hamba menjadikan perkara yang ia takuti (siksa Allah) sebagai penjagaan yang bisa menjaga dirinya dari siksa tersebut. Dengan demikian terjadilah perealisasian yang namanya “Melakukan segala perintah Allah dan menjahui segala larangan Allah Swt”.

    Takwa Jalan keberuntungan

    Dianta pesan Nabi Muhammad saw. kepada umatnya yang sangat beliau tekankan ialah takwa, sebab takwa adalah penarik setiap kebaikan dan menjaga dari setiap keburukan. Dengan menjalankan takwa seorang mukmin berhak mendapat kesuksesan dan keberuntungan dari Allah Swt, diantara keberuntungan yang diberikan Allah yaitu:

    1. Kekuatan dan pertolongan dari Allah

    إنّ الله مَعَ الّذِينَ اتقَوا وَالّذِينَ هُمْ مُحْسِنونَ

    “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An Nahl: 128)

    2. Rizki yang baik dan keluar dari kesusahan

    وَمَنْ يتَّق الله يجْعل لَه مَخرجًا * ويرْزقُه منْ حَيْث لا يحتَسِبْ

    “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath Thalaq: 2-3)

    3. Penjagaan dari tipu daya musuh

    وإنْ تصْبِروا وَتتّقوا لاَ يَضرُّكمْ كَيدُهمْ شَيئًا

    “Dan jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.” (Ali Imran: 120)

    4. Rahmat dari Allah

    ورَحمَتي وَسِعَتْ كلَّ شيئٍ فسَأكْتبُها لِلّذِينَ يتَّقُونَ

    “Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa” (Al A’raaf: 156) Dan masih banyak lagi dalam Alquran disebutkan keberuntungan- keberuntungan bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam bertakwa.

    Pengertian Takwa dan dalilnya- Hakikat Takwa

    Takwa adalah kata yang ideal, yakni mencakup semua takrif yang sesuai (takwa) dan mengeluarkan takrif yang tidak sesuai (takwa). Karena kata takwa itu meliputi apa yang datang dari agama Islam, mencakup akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak, hal itu sebagaimana firman Allah Swt,

    لَيسَ البرَّ أنْ تُولُّوا وجُوهَكمْ قِبل المشْرقِ والمغْرِبِ ولكِنّ البرَّ مَن آمَن باللهِ واليومِ الآخرِ والملائِكةِ والكِتابِ والنَّبيينَ وآتَى المالَ عَلى حُبّهِ ذَوِي القُربَى واليَتامَى والمَسَاكينَ وابنَ السَّبيلِ والسَّائلينَ وفيْ الرِّقابِ وأقامَ الصّلاةَ وآتى الزّكاةَ والموْفُونَ بِعَهْدِهمْ إذا عَاهدُوا والصَّابِرينَ في البأسَاءِ والضّرَاءِ وحِينَ البأْسِ أوْلئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وأوْلئكَ هُمُ المتَّقُونَ
    .

    “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (orang yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menempati janji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah: 177)

    Pengertian takwa diatas bukanlah sekedar kata untuk diucapkan apalagi menjadi dakwa sebagai pengakuan diri tanpa bukti (amal). Akan tetapi takwa tersebut adalah bentuk realisasi (amal perbuatan) taat kepada Allah secara sungguh-sungguh dan berani meninggalkan maksiat terhadap Allah Swt.

    Sehingga ulama salaf saleh (orang-orang terpilih terdahulu) mengatakan bahwa takwa ialah Berlaku taat tidak durhaka, ingat tidak lupa dan bersyukur tidak kufur kepada Allah, dan juga mereka mampu melakukan takwa tersebut dalam keadaan sepi maupun ditempat terbuka. Karena hal tersebut merupakan pemenuhan perintah Allah dan menjawab seruan-Nya yang termaktub dalam firman-Nya,

    يَاأيّهَا الّذينَ آمَنوا اتَّقوا اللهَ حقَّ تُقاتِه وَلا تَموتنَّ إلاّ وأنتمْ مُسلِمونَ

    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102) (Mustafa al- Bugha, Muhyiddin Mustawi, Al- Wafi fi Syarhi Al- Arba’in An- Nawawi, Dar Ibnu Katsir, Bairut, 2009, hlm. 125)

    Akan tetapi keharusan bertakwa dengan sebenar-benar takwa dalam ayat diatas telah disalin (naskh) dengan keberadaan ayat lain, yaitu,

    فَاتّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعتمْ

    “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (At Taghaabun: 16) Hal ini berdasarkan pengaduan sahabat kepada Nabi Muhammad saw. mengenai perintah bertakwa dengan sebenar-benar takwa, mereka mengatakan: “Wahai Rasulallah, siapa yang akan kuat dengan takwa ini (perintah kesungguhan bertakwa),_ berdasarkan pengaduan sahabat atas beratnya perintah itu_ kemudian terjadilah penyalinan (peringanan) hukum keharusan bertakwa dangan sebenar-benar takwa menjadi bertakwa menurut kesanggupan mereka. (Jalal as- Suyuti, Tafsir Jalalin, Dar Al- Gadi Al- Jadid, hlm. 63)

    Pengertian Takwa – Kesempurnaan Takwa

    Salah satu dari kesempurnaan takwa ialah menjauh dari perkara (benda, ucapan maupun tindakan) yang masih berstatus syubhat (tidak jelas halal dan haramnya) dan dari hal-hal (halal) yang tercampur dengan perkara haram. Dan ini sesuai hadis kauli yang disabdakan Nabi Muhammad saw. yang berbunyi,

    فمَنِ اتّقَى الشُّبُهاتِ فَقَدِ اسْتَبرأَ لِدِينهِ وَعِرْضِهِ

    “Maka siapa yang menjaga (takut) dari perkara syubhat maka dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

    Masih dalam konteks pada hadis Nabi saw. di atas, termasuk kategori kesempurnaan takwa ialah Upaya seseorang membersihkan dirinya dari memperbanyak melakukan hal yang mubah yang nantinya dikhawatirkan dapat menjatuhkan dirinya ke dalam hal-hal yang berstatus haram. Sesuai sabda Nabi saw.,

    لا يَبلغُ العبْدُ أنْ يَكونَ منَ المتّقِينَ حتَّى يدعُ مَا لاَ بأسَ بهِ حذرًا ممّا بهِ بَأْس

    “Tidak kan sampai seorang hamba sampai derajat orang-orang bertakwa, sehingga ia mampu meninggalkan hal syubhat karena takut dari melakukan hal dosa.” (H.R. Tirmizi dan Ibnu Majjah).

    Begitu juga Imam Hasal Al Basri r.a mengatakan bahwa, “Takwa akan seantiasa disandang orang-orang yag bertakwa (muttaqin) selama mereka mampu meninggalkan hal halal (mubah) demi khawatiran jatuh dalam keharaman”.

    Pengertian Takwa – Syarat Tercapai Takwa

    Seorang muslim tidak akan bisa mengartikan dan mendapat faedah takwa kecuali dengan pengetahuan (ilmu) agama yang utuh. Fungsi ilmu bagi muslim ialah Agar ia tahu bagaimana cara bertakwa kepada Allah Swt sebagai Tuhannya. Sesui firman Allah Swt,

    إنّما يَخْشَى اللهَ مِن عِبادِهِ العُلمَاءُ

    “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (Faatir: 28)

    Dan sebagai alat menuju surge, serta menjadi tanda kemauan berbuat baik bagi seseorang. Fungsi ilmu tersebut tersurat berdasarkan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. di bawah ini,

    فَضلُ العالمِ عَلى العابدِ كفَضْلي عَلى أدْناكمْ

    “Keutamaan orang alim (beramal) atas ahli ibadah itu seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian.” (H.R. Tirmizi)

    مَن سَلكَ طَريقًا يَلْتَمسْ فِيهِ عِلْمًا سَهّلَ اللهُ لَهُ طَريقًا إلَى الجَنّةِ

    “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya”. (H.R. Muslim)

    مَنْ يُردِ اللهُ بهِ خَيرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

    “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan, maka Allah akan mengajarkannya ilmu Agama”. (H.R. Bukhari dan Muslim) (Mustafa al- Bugha, Muhyiddin Mustawi, Ibid, hlm. 125) Wallahua’lam.

  • Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i

    Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i

    Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i Pemudatanbihun.Com Kebiasaan melek ndalu bisa dibilang menjadi keharusan bagi anak-anak muda yang paginya tidak mempunyai kerjaan, sebab pagi adalah waktu alternatif untuk tidur akibat begadang semalam. Tapi jangan salah sangka, karena melek ndalu mereka tidaklah dibuat foya-foya apalagi ngomongin tetangga. Itulah kebiasaan yang dibilang setengah faedah bagi anak muda umumnya dan komunitas “Pemuda Tanbihun” khususnya, komunitas kaum muda di Dukuh Bomo Kampung Rifa’iyah Demak Jateng.

    Mengenai malam hari, pastinya kita bisa berangan-angan dan berpikir lebih panjang, apalagi pada malam Ramadan, malam  dimana kitab suci Alquran diturunkan. Dan lagi, di dalam Alquran tersebut ada ayat yang sering diutarakan ustadz-ustadz dalam ceramahnya, tepatnya mengenai kewajibkan bagi muslim berpuasa di bulan itu, yang termaktub pada ayat 183 surat Al Baqarah,

    يَاآيّهَا الّذينَ آمنوا كُتِبَ عَليكُم الصِّيامُ كمَا كُتِبَ عَلَى الّذِينَ مِنْ قَبلِكُمْ  لَعلّكُمْ تَتقُونَ

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Al Baqarah: 183)

    Jika kita sedikit mau berangan-angan tentang makna ayat diatas, pasti akan timbul dari otak kita rasa penasaran, khususnya pada kalimat “orang-orang sebelum kamu”, sehingga dari kalimat tersebut kita teringat dan mampu berpikir ulang  tentang sejarah orang sebelum kita. Lebih tepatnya kita sebagai orang Rifaiyah, pasti penasaran tentang sepak terjang guru kita Syaikh Ahmad Rifa’i abad 19 kala itu.

    Dengan demikian, untuk mengobati rasa penasaran kita, cobalah kiat sedikit menelisik sejarang singkat Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i dan metode dakwah guru kita  Syaikh Ahmad Rifa’i rahimahullah yang hingga sekarang masih kita ugemi.

    Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i

    Sejarah Singkat Kiai Ahmad Rifa’i

    Salah satu ulama Indonesia abad ke 19 yang konsisten meneruskan warisan Rasulallah ialah Syaikh Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum bin Abu Sujak kelahiran Tempuran, Kendal yang menetap di Kalisalak Batang. Ia mengembangkan dakwah  lisan, bil hal, dan dengan karya tulis. Di dalam dakwahnya  Ahmad Rifa’i mengajak seluruh umat Islam untuk kembali kepada Alquran dan Sunah Rasul.[1]

    Syaikh Ahmad Rifa’i adalah penyusun puluhan kitab berbahasa Jawa yang berisikan ajaran-ajaran keislaman untuk konteks sosial, politik, dan ekonomi waktu itu, dan pendiri gerakan keagamaan Rifa’iyah yang kini tersebar di beberapa kota di Jawa Tengah dengan anggota sekitar tujuh jutaan. Syaikh Ahmad Rifa’i bisa disebut mendahului Muhammadiyah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan maupun Nahdlatul Ulama (NU) yang dirintis K.H. Hasyim Asy’ari dalam penyebaran dan peneguhan ajaran Islam tradisional Ahlussunnah wal Jamaah.[2]

    Syaikh Ahmad Rifa’i seorang ulama intelektual lulusan Makah dan Mesir yang mempunyai reputasi tinggi, seorang cendikiawan besar abad ke 19, pembaru dan pemurni yang berjiwa patriotik, seorang ulama ahli fiqih, penyair, pemikir, pengarang paling produktif, mubalig handal, juru dakwah ulung, ahli sufi berorientasi fiqih, pendidik murid dan pengikutnya.

    Pemikirannya tidak hanya terbatas ditujukan kepada rakyat yang masih terbelenggu oleh tahayul, khufarat, dan kehidupan mistis, melainkan juga kepada cara hidup feudal, kolonialisme dan ulama tradisional. Acuannya pada doktrin tauhid yang murni, fiqih dan tasawuf rasional telah menimbulkan pada dirinya sikap yang sangat lugas dan kritis terhadap kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Tulisan-tulisannya, selain berisi subtansi, yaitu ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf, juga merupakan pandangan-pandangan yang polemis.[3]

    Sebagai pembaru dan pemurni Islam, Syaikh Ahmad Rifa’i merasa tidak puas terhadap kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Ia menanamkan kesadaran umat bahwa praktek kehidupan agamanya sudah jauh menyimpang dari tatanan syariah. Ia menawarkan pembaharuan dan pemurnian Islam kembali pada Alquran dan Sunah Rasul, patuh kepada orang-orang yang punya predikat Alim dan Adil. Serta menjahui perbuatan maksiat yang dipimpin oleh orang-orang fasik dan zalim.

    Ditanamkan pula pada jiwa masyarakat rasa anti pati terhadap pemerintah kafir dan orang-orang yang berkolaborasi dengan kolonial Belanda. Jika pemikiran tersebut terlaksana, di negara ini kelak akan menjadi suatu negara yang kerto raharjo, tidak ada berandal, maling, perampok selama-lamanya, karena mengikuti pentunjuk Rasulallah.[4]

    Akan tetapi pembaharuan dan pemurnian Islam yang ditawarkan itu ternyata mendapat reaksi keras dari para pejabat pemerintah kolonial, penghulu dan ulama tradisional. Reaksi itu tidak hanya berbentuk ucapan, melainkan juga tindakan penangkapan. Ia hadapi dengan sabar, tabah penuh tawakal.[5] Lebih memilih hidup terhormat (medeka) atau mati syahid, seperti ia sebutkan dalam karanganya Syarihul Iman sebagai berikut,

    وأمَارَاةُ الواصِلِ إلىَ حَقِيقَةِ الإيمَانِ أنْ يَختَارَ مَا فِيهِ سَلامةُ الدِّينِ وَلَوْ تَلَف مالِه أو وَلدِه أو نفْسِه أوجَاهِه.

    “Dan tanda orang yang sampai pada hakikat iman ialah hendaknya dalam segala hal memilih selamatnya agama, meskipun mengandung resiko hilang hartanya, kedudukannya, anaknya atau terancam dirinya”.

    Sebagai pewaris Nabi, tentunya tidak terlepas dari cobaan-cobaan seperti yang dialami oleh Nabi Muhammad ketika menyampaikan risalah Agama di tengah masyarakat Jahiliyah Makah. Yang berbeda hanya kadar besar kecilnya cobaan yang diterima sesuai dengan ukuran keimanan yang ada pada diri masing-masing.[6]

    Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i – Kondisi Masyarakat Kala Itu         

    Baginda Rasululllah dalam menyebarkan ajaran Islam di Jazirah Arabia melalui dakwah lisan, perbuatan, dan tulisan.[7] Kaifiah atau metode yang digunakan oleh Rasulullah dalam berdakwah memakai cara yang cukup bijaksana (bil hikmah), supaya masyarakat disana dapat menerima Islam dengan penuh keyakinan, memahami, menghayati, dan mengamalkannya secara utuh dan sempurna, sehinga mereka menjadi manusia yang beruntung dunia dan akhirat. Metode ini dikembangkan oleh Rasululah berdasarkan Alquran dan Sunah miliknya.

    Bila kita telaah kembali sejarah pada permulaan abad ke 19, di Indonesia telah terjadi Perang Paderi yang terjadi pada tahun 1821 sampai tahun 1830. Belanda dengan menghalalkan semua cara telah berhasil keluar sebgai pemenang. Sejak itu makin bertambah kokohlah kuku kolonialisme menghujam ke dalam bumi Nusantara ini. Dimana-mana kaum pribumi mengalami rasa rendah diri yang dramatis, dan makin percaya, bahwa bangsa Belanda merupakan bangsa yang superior. Di segala segi kehidupan bangsa Indonesia telah diperkosa. Apalagi mulai diterapkannya system tanam paksa. Kepala desa dan Bupati sudah tidak menjadi pelindung dan pengayom rakyat, tetapi sudah menjadi aparatur tuan tanah.

    Pada saat itu makin banyak kaum pribumi mencari keselamatan hidup dengan menjilat penguasa kafir. Pokok-pokok aqidah dan syariah amaliah, sejak semula rapuh karena Islam masuk ke Indonesia melalui sentuhan-sentuhan kultural (budaya) dan tasawuf mistis. Dan sejak berabad-abad pokok itu tidak ditegakan secara maksimal, makin kelihatan bertambah rapuh pula.

    Maka tidak heran bila saat itu paham sinkretisme dan pecampuradukan antara syariah dan adat istiadat terjadi hampir di setiap saat dan tempat. Sementara kaum abangan dan kebiasaan sebelum Islam memperoleh momen perkembangan dan kemajuan yang amat subur dan pesat. [8]

    Dalam Syarikhul Iman, Syaikh Ahmad Rifa’i menjelaskan kehidupan masyarakat waktu itu sebagai kehidupan yang penuh lumpur kamaksiatan dan kemungkaran. Perjudian, pemabukan, perkosaan, pelacuran, perampokan, pembunuhan dan sabung ayam sudah menjadi kebiasaan. Pada mulanya wayang dan gamelang diciptakan oleh walisongo sebagai media dakwah Islam, tetapi perkembangan selanjutnya menjadi ajang kemaksiatan. Isi ceritanya banyak yang mengandung paham animism, dinamisme, dan budaya yang merusak.

    Dalam acara kenduri, dan hajatan, norma-norma agama dan sopan santun sudah tidak diindahkan lagi. Sementara laki-laki dan perempuan bukan muhrim dengan aurat terbuka kumpul dalam satu majlis tanpa tabir pemisah. Tempat-tempat makanan-minuman terbuat dari emas dan perak. Horden sutera murni menghiasi tangan para tamu yang hadir. Semua itu menyerupai gaya hidup kaum orientalis dan kapitalis yang dilarang oleh agama, karena gaya hidup seperti itu amat menyinggung perasaan kaum fakir miskin.[9]

    Fenomena seperti di atas telah membangkitkan kesadaran Ahmad Rifa’i untuk segera mengadakn pembaharuan dan pemurnian di segala aspek kehidupan beragama dengan kembali kepada pangkalan semula yaitu Islam dengan kitab pentunjuk Alquran dan Sunah Rasul. Dalam pembaharuan dan pemurnian itu, ia menitik beratkan kepada maslah teologi (aqidah Islamiah), ibadah dan muamalah (fiqih) serta pelaksanaan syariat dengan hakikat (tasawuf) diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.[10]

    Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i – Metode Dakwah Syaikh Ahmad Rifa’i

    Untuk memperoleh hasil maksimal dalam menawarkan ide pembaharuan dan pemurnian, Syaikh Ahmad Rifa’i menerapkan enam metode dakwah sebagai berikut:

    1. Menerjemahkan Alquran, hadis dan kitab-kitab bahasa Arab karangan ulama dahulu ke dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon berbentuk nazam atu syair empat baris dan dengan gaya tulisan merah hitam. Gaya ini disesuaikan dengan budaya tulis menulis bangsa Indonesia sejak zaman Sultan Agung Kerajaan Mataram pada Abad XVI.
    2. Mengadakan kunjungan silaturahmi atau anjangsana dari rumah ke rumah famili dan masyarakat lingkungan untuk menjalin kerja yang harmonis, dan menyusun kekuatan untuk membentuk gerakan yang bersifat sosial keagamaan.
    3. Menyelenggarakan pengajian umum dan dakwah keliling ke daerah yang penduduknya miskin materi dan agama guna membendung arus budaya asing (westernisasi), dan sekaligus mencari dukungan masyarakat yang merasa tertindas.
    4. Menyelengarakan diskusi dan dialog terbuka di masjid, surau, pondok pesantren dan tempat-tempat lainnya untuk mempercepat proses pembaharuan dan pemurniannya.
    5. Mengadakan gerakan protes sosial keagamaan terhadap ulama resmi, penghulu dan semua pihak Belanda. Cara ini digunakan olehnya untuk mencari simapti dan dukungan dari masyarakat yang tertindas.
    6. Dan untuk mempererat hubungan antar guru dan murid diterapkan pula metode pendekatan melalui tali pernikahan antar anak guru dengan murid terpilih, antar murid dengan murid, antar anak murid kemudian antar kampung.[11]

    Dengan enam Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i ini, diharapkan dakwah pembaharuan dan pemurniannya akan memperoleh hasil yag maksimal. Dari enam metode dakwah ini juga bisa diketahui, bahwa sasaran pemikirannya tidak hanya tertuju kepada masyarakat yang masih terbelenggu oleh tahayul, khurafat, dan kehidupan mistis, melainkan juga kepada cara hidup feudal dan kolonialisme.

    Di dalam keterangan lain, Syaikh Ahmad Rifa’i juga menggunakan metode yang menarik. Barang kali metode yang diterapkan dalam dakwahnya ini belum pernah dilakukan oleh para ulama Jawa sebelumnya. Metode dakwah ini dimaksudkan untuk membentengi diri dan gerakannya dari reaksi pihak Belanda, jika dikemudian hari gerakan dakwahnya itu diketahui oleh pihak reaksioner. Cara yang dimaksud ialah sebagai berikut:

    1. Menghimpun anak-anak muda untuk dipersiapkan menjadi kader-kader dakwah yang tangguh, guna menyusun kekuatan dan penyebar dakwah islam. K.H. Abdul Qahhar dan Kiai Maufuro merupakan bukti pengkaderan.
    2. Menghimpun kaum dewasa lelaki dan perempuan dari kaum petani, pedagang, pegawai pemerintahan dan kaum buruh, dimaksudkan untuk memperkokoh langkah dakwahnya. Mereka diharapkan sebagai penyokong ulama dalam segi finansial juga sekaligus sebagai pelaksana dakwah yang diinginkanya.
    3. Menghimpun kader-kader dakwah yang datang dari berbagai daerah kemudian dijdikan juru dakwah (mubalig) untuk diterjunkan kembali ke desa atau ke daerah masing-masing guna memberi penjelasan tentang Islam kepada masyarakat mereka.
    4. Menciptakan kesenian terbang (rebana) disertai lagu, syair-syair yang diambil dari ktab-kitab Tarajumah karangannya, sehingga terbangan itu disebut “Jawan”. Terbangan ini dimaksudkan untuk mengingat pelajaran, hiburan ketika hajatan dan sekaligus mengantisipasi budaya asing yang merusak karena Belanda dengan segaja ingin mengganti budaya Jawa yang diwariskan oleh nenek moyang yang mukmin-muslim itu dengan budaya modern model barat yang merusak.
    5. Pada hari-hari tertentu mengadakan kegiatan “khuruj” berkunjung ke tempat pemukiman penduduk yang terletak di pedalaman, juga ke kota-kota kecamatan untuk memperbaharui arah kiblat, salat Jumat, salat jamaah dan mengulang kembali pernikahan yang dilakukan oleh penghulu yang diangkat oleh pihak Belanda.[12]

    Dengan menggunakan metode-metode tersebut, gerakan Ahmad Rifa’i diharapkan sanggup bertahan dan berkembangan ke berbagai daerah. Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, bahwa satu-satu gerakan yang mampu bertahan hingga sekarang, hanyalah gerakan Ahmad Rifa’i di Kalisalak Batang.[13]

    Pada umumnya gerakan seperti itu tidak mampu bertahan lama, meskipun tokoh pendirinya masih hidup di tengah-tengah mereka. Kemudian pada tahun 1859 Syaikh Ahmad Rifa’i diasingkan ke Ambon Maluku dan kemudian diasingkan lagi ke kampung Jawa, setelah itu pihak Belanda berusaha memusnahkan caranya dengan cara merampas kitab-kitab yang diajarkan dan membuat gambaran tidak baik terhadap gerakan Syaikh Ahmad Rifa’i dengan pengikutnya, tetapi semua usaha pihak Belanda itu tidak berhasil melemahkan gerakan tersebut. Malah bertambah kokoh dan tersebar ke berbagai daerah di Jawa.[14]  Wallahu’alam.

    [1] Ahmad Syadzirin Amin, “Mengenal Ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i, Mazhab  Syafi’I dan I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah”, Jamaah Masjid Baiturrahman, Jakarta, 1987, hal.

    [2] Pengantar Redaksi Buku “Perlawanan Kiai Desa” oleh Dr. Abdul Djamil. hlm. v.

    [3] Prof. M. Dawam Raharja, “Purifikasi dan Dinamisasi Ajaran Islam”, Pelita, Jakarta, 20 November 1990, hal 4.

    [4] Ahmad Rifa’i, “Syarikul Iman”, manuskrip. 1255 H.

    [5] Ahmad Syadzirin Amin, “Gerakan K.H. Ahmad Rifa’i Dalam Menentang Kolonial Belanda”, Jakarta, Rajab 1416, hal 26.

    [6]  Ahmad Rifa’i, Ibid, hal 16.

    [7] Surat- surat Nabi yang ditujukan kepada:

    1. Raja Najasyi (Sirah Ibnu Katsir, juz: 2, hlm. 42 – 43)
    2. Raja Kisra (Tarikhul Islam, As- Suyuti, Juz: 1, hlm. 125)
    3. Raja Heraclius Romawi Tmur (Hayatu Sayidil Arab, 11/84)
    4. Raja Muqauqis, Gubernur Romawi Timur di Mesir (Tarikh Islam, Suyuti, Juz: 1, hlm. 123) dan surat-surat lainnya.

    [8] Nugroho Notosusanto, “Sejarah Nasional Indonesia”, jilid 2, Balai Pustaka Depdikbud, Jakarta, 1975, hal 173. Lihat juga, K.H. Khairuddin Hasbullah, “Tauhid Dalam Pandangan K.H. Ahmad Rifa’i” Yogyakarta, 1990, hlm. 2.

    [9]  Syaikh Ahmad Rifa’i, “Tabyibal Islah”, hlm. 66-68.

    [10] Ahmad Syadzirin Amin, Ibid, hlm. 26.

    [11] Disarikan dari kitab “Riayahul Himmah”, bab Iman, jld. 1, hlm. 48, bab guru, halm. 232, jld. II, bab mar makruf, hlm. 1-10, dan kitab “syarikhul Iman”, hlm. 49, 72, 129, 130, 156, 176, 177.

    [12] Ahmad Syadzirin Amin, “Pemikiran Kiai Haji Ahmad Rifa’i Tentang Rukun Islam Satu”, Jamaah Masjid Baiturrahman, Jakarta, 1995, hlm. 20-21.

    [13] Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, “Sejarah Nasional Indonesia”, jld. IV, Depdikbud, Jakarta, 1975, hlm. 229.

    [14]  Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Ibid.

    Ahmad Rifa’i Wikipedia

  • Pengertian Sifat Sombong dan Ujub

    Pengertian Sifat Sombong dan Ujub

    Pengertian Sifat Sombong Pemudatanbihun.Com membanggakan diri – merupakan sifat Iblis. Keduanya mempunyai makna yang berbeda, dengan sedikit persamaan. Tutur yang saya dapat dari beliau K.H Maimoen Zubair pada saat ngaji kitab Ihya’ Ulum ad Din, “Iblis dapat dikatakan ujub juga bisa dikatakan sombong dalam masa atau waktu yang berbeda, ia mempunyai sifat ujub ketika Nabi Adam as. belum diciptakan, dan ia memiliki sifat sombong setelah Adam as. tercipta”.

    Dari keterangan di atas, kita dapat membedakan antara sifat sombong dan sifat ujub. Sombong adalah suatu sifat yang membuat seseorang merasa tinggi di atas orang lain, dalam menyandang kesempurnaan. Dan tidak dinamakan sombong, jika seseorang merasa dirinya sederajat atau di bawah derajat orang lain.

    Pengertian Sifat Sombong

    Pengertian Sifat Sombong

    Seperti menghina orang dengan merasa dirinya lebih rendah dari orang yang dihina atau merasa sederajat dengannya, hal itu tidak dinamakan sombong.

    Oleh karena itu Iblis memiliki sifat sombong sebab ia merasa lebih mulia daripada Adam as. yang dilihat dari nasab (asal kejadian), sebagaiman firman Allah swt. dalam surat Shad ayat 76,

    قَالَ أنا خَيْرٌ منْه خَلَقْتَنِي مِن نَار وَخَلقتَهُ مِن طِيْنٍ

    Artinya: Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya (Adam as.), karena engkau ciptakan aku dari api, sedang dia engkau ciotakan dari tanah”.

    Sedangkan sifat Ujub atau membanggakan diri adalah sifat yang membanggakan diri sendiri yang terdapat dan bersemayam di hati seseorang. Dan boleh jadi, jika Iblis diciptakan sendirian berpotensi membanggakan diri alias ‘Ujub. Dan hal ini dipertegas oleh dawuh yai Maemoen, “bahwa Iblis memiliki sifat ujub sebelum terciptanya Adam as”.[1]

    Seperti yang kita ketahui, bahwa kita tidak boleh bersifat sombong karena sombong adalah sifat Iblis, akan tetapi ada pencecualian jika terdapat sebab atau alasan yang pasti. Sombong itu dilarang oleh islam, kecuali menyombongi orang yang sombong. Sebagaimana disampaikan oleh Rosulullah SAW  dalam sebuah hadis;

    قال رسول الله ص.م. : اذا رأيتم المتواضعين من امتي فتواضعوا لهم, واذا رايتم المتكبرين فتكبروا عليهم, فان ذالك مذلة لهم وصغار

    Artinya: Rosulullah SAW bersabda: “Apabila kamu sekalian melihat ummatku yang rendah diri, maka bersikaplah rendah diri pada mereka. Dan apabila kamu sekalian melihat orang-orang yang sombong maka bersikaplah sombong pula pada mereka. Sesungguhnya kesombongan itulah yang menyebabkannya lebih terhina dan lebih kerdil”.[2]

    Mengenai menyombongi orang yang sombong, dalam kitab Faidhul Qodir 4/277  terdapat  atsar, seperti berikut;

    وفي أثر: الكبر على المتكبر صدقة لأن المتكبر إذا تواضعت له تمادى في تيهه وإذا تكبر عليه يمكن أن ينبه

    Artinya: Dan dalam atsar : “menyombongi orang yg sombong adalah sodaqoh, karena sungguh orang yg sombong ketika anda tawadhu’ padanya maka dia akan nglamak (bertambah) dalam keangkuhannya. Dan jika anda menyombonginya maka  mungkin kesombonganmu menjadi peringatan (nasihat) baginya.[3]

    Hal ini dilakukan agar orang yang sombong merasa bahwa dirinya sombong sehingga ia bermuhasah atau mengintropeksi dirinya untuk lebih baik dalam berperilaku bermasyarakat yang tidak menyakiti dan mendzalimi sesama manusia.


    [1] Ihya’ Ulum ad Din Al Ghazali

    [2] Ibid.

    [3] Faidhul qodir

    wikipedia

  • Ibadah Tanpa Ilmu

    Ibadah Tanpa Ilmu

    “ILMU TANPA IBADAH ADALAH HIMAR
    IBADAH TANPA ILMU ADALAH NERAKA”

    Semua ilmu pada dasarnya baik dan bermanfaat, karena di setiap ilmu ada keutamaan tersendiri, dan menguasai seluruhnya tidak mungkin alias mustahil, jika dikatannkan siapa orang yang mengetahui semua ilmu? Maka jawabanya semua insan pastinya, diriwayatkan dari hadis nabi saw. Beliau bersabda:
    من ظن أن للعلم غاية فقد بخسه حقه ووضعه في غير منزلته التي وصفه اللّٰه بها
    حيث يقول ـ وماأتيتم من العلم الا قليلا ـ
    Artinya: Barang siapa yang menyangka bahwa ilmu itu ada puncaknya maka sungguh dia adalah orang yang medzalimi hak ilmu, dan meletakan ilmu tidak pada tempatnya yang Allah telah mensifatinya sebagai mana Dia berfirman ” Tidak kalian diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit” (al Isro’ ayat 85). Sebagian ulama mengibaratkan ” orang mendalami ilmu itu bagaikan orang yang menyelam ke laut, dia tak bisa melihat daratan dan tidak tahu panjang dan lebarnya, begitu juga ilmu, tidak bisa dicapai berapa lama dan sampai mana.
    Apabila seseorang tidak mampu untuk bisa menguasai segala ilmu, maka wajib baginya mengetahui ilmu yang paling penting dan yang sangat dibutuhkan yaitu Ilmu agama, ilmu agama adalah ilmu yang penting dan utama bila di banding dengan ilmu lainya, karena manusia akan terarahkan dan terbimbing hidupnya dalam kebahagian dunia dan akhirat, sebaliknya, manusia akan tersesat dalam hidupnya jika tidak punya pegangan ilmu agama, contohnya, tidak akan syah ibadah seorang yang bodoh alias tidak tahu tata cara beribadah, dan syarat-syarat ketentuanya, dalam nadzom zubad menyebutkan yang berbunyi:
    وكل من بغير العلم يعمل ـ أعماله مردودة لا تقبل
    Artinya: Setiap orang yang beramal tanpa adanya ilmu pasti amalnya di tolak alias tidak diterima.
    oleh karena itu Rosulullah saw. bersabda dalam hadisnya:
    فضل العلم خير من فضل العبادة
    Artinya: “Keutamaan ilmu itu diatas keutamaan ibadah”.
    Tujuan ilmu yaitu mendorong seseorang untuk beribadah, dan ibadah tanpa adanya ilmu bukan dinamakan ibadah, jadi ilmu agama itu wajib dimiliki seorang hamba, sesuai sabda nabi saw.:
    طلب العلم فريضة على كل مسلم
    Artinya:” wajib bagi orang muslim laki-laki dan perempuan menuntut ilmu”
    Beribadah sudah menjadi kewajiban seorang àbid , begitu juga mahluk gaib yaitu jin, dalam surat adzàriyat ayat:56 Allah berfirman:
    وما خلقت الجن والإنس الا ليعبدون
    Artinya: ” Tidak saya ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” Jadi ilmu dan ibadah itu sama-sam wajib, tidak bisa di pisahkan antara keduanya, meskipun ilmu itu lebih utama dibandingkan ibadah menurut teks hadis di atas, dan dikuatakn pilihan Rosulullah, beliau lebih suka dan memilih majlis ilmu daripada majlis dzikir. Diriwayatkan oleh Abdullah bin umar bahwa Rosulullah disaat masuk masjid beliau melihat dua majlis, yang satu berdzikir dan majlis yang satu belajar fiqih, maka beliau bersabda:
    كلا المجلسين على خير وأحدهما أحب إلي من صاحبه أما هؤلاء فيذكرون اللّٰه تعالى ويسألونه فإن شاء أعطاهم وإن شاء منعهم وأما المجلس الآخر فيتعلمون الفقه و يعلمون الجاهل وإنما بعثت معلما وجلس إلى أهل الفقه
    Artinya: “Kedua majlis ini semuahnya dalam keadaan baik akan tetapi diantara keduanya ada yg lebih unggul. Adapun mereka yang sedang memohon kepada Allah, jika Allah menghendaki maka mereka akan diberi, dan jika tidak maka Allah akan menolak permohonan mereka. Adapun mereka yang sedang mengajarkan ilmu kepada orang yang belum tahu, ketahuilah hanya saja Aku diutus sebagai pengajar ilmu, dan merekalah yang paling unggul.” Kemudian beliau saw duduk bersama orang-orang belajar.
    sulthonul ulama al Imam Abdullah bin Salam dalam kitab qowaid nya berkemuka:” mana yang lebih utama antara ilmu dan ibadah”?
    a. Ilmu lebih utama daripada ibadah bagi orang bodoh
    b. Ibadah lebih utama daripada ilmu bagi orang yang sudah berilmu.
    Masih ada satu lagi yang utama dan paling utama bagi seorang mukmin yaitu “Berilmu dan rajin beribadah”
    Terkadang statemen orang non muslim ada cocoknya, dalam artian secara luas terkait dengan tema diatas , seperti tokoh terkemuka, pakar fisika dari keturunan yahudi dari jerman yaitu Albert Einstein berkata: “Agama tanpa ilmu adalah buta Ilmu tanpa agama adalah lumpuh”
    Referensi:
    -Adabudunya waddin
    -Qowaidul ‘ala masholihul anam
    -Nadzom az Zubad
    Wallahu a’lam.

  • Ulama Menurut Bahasa dan Istilah

    Ulama Menurut Bahasa dan Istilah

    Kata ILMU diambil dari bentuk masdar yang fi’ilnya berupa علم-يعلم yang menurut kamus (lugot) mempunyai dua makna yang pertama ma’rifat atau mengetahui yang kedua pengetahuan atau masalah yang diketahui dan secara istilahnya (term) ilmu berarti: pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.

    Bila ditinjau dari sistematis dan shorof adanya masdar (kata kerja) pasti darinya terbentuk sighot isim fa’il (pelaku/orang yang sedang mengerjakan), kata عالم (orang yang mengetahui) asal dari علم (pengetahuan) jika kita telah mengetahui arti ilmu pastinya kita juga mengetahui arti ‘alim sesuai kerangka tersebut, dari pemahaman di atas bisa dikorelasikan bahwa orang ‘alim adalah orang yang mengetahui sesuatu tentang suatu bidang pengetahuan singkatnya.

    Esensi pembahasan mengerucut pada istilah علماء bentuk jamak عالم dan sudah maklum makna ulama bila di kaitkan dengan makna pengertian di atas, tapi makna tersebut masih banyak menimbulkan pertanyaan (kemusykilan) karena kejumudan arti ulama versi lughot memasukan seorang yang hanya cendikiawan,budayawan,sastrawan bahkan seorang doktor hingga seorang profesor maka dari itu disini akan memperlihatkan esensi ulama dan eksistensinya, agar tampak jelas untuk publik apa hakikat ulama?

    Secara syar’i kata ulama telah tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits karena memang makna syar’i lebih didepankan dari pada makna lugowi (bahasa) yang berkaidah:

    المسمى الشرعي اوضح من اللغوي

    Nama secara syar’i lebih bermakna (valid) dari pada lugowi, sesuai dengan qoulun Nabi SAW:

    العلماء هم ورثة الانبياء

    “Ulama adalah mereka pewaris ilmu (agama) nabi-nabi.”

    Dan juga terdapat pada kalam Allah SWT:

    انما يخشى الله من عباده العلماء (من كان عالما باالله و اشتدت خشيته)

    “Ulama adalah orang yang tahu dan yakin akan Allah serta sangat takut kepadaNya.”

    Keberadaan ulama disekitar kita merupakan sumber acuan dalam menjalankan kehidupan demi kebahagian di dunia maupun untuk akhirat, maka dari itu ikuti ulama’ karena memang itu sebuah kewajiban bagi bangsa umumnya bagi umat islam khususnya, berdasarkan Al Qur’an:

    أطيعواالله وأطيعوا الرسول و أولي الامر منكم

    اولي الامر اي العلماء

    Ketika ulil amri ditafsiri ulama maka suatu kewajiban taat kepadanya sebagaimana Allah dan Rasul-Nya.

    Ketika kita termasuk ummat yang mengajak kebaikan (الخير) padahal alkhoir adalah mengikuti Al Qur’an dan Hadist Nabi, dalam:

    الخير اتباع القرأن و سنتي

    Kebaikan ialah menurut Al Qur’an dan sunnahku. Maka jelas bahwa disinilah keberadaan ulama’ sebagai pewaris anbiya’ karena tak akan ada standarisasi pemegang Al Qur’an dan Hadist kecuali para alim ulama’.

    والله اعلم.